Cast : Suho (Kim Joonmyun)
D.O (Do Kyungsoo)
Genre : Fluff. Romance. Yaoi
Author : mejiemagic
O0O
A/N :
Tiba-tiba muncul ide buat bikin fic ini di saat yang sangat ‘aneh’. Hahaha. Awalnya mau bikin cast Kris-Suho atau Kris-Lay. Tapi aku pengin bikin yang Suho-D.O juga. Jadilah SuDo yang menang dalam kompetisi rebutan jadi cast di FF ku. Mhuahahaha. #dijejelin teflon
Kalau misal ada kesamaan sama FF lain atau apapun itu, jujur aja itu suatu kebetulan. Karena ide ini murni muncul dari otakku yang terlalu sering menghayal tentang EXO dan pria-pria muda tampan lainnya. Hehehe.
So, just go ahead and read this random fic.

Oh, dan satu lagi, POV yang digunakan adalah POV dari kakak D.O. di sini ceritanya D.O punya seorang kakak cewek yang beda dua tahun. Tapi POVnya bakal selang saling sama POV author. Dengan info ini, aku berharap kalian nggak bingung.
Ff ini juga sudah dipublish di akun WP pribadiku mejiemagic.wordpress.com dan di akun facebook-ku.
Now, just read and comment

O0O
Seperti biasa, sekitar jam 7 pagi, aku dan adikku harus bersiap ke kedai donat milik kami. Kyungsoo, adikku, adalah pembuat donat terlezat di… rumah. Ya, meski aku seorang cewek, tapi dapur adalah tempat terakhir yang ingin kumasuki. Setidaknya aku nggak bisa tahan lebih dari 10 menit di tempat itu. Berbeda dengan adikku yang manis dan rajin itu, dia bisa habiskan waktunya di dapur. Mencoba bermacam-macam resep baru. Dan untungnya, semua hasil olahannya sangat enak. Jadi jangan heran kalau lihat badanku yang sedikit subur. Hahaha.
Aku dan Kyungsoo, atau dia lebih suka dipanggil D.O, dibaca Di-O itu sudah sampai di depan pintu yang dirantai dan digembok. Kyungsoo membuka gembok dan rantai yang membelit pegangan pintu itu, dan mendorong pintu hingga terbuka lebar. Aku masuk dan mulai merapikan kedai mungil kami.
Sebenarnya kedai ini milik Papa, dan sekarang karena kondisi Papa yang sakit-sakitan, dan Mama yang sibuk kerja banting tulang buat biayain pengobatan Papa, maka aku dan Kyungsoo lah yang bertugas menjalankan kedai donat ini.
Asal kalian tahu, kedai ini terkenal banget di daerah sini, lho. Dulu, waktu aku masih kecil (yang rasanya sudah berabad-abad yang lalu), teman-temanku sering banget nitip donat bikinan Papa. Jadi hampir setiap hari aku bawa kotak bekal yang isinya donat. Dasar anak kecil, mereka nggak mau keluar uang buat beli donat. Dan aku juga bodoh, mau-mau saja dikompasin mereka. Lama-lama aku diomelin Mama, ‘Mana bisa untung kalau tiap hari bawa dua lusin donat dan kamu bagi-bagiin gratis ke teman-temanmu?!’. Tiba-tiba Kyungsoo, yang waktu itu kelas 3 SD, nyeletuk, ‘Kenapa nggak dijual aja, Kak? Beli dua gratis satu. Tapi per-donatnya dihargain lebih mahal dari yang di toko. Jadi biar ada untungnya sedikit,’. Jiah, anak kecil mau sok bisnisman. Tapi Mama justru dukung ide aneh Kyungsoo. Akhirnya, aku jualan donat di sekolah. Dan… donat bikinan Papa laku. Laris manis.
Sudah cukup cerita nggak penting tentang petualanganku ber-donat-ria. Sekarang aku kembali lagi ke kegiatan merapikan kursi dan meja. Buatku lebih baik beres-beres daripada nongkrong di dapur. Jadi kami bagi tugas, aku bagian beres-beres, ngelap-ngelap meja, kaca jendela, melayani pengunjung, mengantar menu pesanan dan sejenisnya. Sedangkan Kyungsoo bertugas membuat donat dan minuman-minuman. Kedai kami sangat konsisten. Nggak mau aji mumpung seperti kedai-kedai lainnya. Judul kedainya, kedai donat, tapi mereka juga menjual pancake, waffel, pretzel, sandwich, burger, dan kawan-kawan. Kalau kedai kami menawarkan donat, ya jualannya juga donat.
Judul kedai kami cukup simple, dan sangat sederhana (lebih tepatnya, seadanya dan ala kadarnya, sih)
JUST DO.NUT
Ceritanya DO-nya itu menunjukkan marga Papa. Pemilik kedai ini.
Nggak kreatif banget, kan, Papaku ngasih nama? Aku sempat punya ide buat ganti nama kedai kami, dari mulai
HOLY DONUT. Maksudnya donat berlubang. Eh, aku malah dimarahin Papa.
Terus aku ngarang lagi, YUMMY DUMMY DONUT. Lagi-lagi ditolak. Katanya Dummy itu artinya bodoh. Aku sudah ngarang hampir 100 nama, tapi Papa bilang nggak akan ganti nama kedai kami. Ya sudah, apa boleh buat. Nanti kapan-kapan aku bikin kedai donatku sendiri.
Jam 8.30, kedai dibuka untuk menyambut orang-orang yang mau sarapan donat dan secangkir kopi atau susu coklat nikmat ramuan Kyungsoo. Adikku yang bertampang agak bodoh tapi lumayan tampan itu (kata tetangga yang sejak lama naksir Kyungsoo) itu sudah mulai menghiasi donat-donat yang sudah matang dengan beranekaragam topping. Mulai dari topping coklat leleh, meses, sampai taburan gula halus dan juga di-filling dengan selai stroberi, blueberry, dan lain-lain.
Mesin pembuat kopi sudah menyala. Aroma kopi menyapa hidungku. Aku hirup dalam-dalam. Aku suka sekali aroma kopi, tapi nggak terlalu suka rasanya yang pahit. Menurutku, hidup ini sudah cukup pahit, kenapa kita harus minum yang pahit-pahit? Alasan yang konyol, aku tahu itu.
Sambil menunggu pengunjung berdatangan, aku duduk di depan Kyungsoo. Adikku yang kalem itu sedang membuat segelas besar creamy hot choco-hazelnut buatku. Susu coklat dengan rasa hazelnut kesukaanku. Kyungsoo tiap pagi pasti bikin minuman hangat itu buatku. Aku comot sebuah donat dengan topping coklat yang ditaburi kacang tanah cincang dan segera kulahap dengan penuh khidmat.
“Enaaaak… Kyungsoo, hebat. Aku bangga punya adik seperti kamu.” Ujarku seraya menepuk bahunya.
“Aku tahu kamu bilang kayak gitu biar bisa nambah lagi, kan? Nggak! Cukup satu hari satu donat. Bisa bangkrut kita nanti. Kayak aku nggak tahu selera makanmu seperti apa.” Adikku yang lucu itu mendengus. Tapi seringai bodohnya masih nempel di wajahnya.
Aku terkekeh dan cepat-cepat telan donat yang ada di mulutku. Menyesap susu coklat terlezat di… kedai ini, lalu aku keluarkan netbook warna ungu kesayanganku dan mulai membuka akun social network-ku.
“Biasaaaa… chatting lagi, chatting lagi. Kak, kerjaanmu ngapain aja sih, di dunia maya?” tanya Kyungsoo dengan alis bertaut. Kalau sudah merengut seperti itu, aku merasa gemas sekali dan nggak tahan untuk mencubit pipinya.
“Kyungsoo sayang, Kakak itu suka berkelana di dunia maya buat nyari teman-teman. Dan kamu sendiri tahu kalau Kakak juga punya blog yang biasa Kakak pakai buat promosiin kedai kita. Kamu pikir orang-orang datang ke sini begitu aja? Kakak nawarin juga di internet. Gitu, Kyungsoo sayang,” jelasku dengan wajah sedatar mungkin. Kyungsoo mengucapkan ‘oh’.
Dia kembali pada kesibukannya menyiapkan segalanya. Dan aku kembali dalam kehidupanku di dunia maya. Aku lihat lagi nama orang-orang yang online dan aku menemukan nama orang yang selama ini jadi teman baikku.
Guardian Angel
Itu username-nya.
Aku mulai mengobrol dengannya. Dia enak sekali diajak bertukar pikiran, kebetulan dia berkuliah di bidang manajemen keuangan. Menurutku sangat tepat sekali meminta tips-tips tentang bagaimana mengatur keuangan kedai ini padanya. Dia sedang mengerjakan skripsinya dan akan segera wisuda. Cowok itu cukup dewasa, tapi sama sekali nggak kaku. Dia lebih muda dariku sekitar 10 bulan, yaa hampir setahun lah. Tapi cara berpikirnya sangat penuh perhitungan. Aku sudah pernah ketemu dia beberapa kali, bahkan dia sering telepon aku kalau sedang nggak sibuk. Aku suka berteman dengannya. Orangnya santun, sopan, humoris, dan yang pasti… ehem… tampan. Dan senyumnya… kalau diberi harga, mungkin bisa dibilang… a million dollar smile. Berlebihan? Nggak, tuh. Tunggu sampai kalian melihatnya langsung.
Setelah mengobrol beberapa lama, dia menanyakan apa aku ada waktu. Dia ingin bertemu. Berhubung pengunjung kedai kami belum terlalu ramai, sehingga aku nggak terlalu sibuk mengurus pembeli. Maka aku suruh dia datang ke kedai ini. Dan dia setuju. Kebetulan dia pengin makan donat.
“Kyungsoo~ah, nanti temanku bakal datang, tolong siapin minuman yang enak, ya. Kakak mau traktir dia,” aku mendongak dan menatap adikku yang sedang menyesap cappucino buatannya.
“Hmm.. yummy,” ucapnya seraya menjilati bibir atasnya yang terkena busa cappucino.
“Dengar nggak Kakak ngomong apa?” tanyaku agak ketus.
“Dengar, Kakak sayang. Tapi bukannya minggu lalu Kakak traktir teman Kakak yang cerewet itu, dan sampai detik ini uangnya belum masuk ke mesin kasir?” pertanyaannya membuatku malu sekaligus kesal.
“Iya, iya. Kakak bayar semua. Kamu takut Kakak kabur? Dasar bodoh!” sungutku kesal. Kyungsoo tetap bersikeras bahwa aku harus membayar hutangku minggu lalu sebelum aku berhutang lagi. Dasar pelit. Akhirnya dengan kasar aku keluarkan dompetku dan membayar hutangku.
“Sudah lunas, tuh. Aaahh… padahal Kakak mau beli smartphone baru, jadi harus nunggu lama lagi, deh. Kyungsoo perhitungan banget. Persisi Mama.”
“Kakakku tercinta, bisnis adalah bisnis. Kalau mau gratisan, nanti dedek D.O yang bikinin berlusin-lusin di rumah. Oke, Kakak?” wajahnya yang dipolos-poloskan itu bikin aku pengin gigit hidungnya. Geregetan setengah mati. Aku tahu dia meledekku. Dan dengan gaya sok imutnya, pakai acara manggil dirinya dengan istilah jaman baheula waktu dia umur 5 tahun itu, ‘dedek’, bikin aku makin gemas. Kyungsoo tahu aku paling benci kalau dia berlagak sok imut begitu.
Rrrrrr… rrrrrr…
Ponselku bergetar, aku baca pesan yang masuk. Ternyata si Guardian Angel sudah sampai depan kedai. Aku berdiri dan menyambutnya di depan. Hari ini dia memakai kaos putih yang dia rangkap dengan rompi biru tua, yang dia setelkan dengan celana jeans dan sepatu hitam, dia juga memakai topi motif kotak-kotak, dan membawa ransel.
Sepertinya ia hendak ke kampusnya. Baru saja aku membuka pintu kedai, cowok itu sudah menyambutku dengan senyuman manisnya.
“Suhoooo…. Lama tak bersuaaaa..” seruku, dan dia menghampiriku dan memelukku sekilas.
“Bahasamu kayak bahasa literatur sastra. Hahaha. Apa kabar?” dia menyapaku dengan sangat ramah. Sambil menggandeng lengannya, aku mengajaknya masuk kedai yang wangi donat dan kopi membuat cowok bernama asli Suho itu memejaman matanya, menghirup aroma yang enak itu.
“Nggak sabar pengin coba donatnya, nih,” katanya setelah duduk di salah satu meja di tengah ruangan kedai yang nggak terlalu luas itu. Aku menyuruh Suho menunggu sebentar, sementara aku mengambil dua buah donat dan menaruhnya di atas piring ceper. Aku pura-pura nggak lihat tatapan tajam Kyungsoo, aku juga pura-pura nggak paham maksud dehemannya waktu aku mengambil secangkir hot creamy cappucino.
“Awas kalau kelamaan bayarnya!” desisnya galak. Aku nggak mau repot-repot menjawabnya. Jadi aku cukup memberinya kecupan jauh, yang membuatnya mengernyit jijik. Hahahaha. Sudah jadi hobiku mengerjai Kyungsoo.
Aku duduk berhadapan dengan cowok dengan senyum sejuta dolar itu. Aku melihatnya menyesap cappucino dari cangkir besarnya. “Hmm… ini cappucino terenak yang pernah aku minum.” Kata Suho.
“Sekarang kamu percaya aku, kan?” balasku dengan senyum congkak. Yang aku buat-buat.
“Iya, aku percaya. Sekarang aku coba donatnya, ya,” dan roti bulat berlubang itu pun di gigitnya dan perlahan dia mengunyahnya. Mata sipitnya melebar. Suho mendongak dan menatapku dengan tatapan… ya… kagum dan nggak percaya gitu.
“Whut?” tanyaku karena cowok ganteng di depanku ini nggak ngomong-ngomong.
“Donat ini membunuhku…” kata-katanya itu membuatku ingin ngakak. “Jangan-jangan aku sudah mati dan sekarang ada di surga. Ini donat bikin aku melayang. Sumpah, enak banget. Siapa yang bikin? Kasih tahu, dong!”
“Suho. Nggak usah alay, deh. Dimana-mana yang namanya donat tuh, sama aja. Termasuk donat ini. Biasa aja, kok,” ucapku.
“Percaya atau nggak, aku terakhir makan donat tuh setahun yang lalu. Dan aku malas makan donat lagi karena waktu terakhir itu aku makan donat paling nggak enak. Jadi trauma gitu.”
“Tuh, kan, alay lagi.” Aku memberinya tatapan datar yang membosankan. Dan dengan santainya dia towel dahiku dengan telunjuknya.
“Aku ngomong serius, Bawel! Kalau kamu nggak gembar-gembor di blog tentang betapa enaknya donat di kedaimu ini, mana mungkin aku mau coba? Dan ternyata donat ini betul-betul memiliki rasa surgawi yang nggak pernah aku rasain di dunia ini,”
“Yeah, yeah. Ujar si mahasiswa SASTRA manajemen keuangan,” sindirku sarkastik. Suho tergelak dan melemparkan gulungan tisu, bekasnya mengelap mulutnya yang belepotan krim cappucino, ke arahku.
“So, Suho… gimana harimu kemarin?” tanyaku sambil membagi dua donat yang ada di piring. Aku ambil setengah, dan Suho melahap potongan satunya.
“Hmm… nice,” jawabnya sambil mengunyah gigitan terakhir donat topping coklatnya.
“Sounds… boring,” celetukku.
“Memang. Bangun pagi, ke kampus, ketemu dosen yang sama, teman-teman yang gitu-gitu aja, obrolan yang sama. Menurutmu gimana?” sebuah pertanyaan retoris dia lemparkan padaku. Aku tersenyum sajalah, mau komentar apa lagi, coba?
“What about your day?” tanyanya sambil menelengkan kepalanya ke kanan sedikit. Aw aw aaaw dia cute banget. Ehem… maaf. Hehehe.
“Better than yours if you ask. Hahaha. Jadi kemarin itu aku lagi disuruh adikku yang rada-rada bawel itu buat beli beberapa bahan donat yang kurang. Nggak tahu kenapa aku ambil rute yang beda dari biasanya. Aku ambil jalur belakang rumah, sambil jalan kaki menikmati indahnya sore hari, aku ngelewatin sebuah toko yang sebelumnya nggak ada.”
“Toko baru?”
“Yup. Tapi karena aku ditungguin adikku, jadi aku nggak sempat mampir ke toko itu. Eh, baru beberapa langkah dari toko itu, ada seseorang yang manggil aku…”
“Wah, pasti mantan cowokmu, ya? hehehe,” celetuknya nggak penting. =_=
“Sok tau! Aku nengok ke belakang, kan, dan ternyata orang yang manggil…” belum selesai aku ngomong, si Suho motong lagi.
“Bapaknya mantan cowokmu?”
“Suho, sekali lagi motong pembicaraanku, siap-siap mulutmu aku sumpel pakai donat sisa minggu lalu yang aku buang di tong sampah belakang toko ini!” ancamku gemas. Suho tertawa terbahak. Suaranya cute dan menyenangkan. Aku suka sekali tawanya.
“Makanya ceritanya dipersingkat. Aku mau ke kampus seperempat jam lagi,”
“Gimana mau cepat selesai kalau kamu serobot terus? Dasar! Jadi orang yang manggil aku itu, teman lamaku. Sahabatku. Aku nggak nyangka bakal ketemu dia di sini. Karena terakhir ketemu dia, tuh, sekitar 4 tahun yang lalu. Dia menikah dan pindah ke Denmark bersama suaminya yang kerja di kedutaan besar.” Lanjutku. Suho sekarang sudah tenang dan mendengarkan dengan serius.
“Tapi… kenapa dia pulang lagi ke sini?” tuh, kan, mulai lagi kebiasaan buruknya motong pembicaraan. =_=
“Suaminya meninggal. Dia dan kedua anak laki-lakinya yang lucuuuuuu banget itu pulang ke sini. Dan dengan uang peninggalan suaminya yang notabene kaya itu, dia buka toko, deh. Untung aja suaminya kaya, kalau nggak? Bisa keteteran hidupnya. Aahh… aku harus cari calon suami yang kaya.” Kataku dengan penuh tekad.
“Tsk, yang namanya kekayaan itu bisa dicari. Buat apa kalau kayanya karena orangtuanya? Begitu dilepas orangtuanya, eh dia nggak bisa mengatur keuangannya, dan lama-lama bangkrut dan jatuh miskin. Asal kamu tahu, orang pintar belum tentu kaya. Tapi orang yang kreatif, ulet dan gigih pasti suatu saat bisa kaya.” Jelas Suho dengan tampang sperti dosen menjelaskan materi yang membosankan.
“Ya, deh. Kamu memang paling ngerti urusan begituan. Intinya kemarin aku bahagia bisa ketemu dia. Aku diajak masuk ke tokonya, dia jual produk-produk perawatan kulit yang dia pesan langsung dari Denmark. Psstt… tahu nggak? Ada untungnya kemarin aku lewat jalan itu. Aku jadi dapat sepaket produk perawatan kulit, yang harga totalnya 745.000, GRATIS. Hehehe. Memang yang namanya rejeki itu nggak akan kemana.” Suho yang mendengarku hanya mendengus dan memutar bola matanya dengan sangat menggemaskan.
“Jadiii… kemarin hariku jauh lebih baik dari harimu, kan?” kataku meledeknya.
“Kamu tahu nggak?” tanya Suho. Aku menggeleng. “Kamu itu lebih tua dari aku, tapi pola pikirmu kayak anak kecil. Saingan hari baik atau hari buruk. Hehehehe”
“Sialan!” sungutku sambil melempar tempat tisu ke arahnya. Dia menangkapnya dan berdiri dari duduknya.
“Aku ke kampus dulu, ya. Thanks buat sarapan lezatnya. Hmm… besok aku boleh ke sini lagi, nggak?” tanyanya seraya meletakkan kotak tisu. Lalu memakai topi dan ranselnya.
“Boleh. Tapi besok beli sarapanmu sendiri. Adikku bisa ngamuk kalau tiap hari makan gratisan. Hehehe.”
“Pastilah. Oke, aku jalan dulu, ya.” balasnya. Tapi tepat sebelum dia berbalik ke arah pintu, aku melihatnya melirik ke arah pantry, tempat Kyungsoo berada. Rupanya Suho melihat adikku.
“Siapa dia? Pegawaimu, ya?” tanyanya sambil menunjuk ke arah pantry.
“Dia pembuat donat. Sudah sana ke kampus. Nanti telat. Tuh, pembelinya sudah tambah ramai, aku bakal sibuk. Terima kasih, Suho. Daaaaaaa~” aku mendorong punggungnya hingga keluar kedai. Cowok manis itu masih sempat berbalik dan memelukku lagi, sekilas, sebelum ia berlari kecil mengejar bus yang akan berhenti di halte dekat kedaiku.
Suho, Suho. Aku juga bingung bagaimana kami bisa seakrab ini. Kalau aku tanya Suho, dia akan bilang kalau dia merasa nyaman bersamaku. Ya, aku juga merasa nyaman jika bersamanya.
Whoaaa… whoaaa… stop! Jangan berpikir yang nggak nggak dulu. Aku merasa nyaman sebagai sahabat, tempat aku bertukar pikiran, saling curhat, ya hal-hal seperti itu. Meski Suho asik banget jika dijadikan seorang kekasih, tapi dia bukan tipeku. Begitu juga dengan Suho, nggak mungkin dia anggap aku lebih dari seorang sahabat.
Intinya, aku senang sekaligus bingung akan kedekatanku dengan Suho. Aku merasa bahwa Tuhan menakdirkan aku bertemu dengan Suho untuk suatu alasan tertentu. Tapi aku belum tahu apa itu. Itulah yang disebut dengan rahasia Tuhan. Yang penting, aku enjoy saja.
“Kakak!” suara Kyungsoo membuatku kaget.
“Apa?” jawabku agak galak.
“Pacarmu, ya?”
“Siapa?”
“Yang tadi itu.”
“Oh, itu Suho. Teman chattingku yang waktu itu Kakak ceritain.” Aku menghampiri pantry dan mencomot sebuah donat dengan filling strawberry cream.
“Kakak! Cukup nyomotin donatnya!” Kyungsoo mencekal tanganku yang sudah terangkat dengan donat hampir memasuki mulut besarku.
“Kakak bayar nanti! Kakak lapar, Kyungie!” pintaku pada adikku yang akan ngotot jika berhubungan dengan urusan hutang-piutang.
“Aku bakal bilangin Mama. Biar Kakak dimarahin!” ancamnya sambil melotot dan memajukan bibirnya yang memang sudah maju dari sananya. #slap
“Do Kyungsoo. Ingat, umurmu bukan 10 tahun lagi. Jadi nggak usah pakai acara ngadu-ngadu segala ke Mama. Grow up, Kyungsoo!” ucapku seraya menoyor dahinya. Dengan kesal dia menepis tanganku dan kembali mengurusi donat-donatnya yang tercinta.
Aku kembali ke luar pantry dan mulai membersihkan meja-meja yang ditinggalkan pembeli.
Pagi beranjak siang, dan siang merayap menjadi sore. Sudah waktunya kami menutup kedai. Syukurlah pengunjung hari ini cukup ramai.
Aku dan Kyungsoo sudah berada di rumah. Aku masuk kamarku dan Kyungsoo masuk… ya, masuk dapur untuk menyiapkan makan malam.
Setelah selesai mandi dan ganti baju yang nyaman, aku menemui papaku yang sedang duduk mendengarkan acara radio favoritnya. Papa duduk di kursi rodanya. Bukannya Papa lumpuh, hanya saja beliau nggak kuat jalan lama-lama. Kalaupun mau jalan, harus disangga tongkat. Aku menghampirinya dan mengecup dahinya.
“Hai, Pa.” sapaku seraya duduk di lantai dan memijat kakinya.
“Hai, Nak. Gimana keadaan kedai?” Papa selalu tanya kondisi penjualan donat di kedai kami. Dan dengan bangga aku bisa bilang bahwa setiap hari kedai kami ramai pengunjung. Dan Papa akan tersenyum senang dan mengusap lembut rambutku.
“Nak…”
“Iya, Pa?”
“Kamu sudah belajar bikin donat sama Kyungsoo?”
Ugh. Pertanyaan yang sama. Dan aku paling malas kalau Papa sudah tanya tentang itu.
“Papa, aku nggak suka masuk dapur. Sudahlah, biar Kyungie aja yang bikin donat, ya, ya, ya?” kataku sambil melendoti kaki Papa.
Papa terkekeh dan menepuk kepalaku.
“Papa. Kakak. Makan malam sudah siaaap!” seru Kyungsoo dari ruang makan. Aku bangun dan mendorong kursi roda Papa ke meja makan. Dengan sangat rapi Kyungsoo menata meja. Piring dan mangkuk terisi masakan yang… hmm… yummy. Aku bantu meracik makanan Papa sebelum mengambil untuk diriku sendiri. Kami bertiga makan sambil mengobrol. Dan betapa cerdasnya Kyungsoo, dia menceritakan tentang cowok yang menemuiku tadi. Yup, si Suho.
“Wah, Papa bakal dapat mantu, nih.”
Aku melirik Kyungsoo dengan tatapan membunuh. Adikku yang berbibir boros itu hanya mengedipkan mata besarnya dengan begitu mengesalkan.
Aku menjelaskan pada Papa bahwa cowok itu temanku. Papa hanya tersenyum. Pasti dia nggak percaya. Dasar Kyungsoo busuk!
O0O
Kyungsoo sedang berkutat dengan mesin pembuat kopi ketika lonceng yang tergantung di atas pintu masuk kedai berdentang. Ia mengangkat kepalanya dan mata besarnya bertatapan langsung dengan seorang cowok dengan mata agak sipit yang menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Hei, itu kopinya luber!” seru cowok berkemeja putih, menunjuk cangkir yang dipegang Kyungsoo.
Kyungsoo tersadar dan segera mematikan mesin pembuat kopinya. Ia merutuki kecerobohannya.
“Eh… maaf, silakan duduk dulu.” Dengan gugup Kyungsoo menyilakan pengunjung itu.
Cowok itu duduk di meja dekat counter tempat Kyungsoo menyiapkan secangkir kopi panas. Kedua mata cowok berkulit putih itu tak lepas memandang gerak-gerik Kyungsoo.
Kyungsoo membawakan kopi dan sepotong donat ke meja tamu pertamanya di pagi ini.
“Silakan dinikmati. Apa masih mau pesan yang lain?” tanya Kyungsoo dengan sopan dan ramah.
“Terima kasih, mmm…. Namamu siapa?”
“Kyungsoo. Do Kyungsoo.” Jawabnya sambil tersenyum. Kedua tangannya mendekap nampan kecil yang tadi dibawanya.
“Hai, Kyungsoo. Aku Suho.” Ia ulurkan tangannya dan Kyungsoo menyalaminya. “Kyungsoo, kamu sendiri yang bikin semua donat di sini?”
“Iya. Apa rasanya kurang enak?” matanya membulat, bersiap menerima kritikan dari Suho.
“Iya, kurang.” Suho menjawab dengan wajah serius.
“Hah? Serius kurang enak? Ya, ampun! Aku harus cek lagi resepnya.” Ia tampak sangat panik.
“Kurang besar porsinya dan kurang banyak maksudku. Hahaha. Mukamu lucu kalau panik.” Suho tergelak demi melihat reaksi Kyungsoo.
Kyungsoo yang merasa tertipu oleh ucapan Suho, cemberut dan menghentakkan kakinya lalu berbalik ke dalam.
“Kyungsoo, jangan ngambek, dong.” Seru Suho dari mejanya.
“Aku tadi tanya serius. Kenapa malah jawabnya becanda?” sentak Kyungsoo kesal.
“Sorry.” Suho menarik tangan Kyungsoo. “Duduk sini sebentar,”
Kyungsoo agak ragu. Namun ia duduk di hadapan Suho. “Ada apa lagi?”
“Cewek pemilik kedai ini siapamu?”
“Oh, si gendut yang suka nyolongin donatku? Dia kakakku.” Sahut Kyungsoo dengan galak.
“Ahahaha. Pasti kamu sayang banget sama kakakmu, ya?”
Kyungsoo tersenyum saat mendengar balasan Suho. Dua orang itu mengobrol tak terlalu lama karena pengunjung mulai berdatangan. Dan Suho pun harus pergi karena ada urusan dengan dosennya.
O0O
Kalau nggak salah, minggu ini adalah minggu ke tiga sejak perkenalan Suho dengan Kyungsoo, adikku. Aku agak sebal juga, sih. Bukannya Suho itu temanku? Kenapa sekarang dia malah lebih sering ngobrol sama si mata bundar-bundar mirip donat itu?
Iya, deh, aku akui. Aku cemburu. Setiap datang ke kedai kami, Suho langsung ke dapur buat ketemu Kyungsoo yang sibuk nguleni adonan donat. Sementara aku sibuk beres-beres di depan.
Setiap kali on-line, Suho selalu tanya-tanya tentang Kyungsoo. Jengkel juga jadinya.
Ya, bukannya aku nggak suka dengan kedekatan mereka, hanya saja aku merasa Suho sudah nggak terlalu peduli padaku. Padahal aku butuh dia sebagai seorang sahabat yang bisa selalu ada buatku. Entahlah, aku pasrah saja.
SUHOOOOOOO!!!! COMEBACK TO ME!!!
Ingin rasanya teriak di telinganya. Hehehe.
Nah, itu dia orangnya. Panjang umur, ya?
Suho, si cowok tampan dengan senyum yang mampu meluluhkan hati yang beku itu, melangkah masuk ke kedai kami. Matanya berbinar saat melihatku yang sedang membereskan meja.
“Hai!” sapanya ramah. Jangan-jangan mukanya sudah disetel ramah dan kalem dari jaman masih di dalam perut ibunya, ya? seperti sudah diprogram. Mata ramah, senyum manis nan tulus, wajah teduh dan kalem. Default mode on, sepertinya. Hehehe.
Aku mau punya robot seperti itu.

“Hmm.” Gumamku singkat padat.
“Judes sangat. Kenapa lagi, hmm? Berantem sama Kyungsoo?” tanyanya sambil menatapku dengan kedua matanya yang agak sipit.
“Sok tahu.”
“Lalu kenapa, dong?” tanyanya sok perhatian.
“Nggak kenapa-kenapa kok. Kamu mau ketemu Kyungsoo, kan? Ke belakang aja sana. Dia lagi sibuk nguleni adonan. Sekalian bantu-bantu juga lebih bagus.” Aku nggak tahu kenapa tiba-tiba bersikap agak galak.
Itu cemburu namanya…. Nuraniku berbisik. Huft.
Diam kamu, nuraniku! Nggak usah ikut campur!
“Aku ke sini mau ketemu kamu, kok.” Senyumnya masih bertahan di wajahnya.
“Tumben? Ada urusan apa memangnya?”
“Sebentar lagi kedai tutup, kan?” aku mengangguk. Dan ia melanjutkan, “Aku mau ajak kamu jalan. Ada yang mau aku bicarain.”
“Hmm… aku tanya Kyungsoo dulu. Siapa tahu dia juga ada acara. Kasihan papaku kalau sendirian di rumah. Mamaku lembur lagi, sih.” Jawabku sambil mengangkat nampan berisi piring dan cangkir kotor.
“Sini aku bantu,” dengan cekatan, Suho mengambil nampan itu dari tanganku dan membawanya ke dapur.
Sering-sering saja bantu-bantu di sini, lumayan buat tenaga tambahan. Hahaha.
Suho cukup lama di dapur. Pasti ngobrol dengan Kyungsoo. Hhhh…
Nggak lama, cowok putih pucat itu muncul dan tanpa banyak kata, ia gandeng tangan kananku.
“Kata Kyungsoo, kamu boleh ikut aku. Dia yang bakal beresin semuanya. Yuk.”
“Whoaaa! Stop. Tapi aku belum mandi, belum ganti baju. Muka kucel kayak kain pel gini masa mau pergi?”
“Bawel! Kamu masih keliatan cantik kok di balik muka kucel kayak kain pel itu. Ayo, nanti kemalaman.”
Sial. Mau memuji atau menghina, sih?
Pasrah, aku turuti kemaunnya.
Suho mengajakku ke sebuah café di pinggir jalan. Sepertinya aku pernah dengar tentang café ini. Tempatnya tak terlalu besar, tapi terkesan elegan. Dengan pencahayaan yang tak terlalu terang, membuat suasana di café itu terasa… ehem… romantis.
Suho mendorong pelan punggungku, menuntunku ke sebuah meja dengan dua kursi yang nyaman. Ia menarik sebuah kursi dan menyilahkanku duduk. Lalu ia duduk di depanku.
Aku yang jarang datang ke tempat-tempat seperti ini merasa agak canggung. Tapi aku terkesan dengan interiornya yang elegan tapi tak terkesan terlalu mewah. Kesan café ini… cantik. Seperti aku.
Pasti Kyungsoo mual kalau mendengarnya. Hahaha.
Mataku menjelajahi tiap sudut tempat ini. Wow, bahkan pelayannya pun tampan-tampan. Aku harus sering-sering ke sini. Demi kesehatan mata dan jiwaku. Hehehe.
“Hei, senyum-senyum sendiri. Stress, ya?” Suho mengagetkanku. Berhubung aku sudah mengenalnya cukup lama, jadi aku nggak merasa malu. Aku hanya menjulurkan lidahku dan melanjutkan penjelajahan mataku.
“Nggak pernah ke tempat ini, ya?” tanyanya saat melihat sikapku yang agak… kurang kekota-kotaan… (nggak sanggup bilang kata kampungan… miris kesannya… hehehe)
“Mana sempat aku nongkrong ke tempat-tempat gini kalau dari pagi sampai sore di kedai, malamnya jagain papaku yang sakit?”
“Sori. Aku nggak punya maksud buat nyinggung perasaanmu. Tapi… mulai sekarang, aku bisa ajak kamu ke tempat-tempat seperti ini.” Tiba-tiba ia pegang tanganku.
Deg!
Jantungku… jangan berhenti, dong.
“Makasih, deh. Aku memang butuh orang buat ajak aku jalan-jalan,”
“Nanti kita aja Kyungsoo sama papamu juga.” Hah? Apa? Ajak Kyungsoo dan Papa? What are you thinking Suho?
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Bodohnya aku. sempat berpikir kalau Suho ingin mengajakku kencan. Ternyata… reuni keluarga. Aduh… hhhh
“Hmm… aku mau minta nomor telepon Kyungsoo, dong.” Tanyanya mendadak saat aku sedang mengunyah irisan steak yang lezatnya ampun-ampun.
“Ngapain?”
“Buat koleksi! Ya buat aku bisa ngobrol-ngobrol sama Kyungsoo, lah.” Jawab Suho gemas akan kepolosanku (baca: kebodohanku)
Aku memberinya nomor telepon Kyungsoo. Sebenarnya aku agak curiga dengan sikap Suho yang terlalu memperhatikan adikku. Tapi aku berusaha untuk nggak terlalu berburuk sangka.
Wajah Suho terlihat senang saat aku memberinya nomor telepon Kyungsoo.
“Suho…”
“Hmm?” ia menatapku.
“Kenapa kamu kayaknya pengin banget bisa kenal Kyungsoo lebih jauh lagi?”
Rona wajah Suho memucat, ia menelan ludah dan jemari tangan kanannya memilin-milin tepian sapu tangan. “Oh, i-tu… hmm… Kyungsoo itu lucu.”
“Tsk, lucu banget malah. Apalagi kalau kamu lihat betapa lucunya dia pas lagi kambuh bawelnya. Lucuuuu banget!” dengusku agak sinis, membuat Suho mengernyit.
“Kayaknya kamu nggak suka kalau aku dekat sama adikmu, ya?”
“Nggak juga, sih.” Jawabku cuek sambil menyesap air dingin.
“Mungkin nanti aku kasih tahu kamu alasannya. Sekarang kita pulang, yuk,”
Suho bangun dan membayar pesanan kami serta tak lupa memberi tip yang cukup besar untuk pelayan.
Aku berjalan beriringan dengannya di bawah langit malam berbintang. Udara agak dingin, namun belum membuatku menggigil. Kurasakan lengan Suho merangkul bahuku, menarikku mendekat. Refleks saja lenganku merangkul pinggang rampingnya.
“Ahh… aku beruntung bisa ketemu kamu. Selama ini aku nggak pernah punya teman cewek yang akrab.”
“Hmm… mungkin karena aku memang yang paling keren. Hahaha” jawabku narsis.
“Keren dari Hongkong! Kamu itu unik. Apa adanya. Jarang banget cewek bersikap apa adanya. Biasanya mereka jaga image gitu. Muak aku sama cewek tipe seperti itu. kamu juga nggak bego-bego amat. Makanya bisa nyambung ngobrol apa aja sama kamu. Hehehe.”
“Dasar! Nggak konsisten banget, sih? Mau muji ya muji aja, nggak pake ngejatohin juga, dong. Dasar Suho!” aku mencubit pinggangnya kuat-kuat, membuatnya meraung kesakitan dan menjitak kepalaku.
Kami berjalan sambil menikmati indahnya gemerlap cahaya lampu di sepanjang jalan yang kami lalui. Mobil masih banyak yang berseliweran memenuhi jalan raya. Memang jam baru menunjukkan pukul 7 malam. Kami membahas banyak hal.
Jujur saja, belum pernah aku merasa senyaman ini dengan seorang cowok. Meski Suho bukan pacarku, dan sepertinya nggak akan pernah jadi pacarku, tapi rasanya tenang, aman dan… bahagia.
Suho mengantarku sampai rumah, aku mengajaknya mampir.
“Maybe next time,” katanya sambil mengacak rambutku.
Dan Suho pun berjalan lagi untuk mengejar bus yang akan mengantarnya ke rumahnya.
O0O
“SMS nggak, ya? SMS? Nggak? SMS? Nggak? Aduuuuhhhh! Aku bingung! Huuuufftt… SMS aja deh,” Suho menatap ponselnya. Bingung.
Lalu dengan sisa-sisa keberaniannya, ia mulai mengetik pesan untuk Kyungsoo.
To : Kyungsoo
26/08/12 14:35
Sehabis kedai tutup, aku ajak kamu jalan, ya?
-Suho-
Suho sempat menahan nafas saat akan menekan tombol send di ponselnya. Ia ragu apakah Kyungsoo mau menerima ajakannya atau tidak.
Rrrr….
From : Kyungsoo
26/08/12 14:37
Ok.
Suho mengernyit saat membaca balasan Kyungsoo.
Ok.
Hanya ‘Ok’.
Namun, setidaknya Kyungsoo menerima ajakannya. Suho tersenyum dan merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang sangat nyaman.
“Kyungsoo… Kyungsoo… kenapa aku selalu kepikiran kamu?” gumamnya pada dirinya sendiri.
“Sepertinya… aku naksir kamu. Tapi… apa kamu juga punya perasaan yang sama denganku? Aaaaahhhh…. Aku maluuuuu!” dengan segenap perasaan malu, Suho menutup wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya.
O0O
“Hei!” sebuah sapaan khas membuatku memalingkan kepalaku dan mendongak. Suho dengan senyum kebangsaannya menyambutku. Membuatku mendengus. Ini sudah keseratus kalinya (kalau nggak salah hitung) cowok putih pucat itu datang berkunjung ke kedai.
“Apalagi, sih, Suho? Nggak bosan, ya, ke sini tiap hari?” tanyaku judes seraya memeras kain lap bekas membersihkan tumpahan kopi di lantai.
Ia berjongkok di depanku dan menggeleng dengan memasang ekspresi yang sangat imut dan menggemaskan, membuatku ingin mencubit pipinya dan menggigit hidungnya dan menarik rambutnya dan… what am I thinking?
Ehem… abaikan yang tadi kukatakan.
“Nggak ke kampus hari ini?” tanyaku. Aku berdiri dan membawa ember kecil berisi air, hendak membuangnya di belakang. Suho mendekat dan merebut ember itu dari tanganku.
“Biar aku yang buang. Hmm.. ke kampusnya nanti siang. Dosennya baru nganggur nanti siang.” Ia melangkah menjauhiku. Namun, ia menoleh dan bertanya, “Kyungsoo mana?”
Aku sudah menanti pertanyaan rutin itu darinya, dan tiap ali ia datang, selalu saja akan menanyakan keberadaan Kyungsoo.
“Pulang sebentar. Katanya mau ganti baju atau apalah.” Jawabku malas. Aku mulai membalik kursi-kursi ke atas meja. Dan dengan segenap rasa lelah yang sudah menyerangku, aku masih harus menyapu kedai. Aaaahh… capeeeek.
“Aku bantuin nyapu, deh. Kayaknya kamu sudah terlalu capek.” Oh, alangkah baiknya makhluk yang berdiri di depanku ini. Kalau saja Kyungsoo itu cewek, pasti aku kawinin sama orang ini, deh.
Aku nggak berpikir dua kali lagi, segera saja aku ambil sapu dan serah terima pun terjadi.
Si tampan Suho tampak gagah dengan gagang sapu di tangannya, hehehehe.
“Suho…”
“Iya?” ia sedang menyapu bawah meja.
“Kau bagaikan ksatria bergagang sapu. Kau tampak tampan dan gagah sekali.” Pujiku sok puitis.
“Sial. Jarang banget aku nyapu di rumah.” ia berpura-pura kesal. Tapi setelahnya ia terkekeh dan melanjutkan kegiatan menyapunya.
Adikku yang rupawan (terutama kalau sedang mengadoni donat) muncul dengan hoodie berwarna biru.
Suho mematung, dengan gagang sapu yang tampak kontras dengan penampilan rapinya. Aku sempat melihat semburat merah di pipinya, sebelum ia menunduk dan menyapu lagi.
“Hai, Kak. Kenapa Suho yang nyapu?” ujar Kyungsoo seraya menghampiriku yang sedang membalik cangkir-cangkir yang sudah di cuci.
“Dia yang menawarkan diri, kok. Rejeki mah nggak boleh ditolak, adikku sayang,” balasku sambil mencolek pipinya yang agak tembem.
Kyungsoo melirikku kesal dan segera menghampiri Suho dan mengambil sapu darinya. Lalu ia mendekatiku, “Nih, kelarin tugasmu. Aku mau pergi sama Suho. Bye, bye Kakakku sayang.”
“Yah! Do Kyungsoo! Awas kamu!” seruku kesal. “Masa aku ditinggal sendirian? Woooy!” jeritku kesal. Suho terbahak melihat keusilan Kyungsoo. Dan dua cowok dodol itu meninggalkanku seorang diri.
Oke, oke. Katanya temanku, tapi malah ngetawain. Dasar Suho!
Karena takut dengan suasana yang sepi, aku menyalakan musik dari IPod-ku dan ikut bernyanyi.
Aku melirik jam dinding, jam 05.30 sore. Sebentar lagi langit gelap. Aku harus cepat-cepat keluar dari kedai ini sebelum malam.
Kenapa?
Aku takut sendirian. Hehehe.
Awas kamu, Kyungsoo! Tunggu pembalasanku di rumah, dasar bibir dower!!!
Aku meremas-remas lap bekas melap meja dengan kesal dan melemparnya ke dalam keranjang lap kotor.
Setelah semua beres, aku melihat jam lagi, dan sudah jam 06.00. Aku cepat-cepat keluar dan berjalan menuju rumah.
O0O
Suho dan Kyungsoo berjalan menyusuri deretan pertokoan dan café. Lalu Suho mengajak adik sahabatnya itu ke sebuah café. Tempat itu menjual tiramisu terlezat di kota itu. Dan Suho ingin mengajak cowok itu mencicipinya.
“Suho…”
“Iya, Kyungsoo?” tanya Suho penuh perhatian. Kedua matanya tak lepas menatap wajah Kyungsoo. Seolah ingin merekam setiap ekspresi Kyungsoo.
“Aku nggak lapar. Gimana kalau kita ke tempat lain?” tanya Kyungsoo hati-hati. Takut menyinggung perasaan Suho.
Suho tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.
“Oke. Tapi kamu yang tunjukin jalannya, ya?”
Kyungsoo tersenyum dan berjalan mendahului Suho, yang mengikuti tepat di belakangnya.
“Kita mau ke mana, sih, Kyungsoo. Masih jauh, ya?” tanya Suho agak terengah-engah karena terlalu lama berjalan. Dan Kyungsoo tampak belum lelah.
“Ini sudah sampai, kok.”
Mereka berhenti di sebuah taman. Ada segelintir muda-mudi sedang berpacaran. Mereka melewati orang-orang itu, dan Kyungsoo memilih sebuah bangku di bawah pohon rindang.
Suho duduk di samping Kyungsoo. “Jadi kamu lebih milih bengong di tempat ini daripada makan tiramisu terenak di kota ini?”
“Hmm…” gumam Kyungsoo. Ia menoleh ke Suho dan tersenyum lembut.
Nafas Suho tertahan saat melihat wajah cowok di sampingnya itu. Jantungnya berdebar. Namun, ia berusaha tetap tenang. Ia tak ingin membuat Kyungsoo takut.
Karena Kyungsoo hanya menggumam, maka Suho memutuskan untuk diam. Sepertinya Kyungsoo sedang tak ingin mengobrol.
Entah berapa menit berlalu dalam keheningan, sesekali mereka bertukar pandang. Saling bertukar senyum.
Dalam hati Suho merangkai berbagai macam pertanyaan untuk membuka pembicaraan. Namun ia bingung menentukan mana yang pas. Sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, cowok di sampingnya sudah berbicara, lebih kepada dirinya sendiri.
“Ahh… enak kali, ya, bisa kuliah,” desahnya seraya menatap bulan yang memancarkan sinar keperakannya.
“Ada enaknya, ada nggaknya.” Celetuk Suho, “memangnya, kamu nggak sempat kuliah, ya?”
Kyungsoo menggeleng lemah. “Aku pengin kuliah. Sewaktu lulus SMA, baru ikut tes di beberapa universitas, tiba-tiba papaku jatuh sakit. Karena aku nggak tega lihat mamaku kerja sendiri, akhirnya aku relain masa kuliahku demi ngebantu mama.” Ia tampak agak sedih.
Suho mendengarkan cowok itu dengan penuh perhatian, sesekali tangannya mengusap punggung Kyungsoo.
“Sebenarnya aku bisa saja egois dan tetap ngotot untuk kuliah, tapi kamu lihat sendiri gimana kakakku yang suka ngaku-ngaku cantik itu. Dia mana becus ngurusin kedai donat papaku sendirian? Ngerebus air aja bisa sampai gosong, kok. Apalagi disuruh bikin donat. Mustahil, deh, kayaknya.” Dengusnya gemas. Suho tertawa mendengar komentar Kyungsoo tentang kakak perempuannya.
“Aku tahu kalau kamu itu anak baik, Kyungsoo. Kamu nggak egois. Dan aku suka sama sikapmu yang bertanggung jawab sama orangtua. Kamu anak yang berbakti, Kyungsoo. Aku kagum sama kamu,” ucapan Suho terdengar sangat tulus. Membuat dada Kyungsoo membuncah dan ia menggumam terima kasih.
“Memangnya kamu niatnya mau ambil jurusan apa?”
“Pâtisserie.” Jawab Kyungsoo.
“Apa itu?” Suho mengernyitkan dahinya.
“Bikin-bikin kue gitu.”
“Oh… ngga jauh-jauh dari dapur, dong. Hehehe.” Celetuk Suho. Kyungsoo tersenyum.
“Sudah hobi dari kecil. Kadang mamaku bertanya-tanya, jangan-jangan aku ini cewek, dan kakakku itu cowok. Dan jiwa kami tertukar. Hahaha. Aneh.”
Suho menatap Kyungsoo yang menertawakan dirinya sendiri. Suho terpesona akan suara tawa Kyungsoo. Sorot matanya yang ekspresif. Mata Suho meneliti tiap senti wajah Kyungsoo, bagaimana bibir penuhnya tersenyum, mata besarnya berkedip-kedip lucu, suaranya… semua yang ada pada diri cowok di sampingnya itu selalu membuatnya terpukau.
Kyungsoo yang menyadari tatapan Suho merasa agak canggung. Ia merasakan debaran di dadanya.
“Ehem… sudah malam, kita pulang, yuk,” Kyungsoo berdehem, dan berdiri dari duduknya. Suho yang masih duduk di bangku taman, mengangkat tangan kirinya meminta disambut tangan Kyungsoo.
“Pemalas!” dengus Kyungsoo disela-sela senyumnya dan menarik tangan Suho hingga cowok itu berdiri. Secara refleks, Suho menarik bahu Kyungsoo mendekat dan merangkulnya. Persis seperti yang ia sering lakukan pada kakak Kyungsoo.
Namun sensasi yang timbul berbeda. Saat bersama kakak Kyungsoo, Suho merasakan nyaman sebagai sahabat. Sedangkan saat merangkul bahu Kyungsoo, ia merasakan dadanya sakit karena jantungnya berdegup kencang. Sekujur tubuhnya menjadi hangat, dan pipinya bersemu merah.
Kyungsoo yang tak menyangka akan dirangkul seperti itu pun merasakan hal yang sama dengan Suho. Tubuhnya menegang dibawah sentuhan Suho.
“Kyungsoo…”
“Hmm?”
“Besok kita keluar lagi, ya?”
“Aku nggak janji. Kita lihat saja besok,” jawab Kyungsoo dengan suara agak bergetar karena gugup. Suho baru melepaskan rangkulannya setelah mereka berada di depan rumah Kyungsoo.
“Terima kasih sudah nemenin aku di taman. Besok, kalau jadi pergi lagi, aku ikut kemanapun yang kamu mau.” Ujar Kyungsoo.
“Oke. Makasih kamu sudah mau pergi sama aku. good night, Kyungsoo.”
Entah apa yang ada dipikiran Suho saat ia mencondongkan tubuhnya ke arah Kyungsoo dan mengecup pipi cowok bermata lebar itu.
Kyungsoo terbelalak. Sama sekali ia tak mengharapkan tindakan itu dari Suho. Cowok yang tiap hari muncul di kedai donatnya.
“Bye, Kyungsoo!” dan Suho buru-buru meninggalkan Kyungsoo yang terpaku di depan pintu rumahnya dengan tangan memegangi bekas kecupan bibir Suho.
Cowok yang lebih tua itu segera berlari menjauh dari Kyungsoo, tak ingin cowok itu melihat betapa merah wajahnya.
“Apa yang aku pikirin tadi? Gimana kalau dia marah? Gimana kalau dia nggak sudi ketemu aku lagi? Tapi… aku nggak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku harus bilang sama dia. Aku harus ngaku tentang perasaanku,” ia bertanya-tanya, dan bertekad akan menyatakan apa yang ia rasakan.
O0O
Aku sedang membaca sebuah majalah ketika aku mendengar suara-suara di depan rumah. Aku longokkan kepalaku dari balik gorden jendela kamarku, dan melihat Suho dan Kyungsoo di luar. Mereka berdiri berhadapan. Kudengar Kyungsoo berterima kasih pada Suho, dan Suho mengucapkan selamat malam.
Tiba-tiba Suho mendekati adikku dan mencium pipinya.
OMG! SUHO MENCIUM KYUNGSOO!
Ta-tapi… adikku kan cowok. Ya ampun. Jangan-jangan?
TUHAAAAN… jangan bilang kalau Suho itu penyuka sesama jenis!
Meski aku ingin berteriak, tapi aku tahan. Aku nggak ingin mereka tahu kalau aku lihat adegan tak senonoh itu.
Okeee… aku agak berlebihan. Baru juga cium pipi. Tapi tetap saja rasanya aneh melihat Suho mencium Kyungsoo.
Setelah Suho pergi, aku dengar Kyungsoo membuka pintu dan masuk. Aku segera keluar kamar untuk menemuinya.
“Yah! Dari mana saja kamu?” aku berdiri bersandarkan tembok, melipat lenganku di dadaku, dan menatapnya galak.
“None of your business, Sis,” balasnya dengan malas. Aku masih dengan jelas bisa melihat semburat merah di wajahnya.
Aku memutar bola mataku dan membuntuti adikku ke kamarnya. Ia hendak menutup pintu kamarnya tapi aku menahannya dan memaksa masuk.
“Kakak! Apa-apaan, sih?” sentaknya kesal. Aku tak menggubrisnya dan dengan santainya aku duduk di ranjangnya.
“Kalian ngapain saja, huh?”
“Bukan urusanmu, Kak. Sekarang keluar dari kamarku. Aku mau buka baju, nih.” Usirnya seraya membuka hoodie birunya. Lalu ia mulai mengangkat kaosnya, memamerkan perutnya yang kencang dan agak berotot.
“Buka aja. Toh, aku sudah biasa lihat kamu telanjang,” jawabku santai sambil terus menatap adikku. Menantangya.
“Itu, kan, jaman aku masih kecil, Kak! Sekarang aku sudah besar. Keluar! Atau aku seret, nih!”
“Seret saja kalau kuat.” Sahutku masih duduk tenang di ranjangnya.
Kyungsoo menggeram kesal dan membuka kaosnya. Lalu ia mengambil kaos lain dan memakainya.
“Mau Kakak apa, sih?” ia duduk di sampingku. Menatapku kesal.
“Aku cuma mau dengar cerita kencanmu sama Suho,”
“Aku nggak kencan sama dia. Tadi kita duduk-duduk saja di taman,” sergahnya. Pipinya memerah lagi.
“Kalau nggak kencan, terus ada acara cium-cium pipi segala itu apa, dong?” tanyaku usil. Dan benar saja, wajah Kyungsoo makin merah.
“Kakak lihat?” kedua matanya terlihat seperti ini, O_O
Aku mengangguk. Ia mengerang frustrasi seraya mengacak rambut hitamnya.
“Aku nggak tahu. Dia tiba-tiba cium aku.”
“Hmm… apa kamu suka?”
“Ngg… nggak tahu,”
Aku menatap adikku dalam-dalam, matanya menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Agak berat buatku untuk mengakuinya. Untuk merelakannya. Aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar teman di antara Suho dan Kyungsoo. Aku enggan merestui perasaan terlarang mereka itu. Tapi… apa aku bisa melarang cinta yang sepertinya sudah tumbuh di antara keduanya?
Hhh…. Aku harus mendapat kejelasan dari semua ini.
“Kyungsoo… apa kamu… jatuh cinta sama Suho?” tanyaku hati-hati.
Kyungsoo terkesiap dan tak berani menatapku. Ia menelan ludah berkali-kali. Matanya tampak begitu besar kalau ia sedang panik. Hahahaha. Persis burung hantu mencari mangsa di tengah malam. Hahahaha.
Ehem… back to the topic.
Aku mencoba mengorek isi hati adikku. Dan akhirnya ia mengakuinya…
“Kayaknya… aku suka sama Suho, Kak,”
“Ya sudah, jadian saja. Apa susahnya?” kataku.
“Tapi apa dia juga suka aku?”
“Bego! Buakannya dia sudah cium kamu? Artinya dia suka sama kamu!” aku gemas dengan kepolosan Kyungsoo. Ahhh…
Kyungsoo tersenyum dan memelukku. “Terima kasih, Kak.”
“Terima kasih buat apa, Kyungie?”
“Karena Kakak sudah bawain Suho buatku,”
“Heh, jangan ge-er dulu, ya. Siapa pula yang bawain dia buat kamu? Dia aja yang tiba-tiba naksir kamu, dan mencampakkan kakakmu ini! Huh!” aku masih memeluknya, tapi aku sempatkan diri untuk mencubit pinggangnya.
“Kakak cemburu, yaaaa?” tanya usil setelah melepas pelukannya. Aku hanya mencibir dan menjitak dahinya yang aga lebar itu.
Setelah berbincang-bincang tentang Suho, Kyungsoo dengan paksa mengusirku dari kamarnya. Aku pasrah dan kembali ke kamarku. Segera kurenggut ponsel dari atas meja riasku dan menelepon Suho.
Aku ingin memastikan bahwa cowok tampan itu sedang tak mempermainkan adikku satu-satunya.
Dan setelah sekian kali ia bersumpah dan berjanji akan menjaga Kyungsoo dan tak akan menyakitinya, maka aku merestui perasaan mereka.
O0O
“Kyungsoo… aku memang belum lama kenal kamu. Tapi aku ngerasa seolah aku sudah kenal kamu sejak lama. Aku suka sama kepribadianmu. Suka sama ketekunanmu. Sama rasa tanggung jawabmu. Aku suka caramu tersenyum. Caramu mengadoni donat pun kelihatan menarik banget.” Kyungsoo memutar bola matanya saat mendengar ucapan Suho, “Aku suka suaramu saat kamu nyanyi sambil menguleni adonan. Aku suka lihat kamu menggigit bibirmu saat memberi topping ditiap-tiap donat yang sudah jadi…”
“Suho… kamu bikin aku jadi lapar karena bahas donat terus. Jadi inti pembicaraanmu ini apa?” tanya Kyungsoo tak sabar sambil mengelus perutnya yang keroncongan.
“Intinya… Do Kyungsoo… I think I’m falling for you. I love you, Kyungsoo.” Akhirnya kata-kata yang selama ini disimpannya terucap juga.
“Stupid! Bilang gitu aja susah. I love you too, Suho.” Balas Kyungsoo sambil menatap wajah tersipu Suho.
“Tapi bukan berarti kamu bisa makan gratis terus di kedai donatku, bisnis tetap bisnis.” Senyum di wajah Kyungsoo menghilang, digantikan ekspresi wajah serius.
“Hahaha… oke, deh, donatku sayaaaang” dan Suho menangkup wajah Kyungsoo dan menyapukan bibirnya ke bibir cowok bermata besar itu.
“Ehem… ehem! Ini tempat umum, guys,”
“Kakak!” ucap Kyungsoo pelan.
“Ganggu aja, deh, kamu!” dengus Suho dengan kesal dan melemparkan tatapan –buruan-nyingkir-atau-aku-tendang-.
Kakak Kyungso hanya tertawa dan menjulurkan lidahnya. Ia pun keluar dan menutup pintu kedai di belakangnya. Sebelumnya, ia meletakkan papan bertuliskan… CLOSED…
Kyungsoo dan Suho tak akan diganggu lagi…
O0O
Akhirnya adikku dan sahabatku berpacaran. Agak aneh sih melihat mereka bergandengan tangan, berpelukan, berangkulan, dan yang paling membuatku mual adalah melihat bibir mereka bertaut. Yaiks. Rasanya aneh melihat dua cowok tampan beradegan seperti itu.
Tapi aku bahagia melihat Kyungsoo lebih ceria. Ia bahkan hendak mencoba melanjutan studinya. Ia bercita-cita ingin menjadi ahli dalam membuat kue dan roti. Dan untungnya papa mendukung.
Dan aku demi membantunya mewujudkan impiannya, mulai berlatih membuat donat. Dan ternyata aku punya bakat. Yeeeey. Aku bisa membuat donat yang sama enaknya dengan buatan Kyungsoo dan papa.
Mama juga memutuskan untuk berhenti bekerja di kantornya, dan akan fokus membantuku dalam menjalankan kedai kami.
Dan Suho? Ia lulus dengan nilai yang memuaskan. Lalu dengan sukarela ia menjadi konsultan keuangan kedai kami.
I love you Suho. You’re really an angel.
An angel that sometimes gives me headache. Hahaha.
Ah… dan kapan aku punya pacar?
Tanya Suho, ah, siapa tahu ia punya teman yang sedang mencari cinta. Hehehe.
Good luck to me, then…
THE END
Ini salah satu FF Favkuuu, aku br baca lagi akhrinya ketemu stlahblama ubek2 Google 😭😭. Ka ada akun Authornya tdak ya? Aku mau ijin remake ff ini klo diijinkan..
BalasHapus