Author :: stillthirteen13
Tittle :: A simple thing called honesty [Part 4]
Genre :: Romance, friendship, family (sedikit)
Tags :: Lee Sungmin, Cho Kyuhyun, Hwang Min Ji (OC), Lee Saeny (OC)
Rating :: T
Length :: Chapter
Sungmin’s POV
“Mm… Bisakah kau seperti ini setiap hari? Tidak bersikap keras padaku meskipun tidak sedang di depan Saeny? Bersikap baik padaku bukan hanya karena layanan gratis semata? Meskipun berpura-pura, bisakah kau bersikap baik padaku? Setidaknya agar aku bisa sedikit nyaman dirumah ini…” aku tercengang mendengarnya. Apa aku sekeras itu padanya? Keundae, sepertinya iya.
“Meskipun berpura-pura? Kau tidak keberatan meskipun seandainya aku hanya berpura-pura?”
“Dibandingkan dengan pernikahan yang pura-pura, itu sama sekali tidak terlihat menyeramkan,” jawabnya yang lagi-lagi mengacaukan kerja jantungku dengan sempurna. Minji-ya, belum sampai dua bulan di rumahku, kau sudah menghancurkan pendirianku. Sebelum ini, aku selalu menganggapmu sebagai orang yang menyedihkan. Tidak bisa mempertahankan hakmu dan kupikir kau adalah orang yang munafik. Bertahun-tahun aku men-cap-mu sebagai orang yang seperti itu. Munafik. Tapi hari ini, kau mengubah semuanya. Kau semakin terlihat lemah dan menyedihkan, dan karenanya… Aku jadi ingin melindungimu. Haha, lucu sekali… Ini sangat bertolak belakang. Jangan sampai aku menghancurkan rencanaku sendiri.
“Eotthae?” tanyanya yang lagi-lagi menyeretku keluar dari lamunanku. Kini kedua matanya yang sendu menatapku lekat-lekat.
“Akan aku coba.”
“Gomawo,” gadis ringkih itu kembali menatap bunga-bunga di depan kami. Dia mendekap dirinya sendiri saat angin sore berhembus lembut. Hembusan angin itu mengukir senyuman kecil dibibirnya dan membelai setiap helai rambut berwarna hitam kecoklatan itu dengan indah, membuatku terpana menatapnya. Lee Sungmin, hati-hati dengan permainanmu sendiri.
~ ~ ~
Keesokan harinya.Author’s POV
“Minji-ya… Aku sudah di depan rumah sakit.”
“Ne… Aku sedang berjalan keluar. Tunggu sebentar,” Minji memutuskan sambungan teleponnya dan berjalan ke luar rumah sakit dengan agak tergesa-gesa. Jam tujuh nanti mereka harus menjemput orang tua Minji untuk acara makan malam bersama, ini sudah jam lima dan Minji juga Kyuhyun masih mengenakan seragam kantor mereka. Tidak mungkin kan mereka datang dengan kostum seperti itu?
“Ayo jalan,” titah Minji yang baru saja duduk dikursinya. Ia nampak kerepotan. Ponsel Minji bergetar. Ada sebuah panggilan masuk. Minji menatap layar ponselnya itu dan segera mengangkat teleponnya.
“Ne, Sae-ya? Ada apa?” ujarnya lembut. Kyuhyun diam di tempatnya dan mulai menjalankan mobilnya.
“Maaf, aku lembur, Sae-ya… Kau makan bersama Sungmin saja… Mianhae…” sahut Minji lagi. saat ini, lembur adalah alasan paling tepat untuk situasi pernikahan KyuSae dan KyuJi yang cukup rumit.
“Mm… Ara… Sampai jumpa,” Min Ji menjauhkan ponsel itu dari telinganya dan menyimpannya kembali ke dalam tas.
“Saeny?” tanya Kyuhyun sambil sesekali menoleh ke arah Minji. Minji hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan jas putih panjangnya yang belum dilepas.
“Kita ke butik dulu,” ucap Kyuhyun lagi, berniat memecah keheningan yang tercipta. Tidak biasanya Minji diam seperti ini.
“Ara.”
~~~
Akhirnya mereka sampai dikediaman Kyuhyun. Orang tua Minji berjalan
di depan, diikuti dengan Kyuhyun dan istrinya. Minji mengamit lengan
Kyuhyun dan berjalan dengan anggun seanggun dress selutut berwarna biru tua yang sederhana namun berkelas yang membalut tubuhnya.“Annyeonghaseo, Appa, Eomma,” sapa Minji dengan sopan seraya membungkukan tubuhnya dalam-dalam. Nyonya Cho segera menarik Minji ke dalam pelukannya, mencium pipi Minji yang kiri juga kanannya. Setelah saling menyapa, ketujuh orang itu berjalan menuju ruang makan. Berbagai makanan tersedia di atas meja persegi panjang berwarna hitam dan dilapisi kaca di atasnya itu. Kyuhyun duduk bersebelahan dengan Minji dan adiknya, Cho Hara.
“Oppa, kalian serasi sekali,” Hara berbisik kepada Kyuhyun ditengah obrolan keluarga sebelum acara makannya dimulai. Kyuhyun hanya bisa tersenyum sambil memandangi Minji yang sedang tersenyum ke arah orang tua mereka dan berbicara dengan lembutnya.
“Jinjja?” Kyuhyun ikut berbisik. Hara mengangguk pasti lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kyuhyun lagi.
“Kau juga sekarang berubah. Tidak mudah marah dan brutal seperti dulu. Minji Eonni pasti mengurusmu dengan benar.” Hara terkekeh, begitu pula dengan Kyuhyun. Memang sejak menikah dengan Minji, hubungan antara Kyuhyun dengan keluarganya jadi membaik. Orang tuanya tak lagi mengekangnya dan mulai mempercayai Kyuhyun sepenuhnya. Ditambah lagi, dengan adanya fake wife-nya itu, Kyuhyun jadi bisa tinggal bersama Saeny. Apalagi yang lebih menyenangkan selain bisa tinggal bersama Saeny, yeoja yang sangat dicintainya, yang sejak dulu ditolak oleh orang tuanya?
“Kyuhyun, bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanya Kyuhyun Appa disela kegiatan makannya.
Kyuhyun menelan makanannya lebih cepat, meneguk air lalu menjawab, “Lancar, Appa. Sebenarnya sebelum menikah pun aku sudah naik jabatan jadi wakil direktur,” ujarnya bangga. Kyuhyun memang tidak bekerja di perusahaan Appanya, dia lebih memilih bekerja diperusahaan lain. Itu juga salah satu bentuk penentangannya dulu.
“Jinjja? Wah… Memang seharusnya Appa tidak meragukanmu,” Kyuhyun tersenyum bangga lagi. Sedang Minji hanya tersenyum simpul.
“Lalu, kau bagaimana Minji?”
“Dia sangat sibuk, Appa. Berangkat pagi, pulang larut malam. Dia sangat sibuk hingga tidak sempat menyiapkan makan malam,” sambar Kyuhyun dengan nada sedikit kecewa. Lagi-lagi Minji hanya mampu tersenyum.
“Benarkah? Jangan bekerja terlalu keras. Kau harus jaga kesehatanmu, Minji-ya,” Min Ji melirik Eommanya yang tertunduk.
“Ani, Appa. Aku kan harus selalu siap ketika orang membutuhkanku,” tangan Minji Eomma yang tadinya sibuk memotong daging, kini berhenti. Dia tahu persis, itu ucapannya dulu. Dan entah kenapa, ucapan anaknya itu berhasil menikam jantungnya. Namun…
“Siap apanya? Kau masih menghindari operasi tertentu. Tidak profesional,” celetuk Minji Eomma. Mungkin karena kebiasaannya yang selalu keras dalam mendidik Minji membuatnya lupa bahwa beberapa saat sebelumnya ia sedang merasa bersalah. Lantas semua anggota keluarga Cho mengerutkan dahi mereka. Dan Minji hanya bisa tertunduk dalam.
‘Memangnya kenapa kalau aku takut? Apa itu benar-benar sungguh sangat memalukan hingga membuatmu tak tahan lagi untuk hidup di dunia ini?’ batin Minji. Jemari tangannya meremas sendok ditangannya dengan kuat. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering dan pahit. Entah kenapa ia merasa penyesalannya ketika membentak ibunya kemarin adalah sebuah kebodohan. Nafas Minji mulai naik turun dan emosinya memuncak.
“Berhenti membahas tentang operasi, Eomma! Aku bosan mendengarnya. Harus berapa kali aku mengatakan pada Eomma dan Appa bahwa aku takut. Aku takut! Apa hal itu terlalu mengganggu kalian? Apa ketakutanku itu adalah sebuah kesalahan besar hingga membuat kalian tidak mempunyai alasan untuk bertahan hidup?” Minji berdiri dari kursinya. Menatap tajam ke arah orang tuanya dan mengacuhkan keempat orang lainnya yang sedang kebingungan.
“Hwang Minji!” bentak Minji Appa.
“Wae, Appa? Aku salah?”
“Minji! Apa yang kau lakukan?” Kyuhyun menarik lengan Minji, memaksa gadis itu untuk duduk, namun Minji melepaskan tangannya dengan kasar.
“Kau diam saja, Kyuhyun! Memangnya kau siapa?! Berani-beraninya kau mengaturku?!” mata Kyuhyun melebar. Tubuhnya terasa sulit untuk digerakan ketika melihat Minji seperti itu. Gadis yang selama ini selalu lembut padanya baru saja membentaknya, menghentikan jantungnya untuk memompa darah dengan kalimat yang barusan dilontarkan ‘gadisnya’ itu.
“Eomma… Kau tahu? Kemarin aku sangat menyesal karena telah membentakmu, tapi sekarang kurasa itu hanya sebuah kebodohan. Untuk apa aku menyesal? Apa Eomma sangat menyesal karena telah menamparku kemarin? Apa Eomma sangat menyesal karena kemarin Eomma memukulku hingga berdarah?” Minji Eomma menunduk dan meneteskan air mata. Apa yang telah dilakukannya hingga putrinya yang sebelumnya baik-baik menjadi seperti ini? Pikirnya.
“Sepertinya tidak… Benar, kan?”
“Jawab Eomma!! “
Dengan cepat Kyuhyun bangkit dari kursinya dan kembali mengenggam lengan Minji dengan kuat.
“Sakit, Kyuhyun-ah!” pekik Minji sambil berusaha melepaskan tangannya. Kyuhyun menatap Minji dengan tajam, rahangnya mengeras, menunjukkan bahwa dia sangat marah.
“Hentikan!” ujar Kyuhyun pelan karena menahan emosi.
“Lepaskan aku!” sahut Minji. Suaranya melemah. Ia merasa jengah dengan semua masalahnya yang belakangan ini semakin menyesakkannya, membuatnya sulit bernafas.
“Minta maaf pada orang tuamu!” titah Kyuhyun masih dengan suara dinginnya. Tatapan Minji meredup.
“Lepaskan!”
“Kubilang, minta maaf pada orang tuamu!”
“Tidak. Tidak akan lagi. Aku tidak mau melakukan hal bodoh semacam itu lagi. Lepaskan aku!”
“Minji, mereka orang tuamu. Minta maaf pada mereka!”
“Kenapa tidak kau saja yang minta maaf? Kau suamiku. Berarti orang tuaku adalah orang tuamu juga, Kyuhyun-ah. Ah, atau di sini hanya aku yang beranggapan seperti itu? Apa di sini hanya aku yang beranggapan bahwa kita ini sepasang suami istri?” genggaman Kyuhyun terlepas dengan sendirinya, seolah tenaganya menguap entah ke mana.
Kyuhyun’s POV
“Kenapa tidak kau saja yang minta maaf? Kau suamiku. Berarti orang tuaku adalah orang tuamu juga, Kyuhyun-ah. Ah, atau di sini hanya aku yang beranggapan seperti itu? Apa di sini hanya aku yang beranggapan bahwa kita ini sepasang suami istri?” genggamanku terlepas dengan sendirinya, kata-katanya itu menguapkan tenagaku begitu saja. Air mata Minji mulai menetes dan dengan secepat kilat, ia menghapus air matanya dengan telapak tangannya sambil berlalu meninggalkan ruangan ini. Aku masih terpaku ditempatku. Terlalu banyak pertanyaan dan pemikiran di kepalaku, membuatku bingung harus berbuat apa.
“Oppa… Minji Eonni… Kejar, Oppa!” Hara mengguncang tanganku dan membuatku mengetahui apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku membungkukan badanku dalam-dalam dan meminta maaf sebelum aku meninggalkan ruangan ini.
“Mianhamnida, Appa, Eomma,” aku pun segera melesat menuju pintu utama. Mengejar gadis itu. Gadis yang untuk beberapa saat tadi tidak kukenal. Saat sampai di depan pintu gerbang, kulihat Minji sedang melepas sepatunya dan duduk dipinggiran jalan.
“Minji-ya,” panggilku saat sampai di depannya. Tetapi gadis itu mengacuhkanku, sekedar menatap kakiku pun tidak. Dia terus menyembunyikan wajahnya dibalik kedua tangannya yang dilipat di atas lutut. Perlahan, kuulurkan tanganku untuk menyentuh pundaknya, tapi Minji menepisnya. Dengan segera, ia bangkit berdiri dan hendak meninggalkanku. Kuraih lagi tangannya, mencengkramnya dengan kuat.
“Minji, kau mau ke mana?” gadis di depanku ini terus meronta, memukuliku dengan pukulannya yang sungguh tidak terlalu menyakitkan. Tangannya mulai beralih memukuli kepalaku, namun sejak tadi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
“Cukup, Minji!” bentakku sambil mencengkram bahunya saat gadis ini menggigit bahuku sebagai usaha melepaskan dirinya. Kusejajarkan wajahku dengan wajahnya, menatapnya lekat-lekat.
“Ada apa, Minji-ya? Kau membuatku bingung,” ujarku lembut. Nafasku tercekat saat melihat sorot matanya yang dingin. Aku tidak pernah melihat yang seperti itu.
“Mianhae, lupakan saja,” dia memaksakan diri untuk tersenyum, lalu melangkah menuju rumah keluargaku. Segera kutarik tangannya.
“Kau mau apa?”
“Aku mau minta maaf pada keluargamu, aku mengacaukan acaranya tadi.”
Sungguh, aku tidak mengenalnya sekarang ini. Wajahnya, entah kata apa yang cocok untuk menggambarkannya. Yang pasti tidak seperti Minji yang kukenal.
“Kenapa tidak kau saja yang minta maaf? Kau suamiku. Berarti orang tuaku adalah orang tuamu juga, Kyuhyun-ah. Ah, atau di sini hanya aku yang beranggapan seperti itu? Apa di sini hanya aku yang beranggapan bahwa kita ini sepasang suami istri?”
Kalimat itu berkelebat cepat diingatanku. Membuatku serasa ditampar. Betapa bodohnya aku ini yang baru menyadari maksud ucapannya tadi. Minji-ya… Kau lelah?
“Minji-ya, mianhae,” tanganku masih menggenggam erat tangan Minji, namun aku tidak sanggup menatap matanya yang tiba-tiba berubah dingin itu. Mata yang tahunan sebelum ini hangat, kini berubah menjadi sedingin es.
“Untuk?”
Kau pasti tahu jawabannya Minji-ya… Jangan bersikap seperti ini. Kau membuatku merasa buruk. Sahabat macam apa aku ini? Menjadikan gadis ini sebagai tameng keegoisanku. Gadis ini. Gadis yang selama ini selalu berdiri di belakangku, menyanggaku saat aku sedang merasa down, gadis yang selalu berdiri di depanku ketika aku kehilangan arah dan akal sehatku, gadis yang selalu membantuku melupakan rumitnya hubunganku dengan keluargaku, gadis -yang sejauh aku mengenalnya- yang selalu rela menjadi pelindungku ketika Appa menghujamku dengan berbagai statement-nya yang menusuk dan menghadiahkanku pukulannya yang selalu membuatku merasa bahwa aku ini bukanlah anak laki-lakinya. Sahabat macam apa aku ini yang dengan teganya berpikir bahwa membantuku adalah tugasnya sebagai sahabatku? Sahabat macam apa aku ini yang dengan santainya berpikir bahwa ini tidak akan menyakitinya?
“Mianhae,” ujarku tak menggubris pertanyaannya, yang ingin aku lakukan saat ini hanyalah meminta maaf sebanyak mungkin pada Angel-ku ini.
Saat aku sedang mengutuk diriku sendiri, aku merasakan kehangatan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku. Gadis itu. Minji. Hwang Minji, angel-ku. Dia memelukku dengan hangat, seperti biasanya.
“Bukankah aku pernah mengatakan padamu bahwa ini adalah kemauanku. Aku membantumu karena aku ingin.”
Perlahan aku membalas pelukannya, membenamkan wajahku disela lehernya yang jenjang. Jujur, ini membuatku merasa lebih tenang.
“Mianhae, Minji-ya. Kalau kau lelah, katakan padaku. Aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh lagi,” Minji mengangguk pelan. Aku bisa merasakan itu. Kulepaskan pelukanku, melepaskan jas hitam yang kugunakan lalu mengenakannya pada Minji.
“Gomawo,” ujarnya sambil merapatkan jas hitam itu. Matanya masih terlihat dingin. Aku sungguh sangat menyesal telah membuatnya seperti ini. Betapa bodohnya aku yang dengan tanganku sendiri melenyapkan tatapan hangat orang yang selama ini membuatku merasa nyaman. Akankah gadis ini kembali seperti dulu?
“Udaranya semakin dingin. Lebih baik kita pulang saja,” kurangkul pundaknya dan menggiringnya menuju mobilku.
Begitu sampai dikediaman Lee, aku menghubungi Sungmin untuk menanyakan keadaan di dalam.
“Sungmin-ah, Saeny sudah tidur atau belum?” tanyaku saat Sungmin telah menjawab panggilanku.
“Belum… Masih menonton tv. Kau di mana?” terdengar suara televisi dan itu menandakan Sungmin sedang berada di sebelah Saeny.
“Aku di depan rumah… Baiklah, aku menunggu sampai Saeny tidur dulu, baru masuk,” jawabku. Tidak mungkin aku masuk ke dalam bersama Minji, apalagi dengan pakaian seperti ini, Saeny pasti curiga. Kulihat Minji sedang menerawang jauh dengan tatapan kosongnya.
“Mwo? Dasar bodoh, aku akan menjemputmu, Minji-ya… Tunggu aku.”
‘klik’. Sungmin memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Benar juga, kenapa tidak terpikirkan olehku?
Tak lama kemudian, Sungmin muncul dari balik pintu.
“Masuklah… Aku dan Minji akan menyusul,” ujar Sungmin saat pintu sudah tertutup rapat. Aku tersenyum seraya mengangguk. Sebelum benar-benar melangkah meninggalkan tempat ini, aku melirik Minji sebentar. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran Sungmin. Ia masih menatap kosong ke arah lampu-lampu jalanan.
“Tolong ya,” aku menepuk bahu Sungmin lalu beranjak masuk ke dalam rumah. Setelah pintu sudah tertutup rapat, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di luar sana.
“Oppa? Baru saja Sungmin Oppa keluar untuk menjemput Minji Eonni, untung kau datang. Aku jadi tidak sendirian,” Saeny mengamit lenganku dan mengajakku duduk di sofa.
“Aku tahu, tadi kami bertemu di depan. Kau sudah makan?”
“Sudah. Oppa?”
“Gadis pintar. Sudah, Oppa sudah makan tadi.”
“Mau kusiapkan air hangat?”
“Mm… Gomawo, Chagi,” kuusap puncak kepalanya. Gadis itu tersenyum, membuatku melupakan sejenak rasa bersalahku pada Minji.
Minji’s side
Akhirnya aku mengatakannya. Aku ingin mengakhiri ini sesegera mungkin, tapi melihat Kyuhyun seperti tadi, aku tidak bisa. Aku tidak ingin melihatnya kembali depresi karena tekanan orang tuanya lagi, meskipun itu berarti aku harus merasakan ketidaknyamanan ini lebih lama lagi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya dia saat dia harus berpisah dengan Saeny, meskipun sebenarnya aku merasakan sakit yang teramat sangat.
Sebuah sentuhan dipundakku membuatku tersadar dari lamunanku. Tangan yang hangat itu beralih ke wajahku, menghapus air mata diwajahku yang aku sendiri tidak sadar bahwa aku menangis.
“Gwaenchana?” tanyanya dengan raut wajah yang khawatir. Sejak kapan Sungmin ada di sini?
“Sejak kapan kau ada di sini?”
Namja itu tersenyum dan menepuk kepalaku.
“Sudah sepuluh menit. Apa yang kau pikirkan hingga tidak menyadari kedatanganku?”
“Mianhae, aku hampir menghancurkan semuanya. Aku hanya tidak tahan dengan masalah ini. Ditambah lagi, tadi Eomma membahas tentang operasi lagi, dan emosiku jadi tersulut. Aku bertengkar dengan Eomma dan Appaku, bahkan aku hampir membongkar pernikahan ilusi ini. Mianhae,” entah kenapa aku malah menceritakan semuanya pada Sungmin. Mungkin karena aku tidak bisa memendam masalahku lagi saat ini. Sudah terlalu lama dan terlalu banyak aku memendam masalahku sendirian.
Tiba-tiba Sungmin menarikku ke dalam pelukannya, dan tanpa perintah air mataku kembali menetes.
“Bertahanlah,” katanya tepat di samping telingaku. Dia melakukannya. Dia tidak lagi bersikap kasar padaku. Meskipun berpura-pura, tapi aku sangat berterima kasih.
“Kita masih harus menunggu di sini beberapa saat lagi. Tapi, di sini sangat dingin… Kau—”
Aku mengeratkan pelukanku saat Sungmin ingin melepaskannya, membuatnya terdiam dan mengurungkan niatnya.
“Kalau begitu, kau harus seperti ini agar aku tidak kedinginan,” pintaku.
“Aku tahu kau sedang berusaha keras untuk bersikap baik padaku, dan aku sangat berterima kasih, Sungmin-ssi,” sambungku. Sungmin terdiam dan menghembuskan nafasnya perlahan.
“Cheonmaneyo,” katanya tak kalah pelan dengan hembusan nafasnya. Kubenamkan wajahku didadanya yang bidang, merasakan aroma tubuhnya yang belakangan ini sedikit membuatku merasa tenang.
Setelah hampir setengah jam menunggu diluar dan diselimuti udara dingin, kini aku dan Sungmin telah masuk ke dalam rumah megah itu. Kami berjalan beriringan, menaiki satu per satu anak tangga yang ada di rumah ini.
“Gomawo,” kataku begitu sampai di depan pintu kamarku. Sungmin menepuk pelan kepalaku, kemudian ia pun masuk ke kamarnya, begitu pula denganku. Aku segera membaringkan tubuhku ke ranjang, menatap langit-langit sambil kembali memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu.
“Setelah ini aku harus bersikap seperti apa saat bertemu Eomma dan Appa?” gumamku sambil menyembunyikan wajahku dibalik telapak tanganku. Sunyi. Hanya suara dentingan jarum jam yang mendominasi ruangan ini, membuatku tidak bisa memikirkan hal lain selain kejadian tadi.
Tiba-tiba terdengar suara daun pintu yang sedang ingin dibuka. Aku segera menghadapkan tubuhku ke samping dan memejamkan mataku. Tak lama kemudian, dengan mata yang terpejam ini, aku merasakan untuk beberapa saat cahaya menyeruak masuk menerangi kamar ini sebelum akhirnya gelap kembali menguasai ruangan bercat kuning kecoklatan ini. Suara derap langkah kaki yang halus semakin mendekat ke arahku, menimbulkan banyak pertanyaan dipikiranku disetiap langkah yang diambilnya.
‘Siapa? Sungmin-ssi? Tapi untuk apa?’ aku berpikir keras sampai aku tidak menyadari kini seseorang telah berbaring di tempat kosong yang ada di depanku.
“Minji-ya, mianhae. Aku terlalu egois dengan berpikir bahwa ini tidak akan menyakitimu. Jeongmal mianhae,” aku tahu siapa empunya suara ini. Kyuhyun. Cho Kyuhyun. Dengan lembut, tangannya mengusap pipiku dan menghapus cairan-cairan yang masih tersisa disudut mataku.
“Maaf, karena aku memaksamu melakukan ini. Aku hanya ingin bersama Saeny, menemaninya, menghiburnya dan menjaganya. Aku mencintainya, Minji-ya,” ucapnya lagi. Dapat kudengar Kyuhyun sedang mengatur nafasnya.
“Jeongmal mianhae, karena demi membuat Saeny bahagia, aku harus membuatmu sakit bahkan menangis… Mianhae, Minji-ya,” sambungnya. Hembusan nafasnya semakin terasa hangat di wajahku, lalu beberapa detik kemudian aku merasakan sesuatu yang lembab namun hangat menyentuh keningku.
“Jaljayo,” bisiknya di samping telingaku. Perlahan ia menuruni tempat tidurku, melangkah menjauh hingga benar-benar meninggalkan ruangan ini. Meninggalkan aku yang kini masih bisa merasakan aroma parfumnya yang sangat kuhafal. Aku membuka mataku, menumpahkan air mata yang sejak tadi kutahan.
‘Saeny? Kau tega membuatku seperti ini hanya demi Saeny? Sepenting itukah seorang Lee Saeny bagimu? Bahkan aku jauh lebih lama mengenalmu dibanding Saeny, kau baru mengenalnya selama empat tahun. Sedangkan aku? Aku sudah berada di sampingmu selama lebih dari sepuluh tahun. Apakah dengan waktu selama itu, aku masih belum pantas mendapatkan posisi pertama dihidupmu? Selama sepuluh tahun lebih pula aku selalu menemanimu, menjadi ‘tempat sampah’mu, menjadi perisaimu saat Cho Ahjussi memarahimu. Apakah itu tidak cukup untuk menjadikanku wanita diurutan pertama -setelah Eomma dan yeodongsaeng-mu tentunya- dalam hidupmu?’
“Minji!” sebuah suara membuatku tersadar.
“S..Sungmin.ssi”“ tanyaku kaget. Sejak tadi aku terus melamun hingga tidak sadar akan kehadiran namja ini.
“Kenapa kaget? Sejak tadi matamu terbuka, tetapi kau tidak menyadari kedatanganku? Kau memikirkan sesuatu?” tanyanya yang sedang berlutut di lantai dan mencondongkan tubuhnya ke arahku dengan bertopang pada siku tangannya.
“Ah? Aku hanya sedang memikirkan masalah tadi… Lalu, kau? Kenapa bisa ada di sini? Aku kira kau sudah tidur.”
Sungmin tergelak dari posisinya, dia berbaring menghadapku dan menatapku dengan ekpresinya yang belum pernah kulihat. Aegyo?
“Tadi aku lihat Kyuhyun keluar dari kamar ini. Aku hanya ingin memastikan ‘yeojachingu-ku’ baik-baik saja,” jawabnya sambil tersenyum, dan tanpa kusadari, bibirku mengembang seiring senyuman yang terlukis diwajahnya.
“Just a hoax, don’t I?” sahutku yang hanya dibalas dengan senyuman tipisnya.
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan hingga kau benar-benar tidak melihatku tadi?”
“Aniya.”
Sungmin merapatkan posisinya, lalu mengadukan kening kami. Aku hanya bisa memejamkan mataku karena hembusan nafasnya membuat mataku terasa perih. Tanpa aku perintah, air mataku mengalir bukan karena perih, tapi karena aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Namun, dengan lembutnya, jemari Sungmin menghapus setiap tetes cairan kesedihan itu.
“Kyuhyun mengatakan sesuatu padamu?” tanyanya, tepat sasaran.
“Ani. Keundae, dia bercerita, karena aku memejamkan mataku tadi,” jawabku. Sungmin terkekeh dan meletakan dagunya di puncak kepalaku, mengusap rambutku dengan lembut dan semakin menghilangkan jarak di antara kami. Dia hanya diam, seolah tahu aku tidak ingin membahas masalah ‘sahabatku’ itu lebih lanjut. Kubenamkan wajahku disela lehernya dan entah kapan tepatnya, aku pun tertidur.
~ ~ ~
Author’s side…Pagi kembali datang. Minji mengerjapkan matanya dan menyesuaikan mata bulat itu dengan silaunya sinar matahari.
“Tidak bisakah waktu berjalan sedikit lebih cepat agar semua cerita ini segera sampai pada ujungnya?” gumamnya pelan saat matanya sudah terbuka dengan sempurna. Ia berpikir sesaat ketika sadar dirinya masih berada di dalam dekapan seorang Lee Sungmin.
“Jadi, semalaman kau memelukku?” tanyanya pada namja yang matanya masih terpejam rapat yang ada di hadapannya. Minji hendak beranjak, namun niatnya terhenti saat sadar sehelai selimut tebal yang ukurannya sebesar tempat tidur itu tengah menutupi tubuhnya hingga ke leher. ‘Semalam kami berdua tidur dibalik selimut ini? Pantas saja tiba-tiba aku merasa hangat, rupanya kau menyelimutiku? Ani, maksudku kami,’ batinnya sambil tersenyum. Ia mengangkat sedikit kepalanya dan memandangi wajah Sungmin yang sedang tertidur. Entah dengan atau tanpa sadar, Minji mencium kening namja itu lama. Tersenyum sekali lagi sambil menatapnya, lalu kembali berbaring dan membenamkan wajahnya disela leher Sungmin. ‘ Hangat,’ batin Minji lagi. Tanpa ia sadari, seseorang tengah mematung di depan pintu. Tak percaya akan penglihatannya dari celah kecil yang ada di pintu. Sebelumnya ia ingin masuk, tapi langkahnya terhenti saat melihat gadis yang menurutnya lebih pantas mencium keningnya yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengenalnya dibanding kening namja di samping gadis itu yang baru didekat Minji selama dua bulan ini. Dengan perasaan yang campur aduk, pria itu kembali menutup rapat pintu yang terbuat dari kayu itu dan melangkah menjauh.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar