Author :: stillthirteen13
Tittle :: A simple thing called honesty [Part 5]
Genre :: Romance, friendship, family (sedikit)
Tags :: Lee Sungmin, Cho Kyuhyun, Hwang Min Ji (OC), Lee Saeny (OC)
Rating :: T
Length :: Chapter
Author’s side
Pagi kembali datang. Min Ji mengerjapkan
matanya dan menyesuaikan mata bulat itu dengan silaunya sinar matahari.
“Tidak bisakah waktu berjalan sedikit lebih cepat agar semua cerita ini
segera sampai pada ujungnya?” gumamnya pelan saat matanya sudah terbuka
dengan sempurna. Ia berpikir sesaat ketika sadar dirinya masih berada di
dalam dekapan namja bernama Lee Sungmin. “Jadi, semalaman kau memelukku?” tanyanya pada namja yang matanya masih terpejam rapat yang ada dihadapannya.
Min Ji hendak beranjak, namun niatnya
terhenti saat sadar sehelai selimut tebal yang ukurannya sebesar tempat
tidur itu tengah menutupi tubuhnya hingga ke leher. ‘Semalam kami
berdua tidur dibalik selimut ini? Pantas saja tiba-tiba aku merasa
hangat, rupanya kau menyelimutiku? Ani, maksudku kami,’ batinnya sambil tersenyum. Ia mengangkat sedikit kepalanya dan memandangi wajah Sungmin yang sedang tertidur.
Entah dengan atau tanpa sadar, Min Ji
mencium kening namja itu lama. Tersenyum sekali lagi sambil menatapnya,
lalu kembali berbaring dan membenamkan wajahnya di sela leher Sungmin. ‘Hangat,’
batin Min Ji lagi. Tanpa ia sadari, seseorang tengah mematung di depan
pintu. Tak percaya akan penglihatannya dari celah kecil yang ada di
pintu. Sebelumnya ia ingin masuk, tapi langkahnya terhenti saat melihat
gadis yang menurutnya lebih pantas mencium keningnya yang sudah lebih
dari sepuluh tahun mengenalnya dibanding kening namja di
samping gadis itu yang baru di dekat Min Ji selama dua bulan ini. Dengan
perasaan yang campur aduk, pria itu kembali menutup rapat pintu yang
terbuat dari kayu itu dan melangkah menjauh.
~ ~ ~
Sungmin menggeliat, dan sesegera mungkin,
gadis di pelukannya memejamkan matanya lagi. “Min Ji,” panggilnya. Dari
posisi kepala Min Ji saat ini, ia dapat merasakan getaran pita suara
Sungmin.
“Mm..,” sahut Min Ji atau tepatnya bergumam.
“Sudah pagi, kita harus siap-siap berangkat ke rumah sakit.”
“Sebentar lagi..”
“Ani! Ireona! Ppali!”
Gadis 89 liners itu segera mendorong tubuh Sungmin, menjauh secepat yang ia bisa. ‘Yang benar saja, dia berteriak sekencang itu!’ pekik Min Ji dalam hati. “Yakk!” keluh gadis itu sambil merubah posisinya menjadi duduk.
Sungmin ikut duduk dan menatap gadis di depannya dari atas hingga bawah.
“Wae?” Min Ji mengerutkan keningnya, bingung.
“Coba lihat, kau tidur dengan gaun itu dan masih ingin malas-malasan? Yeoja macam apa kau ini?”
Lagi-lagi Min Ji menatap Sungmin heran.
Baru kali ini ia mendengar lelaki dingin itu berbicara layaknya orang
biasa, tidak seperti Dr. Lee yang selalu serius yang ia kenal. “Terserah
kau saja. Aku mau siapkan sarapan dulu, baru siap-siap.” Min Ji pun
beranjak dari tempatnya dan melangkah menuju pintu.
“Cha! Silahkan..” Sungmin membungkukan
badannya bak pelayan kerajaan setelah sebelumnya menyambar gagang pintu
yang hampir Min Ji sentuh.
‘Lagi-lagi dia membuatku tersenyum,’
pikir Min Ji. Gadis itu pun berjalan melewati pintu yang sudah
dibukakan khusus untuknya itu, disusul dengan langkah Sungmin di
belakangnya.
“Masak yang enak ya!” Sungmin menepuk pelan kepala Min Ji dan tertawa lepas. ‘Sungguh,
kali ini aku tidak sedang berpura-pura, Min Ji-ya. Bahkan sejak awal,
jauh sebelum kau memintaku, jauh sebelum kau merasa muak seperti ini.
Kau tahu? Bahkan saat pertama kau sampai di rumah ini, aku telah
menciummu. Tepat di bibirmu yang merah itu. Awalnya aku tidak tahu
alasan aku melakukan itu, tapi aku baru menyadarinya beberapa hari yang
lalu. Saat hari dimana aku melakukan operasi untuk menolongmu, saat hari
dimana aku tahu rumitnya hubunganmu dengan orang tuamu, saat hari
dimana aku tahu kau terluka karena skenarioku dan Kyuhyun ini. Mianhae,’ batin Sungmin yang tengah memperhatikan sosok Min Ji dari belakang.
“Oppa? Eonni?”
Min Ji yang tadinya sedang menutup pintu,
lantas menoleh ke arah sumber suara. Saeny dan Kyuhyun. Dan entah
kenapa, wajahnya berubah dingin seketika. Min Ji menatap malas ke arah
Kyuhyun, lalu memasang topeng bahagianya di depan Saeny.
“Kalian.. tidur sekamar?” tanya Kyuhyun. Nadanya terdengar kecewa.
Min Ji dan Sungmin saling bertatapan, dan
seperti sudah direncanakan. Mereka sama-sama menggosok leher dengan
telapak tangan masing-masing.
“Ne..,” jawab Min Ji pelan.
“Ng.. aku rasa aku mau mandi dulu.” Sungmin berlalu dengan cepat dan hilang di balik pintu.
“Dan aku mau menyiapkan sarapan dulu.”
Min Ji segera melesat menuruni anak tangga dan menuju dapur. Rasanya ia
ingin segera menghilang dari hadapan kedua orang itu.
~ ~ ~
Min Ji yang sedang sibuk dengan berbagai
peralatan masak di sekelilingnya menghentikan kegiatannya seketika saat
sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya dengan erat. Dengan
dinginnya, Min Ji menatap pria itu. “Wae, Kyuhyun-ah?”
tanyanya dengan nada yang sedingin tatapannya sekarang. Nafas Kyuhyun
tercekat saat melihat sahabatnya yang semakin tidak ia kenali.
“Kau tidur sekamar dengan Sungmin?”
Tangan Kyuhyun semakin menggenggam pergelangan tangan Min Ji dengan
erat, atau mungkin lebih tepat jika disebut mencengkram. Tetapi Min Ji
tidak merasakan sakit sama sekali, dibanding cengkraman itu. Dadanya
lebih terasa sakit jika melihat Kyuhyun dan mengingat semua yang
dikatakan laki-laki itu semalam.
“Kau melihat kami keluar bersama, kan?”
“Bahkan aku melihatmu mencium kening Sungmin tadi.”
Air muka Min Ji tidak berubah sedikit pun
sedangkan Kyuhyun semakin menyiratkan kekecewaannya melalui ucapan dan
ekspresi wajahnya. “Wae? Kau marah?” Min Ji menarik sudut kanan
bibirnya, tersenyum angkuh sambil menatap Kyuhyun. Membuat genggaman
namja itu terlepas begitu saja.
“Tentu saja. Dibanding Sungmin yang baru
dekat denganmu selama kurang lebih dua bulan, bukankah akan lebih masuk
akal jika kau mencium keningku. Aku, sahabatmu selama lebih dari sepuluh
tahun. Dan lagi kau ini istriku, mana boleh kau melakukan hal-hal
semacam itu dengan namja lain? Kau semakin keterlaluan, Min Ji-ya.”
“Istrimu? Kau menganggap aku ini istrimu? Sungguh?” Min Ji memasang ekspresi tak percaya yang dibuat-buat.
Kyuhyun mengepalkan tangannya, geram dengan tingkah Min Ji yang dalam hampir dua puluh empat jam ini berubah drastis.
“Bukankah ini semua permainanmu, Kyuhyun-ah. Kau lupa?”
Belum sempat Kyuhyun membuka mulutnya,
gadis dihadapannya kembali bersuara. Kali ini Kyuhyun benar-benar tidak
bisa bicara. Terima atau tidak, perkataan Min Ji barusan memang benar,
sangat benar. Di saat Kyuhyun sedang kacau dengan pikirannya, Min Ji
melihat ujung sepatu Saeny dari balik tembok. Ya, gadis itu telah
mendengar percakapan Min Ji dan Kyuhyun sejak awal.
“Atau kau mulai menyukaiku?” tebak Min Ji.
Mata Kyuhyun membulat. Dia sendiri masih
bingung kenapa dia bisa semarah ini. Kenapa dia bisa semarah ini saat
Min Ji sedang di dekat Sungmin.
“Tentu saja tidak. Kau hanya ingin bersama Saeny, menemaninya, menghiburnya dan menjaganya. Kau mencintainya, Kyuhyun-ah.
Jika dibanding Saeny, aku ini apa? Hanya seorang sahabat kan? Kau pasti
sangat mencintai Saeny. Karena demi membuat Saeny bahagia, kau rela
membuat sahabatmu ini sakit bahkan menangis,” sambung Min Ji.
Kyuhyun merasakan darahnya berhenti
mengalir untuk sesaat. Kata-kata itu adalah kata-kata yang diucapkannya
semalam pada Min Ji. Dia pikir saat itu Min Ji sudah tidur, but in fact, she was heard every word which he said last night. “Min..ji..”
“Ada apa, Suamiku?” Min Ji menekankan
suaranya pada kata terakhir. Membuat Saeny -yang kedatangannya telah
disadari Min Ji- harus menutup mulutnya dengan telapak tangannya,
menahan agar kehadirannya tidak diketahui, meskipun sebenarnya itu
sia-sia. Min Ji sudah menyadari keberadaannya sejak tadi.
“Min Ji-ya, jangan berbicara seperti itu!! Bagaimana kalau Saeny dengar?”
“Hah? Di saat seperti ini pun kau masih mengutamakan Saeny. Kau bahkan tidak berniat untuk minta maaf padaku?”
Lagi-lagi namja itu hanya bisa diam, merasakan tatapan gadis di depannya yang semakin lama semakin menusuk. “Min Ji-ya..,” panggil namja itu, lirih.
Sementara itu di saat yang bersamaan,
Sungmin baru turun dari tangga. Ia terpaku di tempatnya saat ia melihat
Saeny –adiknya- bersembunyi di belakang tembok sambil membekap mulutnya
dengan telapak tangannya yang mungil. Sungmin melirik ke arah dapur.
Dilihatnya Kyuhyun dan Min Ji yang sedang berbicara saling berhadapan.
“Saeny, sampai kapan kau akan bersembunyi di situ? Kemarilah! Kita akhiri semuanya saat ini juga.”
Mata Kyuhyun membulat sempurna, tubuhnya seolah membeku seketika saat mendengar sebaris kalimat yang diucapkan Min Ji barusan.
“Sae-ya,” panggil Min Ji.
Saeny masih berdiri di tempatnya, diam dan meneteskan air matanya.
“Kau dengar kan? Kyuhyun marah saat
melihat aku tidur bersama kakakmu. Bukankah itu terdengar sedikit aneh?”
Min Ji bersuara lagi, sedangkan Kyuhyun masih mematung di tempatnya.
“Mungkin untukmu, itu terdengar aneh. Tapi tidak untukku, Kyuhyun dan
kakakmu, Lee Sungmin,” ucap Min Ji. “Kau tahu kenapa?” sambung Min Ji
seraya menarik kedua sudut bibirnya.
“Hentikan, Min Ji!!” Kyuhyun akhirnya
bersuara, namun sayangnya Min Ji yang sudah lelah dan jengah akan
semuanya kini sudah mencapai batasnya.
“Karena aku yang kau kira sepupu Kyuhyun
ini ternyata adalah sahabatnya selama hampir sebelas tahun. Karena aku
sahabat Kyuhyun selama hampir sebelas tahun ini adalah istrinya Kyuhyun,
suamimu. Dan kakakmu tentu tahu tentang hal ini. dan satu lagi, aku
bukan calon kakak iparmu. Semua hanya fiksi yang diciptakan oleh dua namja itu.”
Tidak ada yang bisa Sungmin lakukan
kecuali membuka matanya lebar-lebar, merasakan tenggorokannya yang
tiba-tiba terasa kering dan pahit saat ia sampai di hadapan Saeny.
“Dan kau tahu, Saeny? Kau telah dibohongi oleh dua namja penting dalam hidupmu itu.” Min Ji melangkah perlahan menuju tempat Saeny berdiri. “Aku ingin tanya satu hal padamu, Sae-ya.
Apa yang Kyuhyun katakan padamu saat orang tuanya tidak menghadiri
pernikahan kalian?” Kini Min Ji berdiri tepat selangkah di depan Saeny,
menatap tajam ke arah gadis yang usianya tiga tahun lebih muda darinya
itu tanpa mempedulikan Sungmin yang ada di sampingnya.
Saeny diam. Rasa ragu mulai menyelimuti
pikirannya. Tidak sanggup berpikir bahwa semua yang dikatakan Min Ji
adalah benar adanya.
“Kyuhyun-ah, apa yang telah kau katakan padanya? Kebohongan apa yang kau katakan padanya untuku meyakinkan gadis yang kau cintai ini?”
Semua orang di ruangan ini mendadak
kehilangan seluruh suaranya, kecuali Min Ji. Gadis itu terus bersuara,
menumpahkan seluruh kelelahan yang dirasakannya. “ ………”
“Dia pasti bilang orang tuanya sedang di
luar negeri? Iya kan, Saeny?” Lagi-lagi Min Ji bersuara, membuat Kyuhyun
semakin tercekat karena sebaris kalimat yang baru saja diucapkannya.
“Kau tahu? Sebenarnya saat itu Ahjussi dan Ahjuma ada
di kota ini, bahkan mereka beraktivitas seperti biasa. Kau tahu kenapa
Kyuhyun berbohong padamu saat itu? Kau tahu kenapa orang tua Kyuhyun
tidak datang ke acara pernikahan kalian?” Min Ji menatap tajam ke arah
Kyuhyun. Masa bodoh dengan tatapan nanar Kyuhyun yang memintanya untuk
tidak mengatakan apapun lagi pada Saeny. “Itu karena mereka membencimu,
Saeny. Dan asal kau tahu, mereka menerimaku dengan mudahnya untuk
menjadi istri dari putra sulung mereka, Kyuhyun. Kau pasti tahu kenapa.
Karena mereka menyayangiku bahkan menganggapku seperti anak mereka
sendiri. Jadi, bisakah kau menyerahkan Kyuhyun seutuhnya padaku?”
Tubuh Saeny menegang, bulir-bulir air
mata yang sejak tadi ditahannya, kini menetes satu per satu. Kyuhyun
hanya bisa menundukan kepalanya. Meskipun sangatlah tak mungkin, dia
berharap Saeny tidak terlalu terpukul. “Min Ji, apa yang kau katakan?!”
Akhirnya Kyuhyun bersuara atau lebih tepatnya membentak. Ia tidak tahan
melihat Min Ji terus menyudutkan gadisnya dengan kalimat-kalimat yang
dilontarkan Min Ji.
“Wae? Apa aku salah? Aku istrimu
dan aku berhak mengatakan ini. Dan bukankah lebih masuk akal jika kau
lebih memilih aku ketimbang gadis yang baru kau kenal selama empat tahun
ini? Bukankah akan lebih masuk akal jika kau lebih memilih aku yang
jauh lebih memahamimu dibanding gadis ini? Meskipun tanpa cinta, apakah
waktu yang kuluangkan untukmu selama hampir sebelas tahun ini tidak
cukup untuk menggelitik sedikit perasaanmu untuk lebih menghargaiku,
sahabatmu?”
Sungmin mencengkram pergelangan tangan
Min Ji, berharap gadis itu tak lagi berkata-kata. Berharap gadis itu tak
lagi berusaha menghancurkan semuanya dalam hitungan menit.
“Min Ji, kau tahu jawabanku.” Di satu
sisi Kyuhyun tidak ingin melukai sahabatnya, tapi disisi lain. Tidak
mungkin juga ia meninggalkan gadis yang sangat dicintainya. Tapi kenapa
tadi dia marah? Dia sendiri juga masih bingung.
“Tentu saja.” Raut wajah Min Ji mengisyaratkan kekecewaan. Tatapan matanya berubah kosong dan dingin.
“Eonni..” Suara Saeny terdengar parau.
Entah kenapa suara itu menyulut emosi Min
Ji lagi. Ia masih tidak terima mengingat baru saja sahabat sekaligus
suaminya lebih membela pemilik suara itu ketimbang dirinya. “Apa tidak
ada hal lain yang bisa kau lakukan saat ini selain menangis? Berhenti
merebut perhatian suamiku, Lee Saeny!!” ucapnya dingin. Sungmin hendak
menarik lengan Min Ji dan menyembunyikan gadis itu dibelakang
punggungnya, tapi tenaganya seolah menguap saat retina matanya menangkap
tatapan tajam Min Ji.
“Eonni, mianhae..”
“Hah! Tentu saja. Bagi seorang gadis yang
selalu dinaungi perhatian yang amat besar sepertimu, tidak ada hal yang
bisa kau lakukan selain menangis dan bersandar pada seseorang. Apakah
sekarang kau akan pergi menemui orang tuamu? Menceritakan semuanya pada
mereka? Meminta kehangatan mereka untuk menenangkanmu?”
Hati Sungmin mencelos saat sadar akan
arah pembicaraan Min Ji. Jantung Sungmin berdegub kencang, keringat
dingin mulai merembes dari pori-pori kulitnya, bibirnya memutih karena
ketakutan yang amat sangat.
“Tapi sayangnya mereka sudah tidak ada, Sae-ya..”
Oksigen seakan lenyap dari darah Sungmin.
Seandainya saja di belakangnya tidak ada tembok, dia pasti sudah
terduduk di lantai sekarang. Akhirnya Min Ji benar-benar menghancurkan
semuanya.
“M..mwo?”
“Ahh… Kakakmu tidak
memberitahumu? Bukankah orang tuamu meninggal dua tahun yang lalu?” Min
Ji melirik Sungmin, dan di saat yang bersamaan telapak tangan kanan
Sungmin mendarat mulus dipipi Min Ji.
Plak!
“Oppa…” Saeny tersentak kaget.
Ada dua kemungkinan yang terlintas di otak Saeny ketika melihat Sungmin
menampar Min Ji. pertama, kakaknya itu marah karena Min Ji sedang
mengatakan omong kosong atau yang kedua, kakaknya itu marah karena Min
Ji mengatakan hal yang sebenarnya dan meminta gadis itu untuk bungkam.
“Sungmin-ssi, tega sekali kau
menciptakan dimensi tersendiri untuk adikmu. Membiarkannya hidup
dikondisi yang salah,” kata Min Ji sambil terkekeh pelan.
“Oppa, apa maksud ucapan Min Ji Eonni?” Saeny mengguncang lengan Sungmin, menuntut penjelasan.
“ …………”
“Bukankah sudah cukup jelas Saeny? Dia membohongimu! Appa dan eomma-mu
sudah tidak ada di dunia ini lagi.” Min Ji angkat bicara lagi. “Itu
artinya, kau hidup di kondisi yang salah di setiap tanggalan yang kau
lalui selama dua tahunan ini. Ketika seharusnya kau menangisi kepergian
orang tuamu, kau malah mungkin sedang bersenang-senang saat itu. Ketika
seharusnya kau datang mengunjungi makam mereka, kau mungkin malah asyik
belanja di mall,” sambung Min Ji.
Sungmin segera mengalihkan pandangannya
dari Min Ji. Dia menatap adiknya yang sedang terkejut dan memandangnya
tak habis pikir. Air mata membanjiri pipi yang putih mulus itu, membuat
Kyuhyun mengepalkan tangannya karena geram.
“Sungmin-ssi, kau tidak mau mengatakan sesuatu?” ucap Min Ji lagi.
Sungmin menundukan kepalanya dalam-dalam, tak tahu harus berkata apa.
“Oppa..”
“Biar aku yang jawab, Sae-ya. Orang tuamu
telah meninggal dua tahun yang lalu. Aku mendengarnya sendiri dari
mulut kakak kesayanganmu itu. Appa dan eomma-mu su—”
Plak!
“Cukup, Min Ji-ssi!!” bentak
Kyuhyun setelah telapak tangannya yang besar dengan entengnya
mengahantam pipi Min Ji, menyisakan darah di sudut bibir gadis itu. Kali
ini mata Min Ji benar-benar kosong. Tidak ada rasa dendam dan marah.
Yang ada hanyalah rasa kecewa.
“Bahkan sekarang kau memanggilku Min Ji-ssi?
Hanya karena hari ini, semua yang telah kulakukan untukmu selama hampir
sebelas tahun kini tidak ada nilainya di matamu? Baiklah, Kyuhyun-ssi.
Aku mengerti.” Min Ji mundur selangkah menjauhi Kyuhyun. Tidak
menyangka bahwa namja itu bisa melakukan hal itu padanya. Menamparnya
dan memanggilnya seperti itu.
“Saeny, aku tidak tahu lagi apa yang dua namja
ini tutupi darimu. Tapi kurasa penjelasanku barusan sudah cukup untuk
membuatmu sadar bahwa mereka telah membohongimu. Dan kau tahu? Aku juga
dibohongi. Tapi aku puas bisa membuat kalian seperti ini, setidaknya di
sini aku tidak merasakan sakit sendirian.” Min Ji menarik sudut
bibirnya, berlalu meninggalkan tempat itu dengan tatapan matanya yang
kosong. Ia menaiki anak-anak tangga di kediaman Lee itu dengan perlahan
dan pikirannya melayang entah kemana. Kaki jenjangnya membawa tubuh
kurus itu menuju sebuah tempat yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang
akan meredam sedikit suara tangisnya dan membantunya untuk menghindari
orang-orang. Lemari besar di kamarnya.
Sementara itu, Saeny menatap nanar pada kedua namja yang tiba-tiba berubah bisu yang kini berdiri di depan dan di sampingnya.
“Sae-ya, aku bisa jelaskan
semuanya padamu sekarang juga,” ujar Kyuhyun dengan suara yang pelan,
namun masih cukup terdengar jelas di telinga Saeny.
“Ani, Oppa. Aku ingin berbicara dengan Sungmin Oppa dulu. Kau tunggulah di kamar.”
Kyuhyun bergeming di tempatnya. Beberapa
detik kemudian pandangan Min Ji yang kosong tadi melintas di kepalanya,
Akhirnya Kyuhyun mengangguk dan berjalan ke lantai atas.
“Oppa, jelaskan semuanya padaku?
Kenapa kau menutupinya dariku?! Jahat!” tangis Saeny pecah saat itu
juga. Dia terus memukuli dada Sungmin dengan tangannya yang bergetar.
Dengan paksa, Sungmin menarik adiknya itu
kedalam pelukannya. Dengan suara yang pelan dan lembut, ia menjelaskan
semuanya tepat ditelinga Saeny. Membuat Saeny makin mengeratkan
pelukannya ketika mendengar setiap hal yang dikatakan Sungmin padanya.
Merasakan sesak didadanya, merasakan pahit ditenggorokannya dan merasa
buruk atas semuanya.
Sementara itu..
Kyuhyun berdiri d idepan pintu kamar Min
Ji. Tak peduli seberapa kencang ia menggoyangkan daun pintu, pintu itu
tetap tertutup rapat. Min Ji menguncinya dari dalam. Tak membiarkan
siapapun berada di sampingnya saat ini. “Min Ji-ya, mianhae. Jeongmal mianhae,” ucapnya sembari menempelkan pipinya pada pintu kayu yang menghalanginya untuk masuk itu.
Kyuhyun menyesal, sangat menyesal. Kenapa
ia bisa menampar Min Ji? Kenapa ia bisa membuat Min Ji merasa
tertendang begitu saja dari list orang terpenting dalam
hidupnya? Bagaimana pun dan apapun alasannya, tidak seharusnya Kyuhyun
melakukan hal seperti tadi mengingat selama ini Min Ji rela melakukan
apapun untuknya. “Min Ji-ya, buka pintunya,” pintanya lirih.
Kyuhyun menajamkan pendengarannya, mencoba menebak apa yang sedang
dilakukan gadis itu di dalam kamarnya. Tapi semua terdengar sunyi-sunyi
saja. Hanya ada gaungan yang mendominasi telinga Kyuhyun karena saking
sunyinya.
“Oppa, bagaimana keadaan Min Ji Eonni?”
Tiba-tiba saja Saeny dan Sungmin muncul setelah 30 menit Kyuhyun
berdiri di depan pintu kamar Min Ji. Mata Saeny terlihat bengkak, bahkan
rona merah di hidungnya masih nampak jelas.
“Aku tidak tahu. Pintunya dikunci dan dia juga tidak mau menjawab.”
Saeny mengulurkan tangannya dan menarik Kyuhyun ke dalam pelukannya.
“Mianhae,” bisik Kyuhyun tepat di telinga Saeny.
Gadis itu mengangguk. Dengan sabar tangannya mengusap punggung Kyuhyun.
“Sebaiknya kita bicara di kamar. Aku
harus menjelaskan semuanya padamu,” ajak Kyuhyun yang langsung diiyakan
dengan anggukan Saeny. Mereka pun berjalan masuk ke kamar kedua setelah
kamar Min Ji.
Tinggalah Sungmin sendirian di tempat ini, menatap miris ke arah pintu yang dilapisi cat berwarna coklat tua itu. “Min Ji-ssi,
maaf dan terima kasih atas semuanya,” ucapnya dengan suara yang lumayan
kencang hingga terdengar oleh Min Ji. Dengan perlahan, Sungmin memasuki
kamar tepat di sebelah kamar Min Ji dan mengunci pintunya dari dalam.
Sementara itu, Min Ji sekuat tenaga menahan isakannya, menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Min Ji POV
“Min Ji-ssi, maaf dan terima kasih atas semuanya.”
Suara itu. Aku tahu siapa pemiliknya. Itu
suara orang yang belakangan ini berusaha bersikap baik di hadapanku dan
akhirnya tadi dia menunjukan kebenciannya padaku. Dia benar-benar hanya
berpura-pura baik di hadapanku. Konyol sekali aku ini karena sempat
berpikir semua yang dilakukannya belakangan ini adalah tulus.
Dan lagi, Kyuhyun. Sejauh memoriku bisa
mengingat, ia tidak pernah bersikap kasar padaku. Menggores kulitku
seujung kuku pun tidak pernah. Tapi sejak di rumah ini, dia mulai berani
mencengkram tanganku, menatapku tajam, membentakku. “Waeyo, Kyuhyun-ah?” gumamku sambil menyembunyikan wajahku ke dalam lipatan kakiku.
Tertidur di tempat ini hingga pagi.
Tertidur dengan rasa kecewa dan marah yang menjalari tubuhku hingga
pagi. Tertidur sambil memikirkan jutaan pertanyaan yang diawali dengan
kata ‘kenapa?’ hingga pagi.
Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku
rasanya berat. Dengan gontai, aku berjalan menuju kamar mandi dan
membersihkan tubuhku. Setelah kupikirkan semalaman, lebih baik aku pergi
dari rumah ini. Setidaknya terselip rasa puas karena aku tidak
merasakan sakit sendirian. Tapi pemikiran itu tidak bertahan lama. Aku
terpaksa menelan ucapanku sendiri saat melihat ketiga orang itu sedang
duduk bersama di ruang makan, menyantap sarapan mereka seperti biasanya
seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan mereka terlihat lebih akrab
dibanding sebelumnya.
‘Apa-apaan ini? Kenapa jadi aku yang
hancur sendirian?’ batinku. Kini keenam bola mata itu tertuju padaku.
Entah apa yang ada dipikiran mereka sekarang. Yang jelas aku telah
menghancurkan diriku sendiri. Aku sadar sikapku kemarin sungguh buruk.
Ternyata memang benar, balas dendam tidak pernah berakhir baik.
Aku ingin cepat-cepat menghilang dari
pandangan ketiga orang itu. Aku sangat menyesal telah membentak ibuku
lagi beberapa hari yang lalu. Bahkan aku juga membentak appa. Padahal, di saat seperti ini hanya mereka lah tempat satu-satunya aku bersandar. Aku benar-benar menyesal sekarang.
Kupercepat langkahku menuju pintu, keluar
dari bangunan megah yang lebih pantas disebut sebagai istana ini
dibanding rumah. Aku masuk ke dalam mobilku dan menjalankannya menjauh
dari tempat ini. See? Bahkan tak satu pun dari mereka yang
mengejarku, bahkan tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka
untuk menahanku, minta maaf ataupun untuk sekedar berbasa-basi
mengucapkan selamat pagi.
Setelah melaju beberapa kilometer,
akhirnya aku sampai didepan rumahku. Kubuka pintu mobilku dan keluar
dari kendaraan beroda empat itu. Dari tempatku berdiri sekarang, aku
dapat melihat bangunan yang kokoh dan cukup luas ini secara keseluruhan.
Tempat dimana aku tumbuh menjadi seseorang seperti sekarang ini. Tempat
yang akan selalu jadi tujuan terakhirku sejauh apapun aku mengelilingi
dunia. Tempat yang dihuni oleh sepasang suami istri yang merupakan
sumber kehidupanku. Tempat yang dihuni oleh dua orang yang akan selalu
bersedia membukankan pintunya untukku.
Dua orang yang akan dengan sepenuh hatinya menyambutku di saat seluruh dunia meludahiku. Dua orang yang kupanggil appa dan eomma yang meskipun kasar tapi sebenarnya mereka hanya menginginkan yang terbaik untukku. Appa dan eomma yang selalu kuanggap tidak mempedulikanku dan hanya peduli akan keberadaan mereka dimata masyarakat. Appa dan eomma
yang selalu mengekangku dan mengatur hidupku. Sebelum ini, aku benci
dengan sikap mereka yang seperti itu. Aku merasa aku sudah dewasa dan
bisa menentukan pilihanku sendiri tapi ternyata tidak. Dan bodohnya aku,
aku baru sadar sekarang bahwa aku memang tidak bisa melakukan sesuatu
dengan benar jika mereka tidak menuntunku.
“Appa.. Eomma.. Mianhae..,”
gumamku sambil tak melepas pandanganku dari pintu berwarna coklat
kehitaman yang kini ada di depanku. Kuhirup nafas dalam-dalam, mencoba
terlihat seperti biasa.
Tok.. Tok.. Tok..
Kuketuk pintu yang kokoh itu. tak lama kemudian kepala Appa menyembul dari balik pintu. Entah kenapa, aku ingin menangis sekarang. Tapi aku tidak ingin Appa melihat air mata sialan ini. Kutarik kedua sudut bibirku dan membungkukan badanku dalam-dalam. “Annyeong, Appa,” sapaku.
Appa menatapku nanar. Kurasa dia
menyadari kondisiku yang tidak sedang baik-baik ini. Dan saat itu pula,
air mata yang kutahan sejak tadi mengalir begitu saja.
“Appa, mianhae..,” ujarku lirih.
Appa langsung memelukku.
Kubenamkan wajahku di dadanya. Aroma tubuhnya tetap sama, hanya saja
nafasnya sedikit lebih berat. Ya, tak dapat dipungkiri. Setiap hari Appa semakin bertambah tua. Organ tubuhnya juga tidak seperti dulu lagi, Menurun seiring bertambahnya usia. “Waeyo, Ji-ya? Kenapa menangis? Kyuhyun melukaimu?” tanya Appa dengan suara bijaknya. Harus kuakui, sekeras apapun Appa padaku, di dunia ini hanya dia yang bisa memberikan kehangatan seperti ini.
“Sangat, Appa.” Aku mengadu padanya.
Appa mengusap belakang kepalaku, membuatku berjuta kali lebih tenang dibanding semalam. “Bukankah Appa sudah bilang? Kau yang memutuskan untuk tetap menikah dengannya, jadi kau harus buktikan pada Appa bahwa keputusan yang kau ambil itu tidak salah.”
“Ani, Appa. Keputusanku memang salah. Seharusnya aku mendengarkan Appa dan Eomma, karena kenyataannya aku memang tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar jika kalian tidak menuntunku.”
Appa melepaskan pelukannya lalu
menjajarkan wajahnya dengan wajahku, menghapus air mata yang membasahi
pipiku dengan jari-jarinya yang begitu terasa hangat.
“Kau sudah dewasa, Ji-ya. Kau pikir berapa lama lagi kami bisa menuntunmu?” Tiba-tiba terdengar suara Ibu.
Aku menoleh ke balik punggung Appa dan tertangkap oleh mataku, sosok Eomma sedang berdiri di belakang Appa. Aku segera berlari ke arahnya dan menghambur ke pelukannya. “Mi—”
“Ji-ya, bogosiphoyo,” potong Eomma.
Kueratkan pelukanku padanya, entah kenapa aku tidak ingin melepaskannya barang sedetik pun.
“Apa yang terjadi?” tanya Eomma.
Kuletakan daguku di bahunya, menghirup aroma rambutnya yang khas. Dengan terbata-bata, aku menjelaskan semuanya pada Eomma dan Appa yang berdiri di belakang kami pun ikut mendengarkan.
“Jadi.. Kyuhyun.. Dia menipumu?”
Aku mengangguk pasrah.
“Bagaimana bisa dia melakukan itu padamu? Ji-ya, kau harus menceraikannya seka—“
“Ani, Eomma!! Aku tidak bisa.
Hubungan Kyuhyun dengan keluarganya sudah membaik, aku tidak ingin dia
kembali tertekan seperti dulu.” Aku tidak tahu kenapa di saat seperti
ini pun, aku masih saja membelanya.
“Ji-ya, kau—“
“Aku tahu aku akan sakit sendirian. Tapi biarlah, Eomma. Dan jangan tanya alasannya, karena aku juga tidak tahu, Eomma.” Aku merasakan jantung Eomma berdetak cepat dan tak wajar.
“Maafkan, Eomma. Eomma terlalu kasar padamu. Maafkan Eomma, Ji-ya…” Tiba-tiba pelukan Eomma mengendur.
Aku dapat merasakan nafasnya naik turun tak beraturan. “Eomma, gwaenchana?” Aku mulai panik melihat keadaan Eomma.
Dalam hitungan detik, tubuh Eomma telah terduduk dilantai. Kejadiannya terlalu cepat dan mengejutkan hingga aku tak sempat menahan tubuhnya.
“Min Ji-ya, Eomma menyesal telah memukulmu, menamparmu, mempermalukanmu di depan keluarga Kyuhyun. Mianhae, Ji-ya. Eomma tahu cara Appa dan Eomma salah,” racau Eomma sambil memegangi dadanya. Eomma memang punya penyakit jantung, dan saat ini aku tidak berani berpikir apapun.
“Appa! Dimana obat Eomma?”
Appa juga terlihat panik. Dia berjalan cepat ke kamarnya.
“Eomma, kalau bisa aku ingin menggantikan Eomma saat ini. Lebih baik aku yang—”
“Bodoh! Kalau kau menggantikan Eomma, dan saat kau hilang.. Appa dan Eomma tidak akan punya siapa-siapa lagi, karena kau anak kami satu-satunya, Ji-ya.”
“Eomma bicara apa?”
“Mianhae, Ji-ya.” Lambat laun, nafas Eomma mulai teratur. Perlahan matanya terpejam.
Aku mulai sadar, nafasnya tak lagi berhembus. Kupegang tangannya untuk mencari denyut nadi di sana, tetapi tidak kutemukan. “Eomma?” panggilku dengan pandangan yang mengabur karena air mata. Kulihat Appa
terpaku di tempat. Obat-obatan yang dipegannya jatuh ke lantai begitu
saja, disusul dengan sosoknya yang duduk di lantai sambil menutup
wajahnya dengan telapak tangannya.
“Eomma, ireona..”
Tidak ada respon.
Aku mengguncang tubuh Eomma yang
kini berada di pelukanku. Seharusnya dia marah besar saat aku melakukan
ini padanya. Tapi ia tidak menghiraukannya. Ia tetap memejamkan matanya.
“Eomma, kenapa kau tidak memarahiku? Eomma! Tunggu apalagi? Pukul aku sekarang! Eomma!!” jeritku.
Appa menepuk pundakku. “Ji-ya, lebih baik kau pulang dulu dan beritahu Kyuhyun. Appa akan mengurus semuanya selama kau pergi,” bisiknya di samping telingaku.
Aku merasa seluruh syarafku berhenti berfungsi. Aku tidak bisa mencerna ucapan Appa. Aku tidak bisa berpikir. “Bahkan Eomma tidak memberikanku kesempatan untuk minta maaf,” gumamku sambil bangkit dari posisiku. “Appa bisa kau ulang ucapanmu tadi? Tadi aku tidak mendengarnya,” sambungku.
“Lebih baik kau pulang dulu dan beritahu Kyuhyun. Appa akan mengurus semuanya selama kau pergi.”
“Arraseo.” Aku berjalan perlahan
menuju mobilku dengan gontai kemudian menghidupkan mesinnya dan menancap
gas, melajukan mobil dalam kecepatan yang perlahan.
Author POV
Hari sudah hampir sore dan Min Ji baru
sampai didepan kediaman Lee setelah dua jam lalu melintas lambat di
jalan raya. Tanpa mengetuk pintu, ia menyeruak masuk ke dalam, berjalan
perlahan dengan tatapan kosongnya tanpa mempedulikan ketiga orang yang
sedang duduk diruang tengah. Melewati orang-orang itu tanpa menoleh
sedikitpun pada mereka.
“Eonni, gwaenchana?” tanya Saeny.
Min Ji tak memperdulikannya. Ia terus
melangkah menjauh, menaiki satu per satu anak tangga di depannya. Nafas
Kyuhyun tercekat saat melihat Min Ji tak menghiraukan ucapan Saeny, saat
melihat gadis itu berjalan tanpa rohnya. Sungmin pun merasakan darahnya
membeku seketika, menyesal telah menyeret Min Ji ke dalam skenarionya.
Min Ji duduk di samping meja kecil yang ada di sebelah tempat tidurnya, memeluk kakinya sambil menatap kosong ke arah lantai. ‘Eomma, bagaimana bisa dia tidak memberiku kesempatan untuk minta maaf?’
batin Min Ji. Air matanya bahkan tak menetes lagi. Air matanya sudah
habis di sepanjang perjalanan yang memakan waktu lama tadi.
Brakk!!
Kyuhyun, Sungmin dan Saeny masuk ke kamar
Min Ji dengan wajah cemas. Tanpa bertele-tele, Kyuhyun segera berlutut,
menghadap Min Ji.
“Min Ji-ya, kenapa tidak bilang padaku bahwa Eomma meninggal?” tanya Kyuhyun. Matanya menatap lekat mata yang kosong itu. Barusan appa-nya menelpon Kyuhyun, menanyakan kenapa ia belum datang ke rumah sakit padahal ini sudah hampir sore.
Perlahan Min Ji mengalihkan matanya untuk menatap Kyuhyun. “Ini semua gara-gara kau, Kyuhyun-ssi! Kalau saja….” Min Ji menggantung kalimatnya karena menyadari sesuatu. “Ani, ini salahku. Seandainya tadi aku tidak pulang, mungkin Eomma masih ada sekarang. Kalau saja aku berpikir panjang terlebih dahulu untuk menceritakan semuanya pada Appa dan Eomma, mungkin Eomma masih duduk santai dengan secangkir teh hijau sekarang. Eomma..” Air matanya menetes lagi. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit yang kini bersarang di dadanya.
Kyuhyun menatap nanar kearah Min Ji, memeluk gadis itu dengan sangat protektif. “Min Ji-ya, jangan seperti ini,” bisik Kyuhyun.
Min Ji menggeleng pelan. “Aku belum minta
maaf padanya. Dia tidak memberiku kesempatan untuk minta maaf. Dia
egois. Aku tidak diijinkan meminta maaf, sedangkan ia terus memintaku
untuk memaafkannya. Mana bisa seperti itu?? Eomma!!” Min Ji
berteriak. Ia meremas kaus putih yang membalut tubuh Kyuhyun dan
menggigit bibir bawahnya di saat yang bersamaan, berharap hal tersebut
bisa sedikt mengurangi rasa penyesalan yang kini membuatnya merasa sesak
setengah mati. Darah segar menetes dari bibirnya karena gadis itu
terlalu kencang menggigit bibir bawahnya.
“Min Ji-ya..” Kyuhyun melepaskan pelukannya, memegang kedua bahu Min Ji dengan lembut.
Sungmin mengulurkan ibu jarinya untuk
menyeka darah segar di bibir Min Ji namun Kyuhyun bergerak lebih cepat,
membuat Sungmin hanya menggapai udara bebas.
“Kita harus pergi sekarang. Appa-mu sudah menunggu.” Kyuhyun mengajak Min Ji bangkit. Dipapahnya gadis itu dan mendudukannya di ranjang.
Min Ji kembali menatap kosong ke arah
lantai, dan saat itu Kyuhyun menarik lengan Saeny, menyeret gadis itu
keluar kamar. Sungmin meraih beberapa helai tissue yang ada di meja rias
lalu berlutut dihadapan Min Ji. Dengan lembut ia membersihkan wajah Min
Ji dari air mata, keringat dan apapun itu yang kini menghiasi wajah Min
Ji.
“Ji-ya, bolehkah aku memanggilmu seperti itu?”
Mendengar suara Sungmin, Min Ji segera mengarahkan matanya ke arah suara tersebut. “Sungmin-ah..” panggilnya lirih.
Sungmin menjajarkan wajahnya dengan Min
Ji. Sebelah tangannya memegang bahu Min Ji dan yang sebelahnya lagi
memegang pipi Min Ji, menghapus air mata yang lagi-lagi menetes dari
sudut mata gadis itu.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar