Pengikut

Kamis, 25 Oktober 2012

A Simple Thing Called Honesty (5/6)


Author :: stillthirteen13
Tittle     :: A simple thing called honesty [Part 5]
Genre    :: Romance, friendship, family (sedikit)
Tags      :: Lee Sungmin, Cho Kyuhyun, Hwang Min Ji (OC), Lee Saeny (OC)
Rating   :: T
Length  :: Chapter

Author’s side
Pagi kembali datang. Min Ji mengerjapkan matanya dan menyesuaikan mata bulat itu dengan silaunya sinar matahari. “Tidak bisakah waktu berjalan sedikit lebih cepat agar semua cerita ini segera sampai pada ujungnya?” gumamnya pelan saat matanya sudah terbuka dengan sempurna. Ia berpikir sesaat ketika sadar dirinya masih berada di dalam dekapan namja bernama Lee Sungmin. “Jadi, semalaman kau memelukku?” tanyanya pada namja yang matanya masih terpejam rapat yang ada dihadapannya.
Min Ji hendak beranjak, namun niatnya terhenti saat sadar sehelai selimut tebal yang ukurannya sebesar tempat tidur itu tengah menutupi tubuhnya hingga ke leher. ‘Semalam kami berdua tidur dibalik selimut ini? Pantas saja tiba-tiba aku merasa hangat, rupanya kau menyelimutiku? Ani, maksudku kami,’ batinnya sambil tersenyum. Ia mengangkat sedikit kepalanya dan memandangi wajah Sungmin yang sedang tertidur.
Entah dengan atau tanpa sadar, Min Ji mencium kening namja itu lama. Tersenyum sekali lagi sambil menatapnya, lalu kembali berbaring dan membenamkan wajahnya di sela leher Sungmin. ‘Hangat,’ batin Min Ji lagi. Tanpa ia sadari, seseorang tengah mematung di depan pintu. Tak percaya akan penglihatannya dari celah kecil yang ada di pintu. Sebelumnya ia ingin masuk, tapi langkahnya terhenti saat melihat gadis yang menurutnya lebih pantas mencium keningnya yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengenalnya dibanding kening namja di samping gadis itu yang baru di dekat Min Ji selama dua bulan ini. Dengan perasaan yang campur aduk, pria itu kembali menutup rapat pintu yang terbuat dari kayu itu dan melangkah menjauh.
~ ~ ~
Sungmin menggeliat, dan sesegera mungkin, gadis di pelukannya memejamkan matanya lagi. “Min Ji,” panggilnya. Dari posisi kepala Min Ji saat ini, ia dapat merasakan getaran pita suara Sungmin.
Mm..,” sahut Min Ji atau tepatnya bergumam.
“Sudah pagi, kita harus siap-siap berangkat ke rumah sakit.”
“Sebentar lagi..”
Ani! Ireona! Ppali!”
Gadis 89 liners itu segera mendorong tubuh Sungmin, menjauh secepat yang ia bisa. ‘Yang benar saja, dia berteriak sekencang itu! pekik Min Ji dalam hati. “Yakk!” keluh gadis itu sambil merubah posisinya menjadi duduk.
Sungmin ikut duduk dan menatap gadis di depannya dari atas hingga bawah.
Wae?” Min Ji mengerutkan keningnya, bingung.
“Coba lihat, kau tidur dengan gaun itu dan masih ingin malas-malasan? Yeoja macam apa kau ini?”
Lagi-lagi Min Ji menatap Sungmin heran. Baru kali ini ia mendengar lelaki dingin itu berbicara layaknya orang biasa, tidak seperti Dr. Lee yang selalu serius yang ia kenal. “Terserah kau saja. Aku mau siapkan sarapan dulu, baru siap-siap.” Min Ji pun beranjak dari tempatnya dan melangkah menuju pintu.
“Cha! Silahkan..” Sungmin membungkukan badannya bak pelayan kerajaan setelah sebelumnya menyambar gagang pintu yang hampir Min Ji sentuh.
‘Lagi-lagi dia membuatku tersenyum,’ pikir Min Ji. Gadis itu pun berjalan melewati pintu yang sudah dibukakan khusus untuknya itu, disusul dengan langkah Sungmin di belakangnya.
“Masak yang enak ya!” Sungmin menepuk pelan kepala Min Ji dan tertawa lepas. ‘Sungguh, kali ini aku tidak sedang berpura-pura, Min Ji-ya. Bahkan sejak awal, jauh sebelum kau memintaku, jauh sebelum kau merasa muak seperti ini. Kau tahu? Bahkan saat pertama kau sampai di rumah ini, aku telah menciummu. Tepat di bibirmu yang merah itu. Awalnya aku tidak tahu alasan aku melakukan itu, tapi aku baru menyadarinya beberapa hari yang lalu. Saat hari dimana aku melakukan operasi untuk menolongmu, saat hari dimana aku tahu rumitnya hubunganmu dengan orang tuamu, saat hari dimana aku tahu kau terluka karena skenarioku dan Kyuhyun ini. Mianhae,’ batin Sungmin yang tengah memperhatikan sosok Min Ji dari belakang.
Oppa? Eonni?”
Min Ji yang tadinya sedang menutup pintu, lantas menoleh ke arah sumber suara. Saeny dan Kyuhyun. Dan entah kenapa, wajahnya berubah dingin seketika. Min Ji menatap malas ke arah Kyuhyun, lalu memasang topeng bahagianya di depan Saeny.
“Kalian.. tidur sekamar?” tanya Kyuhyun. Nadanya terdengar kecewa.
Min Ji dan Sungmin saling bertatapan, dan seperti sudah direncanakan. Mereka sama-sama menggosok leher dengan telapak tangan masing-masing.
Ne..,” jawab Min Ji pelan.
Ng.. aku rasa aku mau mandi dulu.” Sungmin berlalu dengan cepat dan hilang di balik pintu.
“Dan aku mau menyiapkan sarapan dulu.” Min Ji segera melesat menuruni anak tangga dan menuju dapur. Rasanya ia ingin segera menghilang dari hadapan kedua orang itu.
~ ~ ~
Min Ji yang sedang sibuk dengan berbagai peralatan masak di sekelilingnya menghentikan kegiatannya seketika saat sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya dengan erat. Dengan dinginnya, Min Ji menatap pria itu. “Wae, Kyuhyun-ah?” tanyanya dengan nada yang sedingin tatapannya sekarang. Nafas Kyuhyun tercekat saat melihat sahabatnya yang semakin tidak ia kenali.
“Kau tidur sekamar dengan Sungmin?” Tangan Kyuhyun semakin menggenggam pergelangan tangan Min Ji dengan erat, atau mungkin lebih tepat jika disebut mencengkram. Tetapi Min Ji tidak merasakan sakit sama sekali, dibanding cengkraman itu. Dadanya lebih terasa sakit jika melihat Kyuhyun dan mengingat semua yang dikatakan laki-laki itu semalam.
“Kau melihat kami keluar bersama, kan?”
“Bahkan aku melihatmu mencium kening Sungmin tadi.”
Air muka Min Ji tidak berubah sedikit pun sedangkan Kyuhyun semakin menyiratkan kekecewaannya melalui ucapan dan ekspresi wajahnya. “Wae? Kau marah?” Min Ji menarik sudut kanan bibirnya, tersenyum angkuh sambil menatap Kyuhyun. Membuat genggaman namja itu terlepas begitu saja.
“Tentu saja. Dibanding Sungmin yang baru dekat denganmu selama kurang lebih dua bulan, bukankah akan lebih masuk akal jika kau mencium keningku. Aku, sahabatmu selama lebih dari sepuluh tahun. Dan lagi kau ini istriku, mana boleh kau melakukan hal-hal semacam itu dengan namja lain? Kau semakin keterlaluan, Min Ji-ya.”
“Istrimu? Kau menganggap aku ini istrimu? Sungguh?” Min Ji memasang ekspresi tak percaya yang dibuat-buat.
Kyuhyun mengepalkan tangannya, geram dengan tingkah Min Ji yang dalam hampir dua puluh empat jam ini berubah drastis.
“Bukankah ini semua permainanmu, Kyuhyun-ah. Kau lupa?”
Belum sempat Kyuhyun membuka mulutnya, gadis dihadapannya kembali bersuara. Kali ini Kyuhyun benar-benar tidak bisa bicara. Terima atau tidak, perkataan Min Ji barusan memang benar, sangat benar. Di saat Kyuhyun sedang kacau dengan pikirannya, Min Ji melihat ujung sepatu Saeny dari balik tembok. Ya, gadis itu telah mendengar percakapan Min Ji dan Kyuhyun sejak awal.
“Atau kau mulai menyukaiku?” tebak Min Ji.
Mata Kyuhyun membulat. Dia sendiri masih bingung kenapa dia bisa semarah ini. Kenapa dia bisa semarah ini saat Min Ji sedang di dekat Sungmin.
“Tentu saja tidak. Kau hanya ingin bersama Saeny, menemaninya, menghiburnya dan menjaganya. Kau mencintainya, Kyuhyun-ah. Jika dibanding Saeny, aku ini apa? Hanya seorang sahabat kan? Kau pasti sangat mencintai Saeny. Karena demi membuat Saeny bahagia, kau rela membuat sahabatmu ini sakit bahkan menangis,” sambung Min Ji.
Kyuhyun merasakan darahnya berhenti mengalir untuk sesaat. Kata-kata itu adalah kata-kata yang diucapkannya semalam pada Min Ji. Dia pikir saat itu Min Ji sudah tidur, but in fact, she was heard every word which he said last night. “Min..ji..”
“Ada apa, Suamiku?” Min Ji menekankan suaranya pada kata terakhir. Membuat Saeny -yang kedatangannya telah disadari Min Ji- harus menutup mulutnya dengan telapak tangannya, menahan agar kehadirannya tidak diketahui, meskipun sebenarnya itu sia-sia. Min Ji sudah menyadari keberadaannya sejak tadi.
“Min Ji-ya, jangan berbicara seperti itu!! Bagaimana kalau Saeny dengar?”
“Hah? Di saat seperti ini pun kau masih mengutamakan Saeny. Kau bahkan tidak berniat untuk minta maaf padaku?”
Lagi-lagi namja itu hanya bisa diam, merasakan tatapan gadis di depannya yang semakin lama semakin menusuk. “Min Ji-ya..,” panggil namja itu, lirih.
Sementara itu di saat yang bersamaan, Sungmin baru turun dari tangga. Ia terpaku di tempatnya saat ia melihat Saeny –adiknya- bersembunyi di belakang tembok sambil membekap mulutnya dengan telapak tangannya yang mungil. Sungmin melirik ke arah dapur. Dilihatnya Kyuhyun dan Min Ji yang sedang berbicara saling berhadapan.
“Saeny, sampai kapan kau akan bersembunyi di situ? Kemarilah! Kita akhiri semuanya saat ini juga.”
Mata Kyuhyun membulat sempurna, tubuhnya seolah membeku seketika saat mendengar sebaris kalimat yang diucapkan Min Ji barusan.
“Sae-ya,” panggil Min Ji.
Saeny masih berdiri di tempatnya, diam dan meneteskan air matanya.
“Kau dengar kan? Kyuhyun marah saat melihat aku tidur bersama kakakmu. Bukankah itu terdengar sedikit aneh?” Min Ji bersuara lagi, sedangkan Kyuhyun masih mematung di tempatnya. “Mungkin untukmu, itu terdengar aneh. Tapi tidak untukku, Kyuhyun dan kakakmu, Lee Sungmin,” ucap Min Ji. “Kau tahu kenapa?”  sambung Min Ji seraya menarik kedua sudut bibirnya.
“Hentikan, Min Ji!!” Kyuhyun akhirnya bersuara, namun sayangnya Min Ji yang sudah lelah dan jengah akan semuanya kini sudah mencapai batasnya.
“Karena aku yang kau kira sepupu Kyuhyun ini ternyata adalah sahabatnya selama hampir sebelas tahun. Karena aku sahabat Kyuhyun selama hampir sebelas tahun ini adalah istrinya Kyuhyun, suamimu. Dan kakakmu tentu tahu tentang hal ini. dan satu lagi, aku bukan calon kakak iparmu. Semua hanya fiksi yang diciptakan oleh dua namja itu.”
Tidak ada yang bisa Sungmin lakukan kecuali membuka matanya lebar-lebar, merasakan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering dan pahit saat ia sampai di hadapan Saeny.
“Dan kau tahu, Saeny? Kau telah dibohongi oleh dua namja penting dalam hidupmu itu.” Min Ji melangkah perlahan menuju tempat Saeny berdiri. “Aku ingin tanya satu hal padamu, Sae-ya. Apa yang Kyuhyun katakan padamu saat orang tuanya tidak menghadiri pernikahan kalian?” Kini Min Ji berdiri tepat selangkah di depan Saeny, menatap tajam ke arah gadis yang usianya tiga tahun lebih muda darinya itu tanpa mempedulikan Sungmin yang ada di sampingnya.
Saeny diam. Rasa ragu mulai menyelimuti pikirannya. Tidak sanggup berpikir bahwa semua yang dikatakan Min Ji adalah benar adanya.
“Kyuhyun-ah, apa yang telah kau katakan padanya? Kebohongan apa yang kau katakan padanya untuku meyakinkan gadis yang kau cintai ini?”
Semua orang di ruangan ini mendadak kehilangan seluruh suaranya, kecuali Min Ji. Gadis itu terus bersuara, menumpahkan seluruh kelelahan yang dirasakannya. “ ………”
“Dia pasti bilang orang tuanya sedang di luar negeri? Iya kan, Saeny?” Lagi-lagi Min Ji bersuara, membuat Kyuhyun semakin tercekat karena sebaris kalimat yang baru saja diucapkannya. “Kau tahu? Sebenarnya saat itu Ahjussi dan Ahjuma ada di kota ini, bahkan mereka beraktivitas seperti biasa. Kau tahu kenapa Kyuhyun berbohong padamu saat itu? Kau tahu kenapa orang tua Kyuhyun tidak datang ke acara pernikahan kalian?” Min Ji menatap tajam ke arah Kyuhyun. Masa bodoh dengan tatapan nanar Kyuhyun yang memintanya untuk tidak mengatakan apapun lagi pada Saeny. “Itu karena mereka membencimu, Saeny. Dan asal kau tahu, mereka menerimaku dengan mudahnya untuk menjadi istri dari putra sulung mereka, Kyuhyun. Kau pasti tahu kenapa. Karena mereka menyayangiku bahkan menganggapku seperti anak mereka sendiri. Jadi, bisakah kau menyerahkan Kyuhyun seutuhnya padaku?”
Tubuh Saeny menegang, bulir-bulir air mata yang sejak tadi ditahannya, kini menetes satu per satu. Kyuhyun hanya bisa menundukan kepalanya. Meskipun sangatlah tak mungkin, dia berharap Saeny tidak terlalu terpukul. “Min Ji, apa yang kau katakan?!” Akhirnya Kyuhyun bersuara atau lebih tepatnya membentak. Ia tidak tahan melihat Min Ji terus menyudutkan gadisnya dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan Min Ji.
Wae? Apa aku salah? Aku istrimu dan aku berhak mengatakan ini. Dan bukankah lebih masuk akal jika kau lebih memilih aku ketimbang gadis yang baru kau kenal selama empat tahun ini? Bukankah akan lebih masuk akal jika kau lebih memilih aku yang jauh lebih memahamimu dibanding gadis ini? Meskipun tanpa cinta, apakah waktu yang kuluangkan untukmu selama hampir sebelas tahun ini tidak cukup untuk menggelitik sedikit perasaanmu untuk lebih menghargaiku, sahabatmu?”
Sungmin mencengkram pergelangan tangan Min Ji, berharap gadis itu tak lagi berkata-kata. Berharap gadis itu tak lagi berusaha menghancurkan semuanya dalam hitungan menit.
“Min Ji, kau tahu jawabanku.” Di satu sisi Kyuhyun tidak ingin melukai sahabatnya, tapi disisi lain. Tidak mungkin juga ia meninggalkan gadis yang sangat dicintainya. Tapi kenapa tadi dia marah? Dia sendiri juga masih bingung.
“Tentu saja.” Raut wajah Min Ji mengisyaratkan kekecewaan. Tatapan matanya berubah kosong dan dingin.
Eonni..” Suara Saeny terdengar parau.
Entah kenapa suara itu menyulut emosi Min Ji lagi. Ia masih tidak terima mengingat baru saja sahabat sekaligus suaminya lebih membela pemilik suara itu ketimbang dirinya. “Apa tidak ada hal lain yang bisa kau lakukan saat ini selain menangis? Berhenti merebut perhatian suamiku, Lee Saeny!!” ucapnya dingin. Sungmin hendak menarik lengan Min Ji dan menyembunyikan gadis itu dibelakang punggungnya, tapi tenaganya seolah menguap saat retina matanya menangkap tatapan tajam Min Ji.
Eonni, mianhae..”
“Hah! Tentu saja. Bagi seorang gadis yang selalu dinaungi perhatian yang amat besar sepertimu, tidak ada hal yang bisa kau lakukan selain menangis dan bersandar pada seseorang. Apakah sekarang kau akan pergi menemui orang tuamu? Menceritakan semuanya pada mereka? Meminta kehangatan mereka untuk menenangkanmu?”
Hati Sungmin mencelos saat sadar akan arah pembicaraan Min Ji. Jantung Sungmin berdegub kencang, keringat dingin mulai merembes dari pori-pori kulitnya, bibirnya memutih karena ketakutan yang amat sangat.
“Tapi sayangnya mereka sudah tidak ada, Sae-ya..”
Oksigen seakan lenyap dari darah Sungmin. Seandainya saja di belakangnya tidak ada tembok, dia pasti sudah terduduk di lantai sekarang. Akhirnya Min Ji benar-benar menghancurkan semuanya.
M..mwo?”
Ahh… Kakakmu tidak memberitahumu? Bukankah orang tuamu meninggal dua tahun yang lalu?” Min Ji melirik Sungmin, dan di saat yang bersamaan telapak tangan kanan Sungmin mendarat mulus dipipi Min Ji.
Plak!
Oppa…” Saeny tersentak kaget. Ada dua kemungkinan yang terlintas di otak Saeny ketika melihat Sungmin menampar Min Ji. pertama, kakaknya itu marah karena Min Ji sedang mengatakan omong kosong atau yang kedua, kakaknya itu marah karena Min Ji mengatakan hal yang sebenarnya dan meminta gadis itu untuk bungkam.
“Sungmin-ssi, tega sekali kau menciptakan dimensi tersendiri untuk adikmu. Membiarkannya hidup dikondisi yang salah,” kata Min Ji sambil terkekeh pelan.
Oppa, apa maksud ucapan Min Ji Eonni?” Saeny mengguncang lengan Sungmin, menuntut penjelasan.
“ …………”
“Bukankah sudah cukup jelas Saeny? Dia membohongimu! Appa dan eomma-mu sudah tidak ada di dunia ini lagi.” Min Ji angkat bicara lagi. “Itu artinya, kau hidup di kondisi yang salah di setiap tanggalan yang kau lalui selama dua tahunan ini. Ketika seharusnya kau menangisi kepergian orang tuamu, kau malah mungkin sedang bersenang-senang saat itu. Ketika seharusnya kau datang mengunjungi makam mereka, kau mungkin malah asyik belanja di mall,” sambung Min Ji.
Sungmin segera mengalihkan pandangannya dari Min Ji. Dia menatap adiknya yang sedang terkejut dan memandangnya tak habis pikir. Air mata membanjiri pipi yang putih mulus itu, membuat Kyuhyun mengepalkan tangannya karena geram.
“Sungmin-ssi, kau tidak mau mengatakan sesuatu?” ucap Min Ji lagi.
Sungmin menundukan kepalanya dalam-dalam, tak tahu harus berkata apa.
“Oppa..”
“Biar aku yang jawab, Sae-ya. Orang tuamu telah meninggal dua tahun yang lalu. Aku mendengarnya sendiri dari mulut kakak kesayanganmu itu. Appa dan eomma-mu su—”
Plak!
“Cukup, Min Ji-ssi!!” bentak Kyuhyun setelah telapak tangannya yang besar dengan entengnya mengahantam pipi Min Ji, menyisakan darah di sudut bibir gadis itu. Kali ini mata Min Ji benar-benar kosong. Tidak ada rasa dendam dan marah. Yang ada hanyalah rasa kecewa.
“Bahkan sekarang kau memanggilku Min Ji-ssi? Hanya karena hari ini, semua yang telah kulakukan untukmu selama hampir sebelas tahun kini tidak ada nilainya di matamu? Baiklah, Kyuhyun-ssi. Aku mengerti.” Min Ji mundur selangkah menjauhi Kyuhyun. Tidak menyangka bahwa namja itu bisa melakukan hal itu padanya. Menamparnya dan memanggilnya seperti itu.
“Saeny, aku tidak tahu lagi apa yang dua namja ini tutupi darimu. Tapi kurasa penjelasanku barusan sudah cukup untuk membuatmu sadar bahwa mereka telah membohongimu. Dan kau tahu? Aku juga dibohongi. Tapi aku puas bisa membuat kalian seperti ini, setidaknya di sini aku tidak merasakan sakit sendirian.” Min Ji menarik sudut bibirnya, berlalu meninggalkan tempat itu dengan tatapan matanya yang kosong. Ia menaiki anak-anak tangga di kediaman Lee itu dengan perlahan dan pikirannya melayang entah kemana. Kaki jenjangnya membawa tubuh kurus itu menuju sebuah tempat yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang akan meredam sedikit suara tangisnya dan membantunya untuk menghindari orang-orang. Lemari besar di kamarnya.
Sementara itu, Saeny menatap nanar pada kedua namja yang tiba-tiba berubah bisu yang kini berdiri di depan dan di sampingnya.
“Sae-ya, aku bisa jelaskan semuanya padamu sekarang juga,” ujar Kyuhyun dengan suara yang pelan, namun masih cukup terdengar jelas di telinga Saeny.
Ani, Oppa. Aku ingin berbicara dengan Sungmin Oppa dulu. Kau tunggulah di kamar.”
Kyuhyun bergeming di tempatnya. Beberapa detik kemudian pandangan Min Ji yang kosong tadi melintas di kepalanya, Akhirnya Kyuhyun mengangguk dan berjalan ke lantai atas.
Oppa, jelaskan semuanya padaku? Kenapa kau menutupinya dariku?! Jahat!” tangis Saeny pecah saat itu juga. Dia terus memukuli dada Sungmin dengan tangannya yang bergetar.
Dengan paksa, Sungmin menarik adiknya itu kedalam pelukannya. Dengan suara yang pelan dan lembut, ia menjelaskan semuanya tepat ditelinga Saeny. Membuat Saeny makin mengeratkan pelukannya ketika mendengar setiap hal yang dikatakan Sungmin padanya. Merasakan sesak didadanya, merasakan pahit ditenggorokannya dan merasa buruk atas semuanya.
Sementara itu..
Kyuhyun berdiri d idepan pintu kamar Min Ji. Tak peduli seberapa kencang ia menggoyangkan daun pintu, pintu itu tetap tertutup rapat. Min Ji menguncinya dari dalam. Tak membiarkan siapapun berada di sampingnya saat ini. “Min Ji-ya, mianhae. Jeongmal mianhae,” ucapnya sembari menempelkan pipinya pada pintu kayu yang menghalanginya untuk masuk itu.
Kyuhyun menyesal, sangat menyesal. Kenapa ia bisa menampar Min Ji? Kenapa ia bisa membuat Min Ji merasa tertendang begitu saja dari list orang terpenting dalam hidupnya? Bagaimana pun dan apapun alasannya, tidak seharusnya Kyuhyun melakukan hal seperti tadi mengingat selama ini Min Ji rela melakukan apapun untuknya. “Min Ji-ya, buka pintunya,” pintanya lirih. Kyuhyun menajamkan pendengarannya, mencoba menebak apa yang sedang dilakukan gadis itu di dalam kamarnya. Tapi semua terdengar sunyi-sunyi saja. Hanya ada gaungan yang mendominasi telinga Kyuhyun karena saking sunyinya.
Oppa, bagaimana keadaan Min Ji Eonni?” Tiba-tiba saja Saeny dan Sungmin muncul setelah 30 menit Kyuhyun berdiri di depan pintu kamar Min Ji. Mata Saeny terlihat bengkak, bahkan rona merah di hidungnya masih nampak jelas.
“Aku tidak tahu. Pintunya dikunci dan dia juga tidak mau menjawab.”
Saeny mengulurkan tangannya dan menarik Kyuhyun ke dalam pelukannya.
Mianhae,” bisik Kyuhyun tepat di telinga Saeny.
Gadis itu mengangguk. Dengan sabar tangannya mengusap punggung Kyuhyun.
“Sebaiknya kita bicara di kamar. Aku harus menjelaskan semuanya padamu,” ajak Kyuhyun yang langsung diiyakan dengan anggukan Saeny. Mereka pun berjalan masuk ke kamar kedua setelah kamar Min Ji.
Tinggalah Sungmin sendirian di tempat ini, menatap miris ke arah pintu yang dilapisi cat berwarna coklat tua itu. “Min Ji-ssi, maaf dan terima kasih atas semuanya,” ucapnya dengan suara yang lumayan kencang hingga terdengar oleh Min Ji. Dengan perlahan, Sungmin memasuki kamar tepat di sebelah kamar Min Ji dan mengunci pintunya dari dalam.
Sementara itu, Min Ji sekuat tenaga menahan isakannya, menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Min Ji POV
“Min Ji-ssi, maaf dan terima kasih atas semuanya.”
Suara itu. Aku tahu siapa pemiliknya. Itu suara orang yang belakangan ini berusaha bersikap baik di hadapanku dan akhirnya tadi dia menunjukan kebenciannya padaku. Dia benar-benar hanya berpura-pura baik di hadapanku. Konyol sekali aku ini karena sempat berpikir semua yang dilakukannya belakangan ini adalah tulus.
Dan lagi, Kyuhyun. Sejauh memoriku bisa mengingat, ia tidak pernah bersikap kasar padaku. Menggores kulitku seujung kuku pun tidak pernah. Tapi sejak di rumah ini, dia mulai berani mencengkram tanganku, menatapku tajam, membentakku. “Waeyo, Kyuhyun-ah?” gumamku sambil menyembunyikan wajahku ke dalam lipatan kakiku.
Tertidur di tempat ini hingga pagi. Tertidur dengan rasa kecewa dan marah yang menjalari tubuhku hingga pagi. Tertidur sambil memikirkan jutaan pertanyaan yang diawali dengan kata ‘kenapa?’ hingga pagi.
Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku rasanya berat. Dengan gontai, aku berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Setelah kupikirkan semalaman, lebih baik aku pergi dari rumah ini. Setidaknya terselip rasa puas karena aku tidak merasakan sakit sendirian. Tapi pemikiran itu tidak bertahan lama. Aku terpaksa menelan ucapanku sendiri saat melihat ketiga orang itu sedang duduk bersama di ruang makan, menyantap sarapan mereka seperti biasanya seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan mereka terlihat lebih akrab dibanding sebelumnya.
‘Apa-apaan ini? Kenapa jadi aku yang hancur sendirian?’ batinku. Kini keenam bola mata itu tertuju padaku. Entah apa yang ada dipikiran mereka sekarang. Yang jelas aku telah menghancurkan diriku sendiri. Aku sadar sikapku kemarin sungguh buruk. Ternyata memang benar, balas dendam tidak pernah berakhir baik.
Aku ingin cepat-cepat menghilang dari pandangan ketiga orang itu. Aku sangat menyesal telah membentak ibuku lagi beberapa hari yang lalu. Bahkan aku juga membentak appa. Padahal, di saat seperti ini hanya mereka lah tempat satu-satunya aku bersandar. Aku benar-benar menyesal sekarang.
Kupercepat langkahku menuju pintu, keluar dari bangunan megah yang lebih pantas disebut sebagai istana ini dibanding rumah. Aku masuk ke dalam mobilku dan menjalankannya menjauh dari tempat ini. See? Bahkan tak satu pun dari mereka yang mengejarku, bahkan tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka untuk menahanku, minta maaf ataupun untuk sekedar berbasa-basi mengucapkan selamat pagi.
Setelah melaju beberapa kilometer, akhirnya aku sampai didepan rumahku. Kubuka pintu mobilku dan keluar dari kendaraan beroda empat itu. Dari tempatku berdiri sekarang, aku dapat melihat bangunan yang kokoh dan cukup luas ini secara keseluruhan. Tempat dimana aku tumbuh menjadi seseorang seperti sekarang ini. Tempat yang akan selalu jadi tujuan terakhirku sejauh apapun aku mengelilingi dunia. Tempat yang dihuni oleh sepasang suami istri yang merupakan sumber kehidupanku. Tempat yang dihuni oleh dua orang yang akan selalu bersedia membukankan pintunya untukku.
Dua orang yang akan dengan sepenuh hatinya menyambutku di saat seluruh dunia meludahiku. Dua orang yang kupanggil appa dan eomma yang meskipun kasar tapi sebenarnya mereka hanya menginginkan yang terbaik untukku. Appa dan eomma yang selalu kuanggap tidak mempedulikanku dan hanya peduli akan keberadaan mereka dimata masyarakat. Appa dan eomma yang selalu mengekangku dan mengatur hidupku. Sebelum ini, aku benci dengan sikap mereka yang seperti itu. Aku merasa aku sudah dewasa dan bisa menentukan pilihanku sendiri tapi ternyata tidak. Dan bodohnya aku, aku baru sadar sekarang bahwa aku memang tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar jika mereka tidak menuntunku.
Appa.. Eomma.. Mianhae..,” gumamku sambil tak melepas pandanganku dari pintu berwarna coklat kehitaman yang kini ada di depanku. Kuhirup nafas dalam-dalam, mencoba terlihat seperti biasa.
Tok.. Tok.. Tok..
Kuketuk pintu yang kokoh itu. tak lama kemudian kepala Appa menyembul dari balik pintu. Entah kenapa, aku ingin menangis sekarang. Tapi aku tidak ingin Appa melihat air mata sialan ini. Kutarik kedua sudut bibirku dan membungkukan badanku dalam-dalam. “Annyeong, Appa,” sapaku.
Appa menatapku nanar. Kurasa dia menyadari kondisiku yang tidak sedang baik-baik ini. Dan saat itu pula, air mata yang kutahan sejak tadi mengalir begitu saja.
Appa, mianhae..,” ujarku lirih.
Appa langsung memelukku. Kubenamkan wajahku di dadanya. Aroma tubuhnya tetap sama, hanya saja nafasnya sedikit lebih berat. Ya, tak dapat dipungkiri. Setiap hari Appa semakin bertambah tua. Organ tubuhnya juga tidak seperti dulu lagi, Menurun seiring bertambahnya usia. “Waeyo, Ji-ya? Kenapa menangis? Kyuhyun melukaimu?” tanya Appa dengan suara bijaknya. Harus kuakui, sekeras apapun Appa padaku, di dunia ini hanya dia yang bisa memberikan kehangatan seperti ini.
“Sangat, Appa.” Aku mengadu padanya.
Appa mengusap belakang kepalaku, membuatku berjuta kali lebih tenang dibanding semalam. “Bukankah Appa sudah bilang? Kau yang memutuskan untuk tetap menikah dengannya, jadi kau harus buktikan pada Appa bahwa keputusan yang kau ambil itu tidak salah.”
Ani, Appa. Keputusanku memang salah. Seharusnya aku mendengarkan Appa dan Eomma, karena kenyataannya aku memang tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar jika kalian tidak menuntunku.”
Appa melepaskan pelukannya lalu menjajarkan wajahnya dengan wajahku, menghapus air mata yang membasahi pipiku dengan jari-jarinya yang begitu terasa hangat.
“Kau sudah dewasa, Ji-ya. Kau pikir berapa lama lagi kami bisa menuntunmu?” Tiba-tiba terdengar suara Ibu.
Aku menoleh ke balik punggung Appa dan tertangkap oleh mataku, sosok Eomma sedang berdiri di belakang Appa. Aku segera berlari ke arahnya dan menghambur ke pelukannya. “Mi—”
“Ji-ya, bogosiphoyo,” potong Eomma.
Kueratkan pelukanku padanya, entah kenapa aku tidak ingin melepaskannya barang sedetik pun.
“Apa yang terjadi?” tanya Eomma.
Kuletakan daguku di bahunya, menghirup aroma rambutnya yang khas. Dengan terbata-bata, aku menjelaskan semuanya pada Eomma dan Appa yang berdiri di belakang kami pun ikut mendengarkan.
“Jadi.. Kyuhyun.. Dia menipumu?”
Aku mengangguk pasrah.
“Bagaimana bisa dia melakukan itu padamu? Ji-ya, kau harus menceraikannya seka—“
Ani, Eomma!! Aku tidak bisa. Hubungan Kyuhyun dengan keluarganya sudah membaik, aku tidak ingin dia kembali tertekan seperti dulu.” Aku tidak tahu kenapa di saat seperti ini pun, aku masih saja membelanya.
“Ji-ya, kau—“
“Aku tahu aku akan sakit sendirian. Tapi biarlah, Eomma. Dan jangan tanya alasannya, karena aku juga tidak tahu, Eomma.”  Aku merasakan jantung Eomma berdetak cepat dan tak wajar.
“Maafkan, Eomma. Eomma terlalu kasar padamu. Maafkan Eomma, Ji-ya…” Tiba-tiba pelukan Eomma mengendur.
Aku dapat merasakan nafasnya naik turun tak beraturan. “Eomma, gwaenchana?” Aku mulai panik melihat keadaan Eomma.
Dalam hitungan detik, tubuh Eomma telah terduduk dilantai. Kejadiannya terlalu cepat dan mengejutkan hingga aku tak sempat menahan tubuhnya.
“Min Ji-ya, Eomma menyesal telah memukulmu, menamparmu, mempermalukanmu di depan keluarga Kyuhyun. Mianhae, Ji-ya. Eomma tahu cara Appa dan Eomma salah,” racau Eomma sambil memegangi dadanya. Eomma memang punya penyakit jantung, dan saat ini aku tidak berani berpikir apapun.
Appa! Dimana obat Eomma?”
Appa juga terlihat panik. Dia berjalan cepat ke kamarnya.
Eomma, kalau bisa aku ingin menggantikan Eomma saat ini. Lebih baik aku yang—”
“Bodoh! Kalau kau menggantikan Eomma, dan saat kau hilang.. Appa dan Eomma tidak akan punya siapa-siapa lagi, karena kau anak kami satu-satunya, Ji-ya.
Eomma bicara apa?”
Mianhae, Ji-ya.” Lambat laun, nafas Eomma mulai teratur. Perlahan matanya terpejam.
Aku mulai sadar, nafasnya tak lagi berhembus. Kupegang tangannya untuk mencari denyut nadi di sana, tetapi tidak kutemukan.  “Eomma?” panggilku dengan pandangan yang mengabur karena air mata. Kulihat Appa terpaku di tempat. Obat-obatan yang dipegannya jatuh ke lantai begitu saja, disusul dengan sosoknya yang duduk di lantai sambil menutup wajahnya dengan telapak tangannya.
Eomma, ireona..”
Tidak ada respon.
Aku mengguncang tubuh Eomma yang kini berada di pelukanku. Seharusnya dia marah besar saat aku melakukan ini padanya. Tapi ia tidak menghiraukannya. Ia tetap memejamkan matanya. “Eomma, kenapa kau tidak memarahiku? Eomma! Tunggu apalagi? Pukul aku sekarang! Eomma!!” jeritku.
Appa menepuk pundakku. “Ji-ya, lebih baik kau pulang dulu dan beritahu Kyuhyun. Appa akan mengurus semuanya selama kau pergi,” bisiknya di samping telingaku.
Aku merasa seluruh syarafku berhenti berfungsi. Aku tidak bisa mencerna ucapan Appa. Aku tidak bisa berpikir. “Bahkan Eomma tidak memberikanku kesempatan untuk minta maaf,” gumamku sambil bangkit dari posisiku. “Appa bisa kau ulang ucapanmu tadi? Tadi aku tidak mendengarnya,” sambungku.
“Lebih baik kau pulang dulu dan beritahu Kyuhyun. Appa akan mengurus semuanya selama kau pergi.”
Arraseo.” Aku berjalan perlahan menuju mobilku dengan gontai kemudian menghidupkan mesinnya dan menancap gas, melajukan mobil dalam kecepatan yang perlahan.
Author POV
Hari sudah hampir sore dan Min Ji baru sampai didepan kediaman Lee setelah dua jam lalu melintas lambat di jalan raya. Tanpa mengetuk pintu, ia menyeruak masuk ke dalam, berjalan perlahan dengan tatapan kosongnya tanpa mempedulikan ketiga orang yang sedang duduk diruang tengah. Melewati orang-orang itu tanpa menoleh sedikitpun pada mereka.
Eonni, gwaenchana?” tanya Saeny.
Min Ji tak memperdulikannya. Ia terus melangkah menjauh, menaiki satu per satu anak tangga di depannya. Nafas Kyuhyun tercekat saat melihat Min Ji tak menghiraukan ucapan Saeny, saat melihat gadis itu berjalan tanpa rohnya. Sungmin pun merasakan darahnya membeku seketika, menyesal telah menyeret Min Ji ke dalam skenarionya.
Min Ji duduk di samping meja kecil yang ada di sebelah tempat tidurnya, memeluk kakinya sambil menatap kosong ke arah lantai. ‘Eomma, bagaimana bisa dia tidak memberiku kesempatan untuk minta maaf?’ batin Min Ji. Air matanya bahkan tak menetes lagi. Air matanya sudah habis di sepanjang perjalanan yang memakan waktu lama tadi.
Brakk!!
Kyuhyun, Sungmin dan Saeny masuk ke kamar Min Ji dengan wajah cemas. Tanpa bertele-tele, Kyuhyun segera berlutut, menghadap Min Ji.
“Min Ji-ya, kenapa tidak bilang padaku bahwa Eomma meninggal?” tanya Kyuhyun. Matanya menatap lekat mata yang kosong itu. Barusan appa-nya menelpon Kyuhyun, menanyakan kenapa ia belum datang ke rumah sakit padahal ini sudah hampir sore.
Perlahan Min Ji mengalihkan matanya untuk menatap Kyuhyun. “Ini semua gara-gara kau, Kyuhyun-ssi! Kalau saja….” Min Ji menggantung kalimatnya karena menyadari sesuatu. “Ani, ini salahku. Seandainya tadi aku tidak pulang, mungkin Eomma masih ada sekarang. Kalau saja aku berpikir panjang terlebih dahulu untuk menceritakan semuanya pada Appa dan Eomma, mungkin Eomma masih duduk santai dengan secangkir teh hijau sekarang. Eomma..” Air matanya menetes lagi. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit yang kini bersarang di dadanya.
Kyuhyun menatap nanar kearah Min Ji, memeluk gadis itu dengan sangat protektif. “Min Ji-ya, jangan seperti ini,” bisik Kyuhyun.
Min Ji menggeleng pelan. “Aku belum minta maaf padanya. Dia tidak memberiku kesempatan untuk minta maaf. Dia egois. Aku tidak diijinkan meminta maaf, sedangkan ia terus memintaku untuk memaafkannya. Mana bisa seperti itu?? Eomma!!” Min Ji berteriak. Ia meremas kaus putih yang membalut tubuh Kyuhyun dan menggigit bibir bawahnya di saat yang bersamaan, berharap hal tersebut bisa sedikt mengurangi rasa penyesalan yang kini membuatnya merasa sesak setengah mati. Darah segar menetes dari bibirnya karena gadis itu terlalu kencang menggigit bibir bawahnya.
“Min Ji-ya..” Kyuhyun melepaskan pelukannya, memegang kedua bahu Min Ji dengan lembut.
Sungmin mengulurkan ibu jarinya untuk menyeka darah segar di bibir Min Ji namun Kyuhyun bergerak lebih cepat, membuat Sungmin hanya menggapai udara bebas.
“Kita harus pergi sekarang. Appa-mu sudah menunggu.” Kyuhyun mengajak Min Ji bangkit. Dipapahnya gadis itu dan mendudukannya di ranjang.
Min Ji kembali menatap kosong ke arah lantai, dan saat itu Kyuhyun menarik lengan Saeny, menyeret gadis itu keluar kamar. Sungmin meraih beberapa helai tissue yang ada di meja rias lalu berlutut dihadapan Min Ji. Dengan lembut ia membersihkan wajah Min Ji dari air mata, keringat dan apapun itu yang kini menghiasi wajah Min Ji.
“Ji-ya, bolehkah aku memanggilmu seperti itu?”
Mendengar suara Sungmin, Min Ji segera mengarahkan matanya ke arah suara tersebut. “Sungmin-ah..” panggilnya lirih.
Sungmin menjajarkan wajahnya dengan Min Ji. Sebelah tangannya memegang bahu Min Ji dan yang sebelahnya lagi memegang pipi Min Ji, menghapus air mata yang lagi-lagi menetes dari sudut mata gadis itu.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar