Cast : HunHanKai (Sehun, Luhan, Kai) and other.
Disclaimer : Semua cast bukan milik saya :D
Warning : BL. Incest. OOC. DLDR. Typos. Perhatikan judul dan genrenya baik-baik.
.
.
.
It's
sad story and sad ending. So, yang tak siap bacanya, jangan baca ya.
Tapi bagi yang tetep baca, jangan marah-marah pada saya nantinya :P
Selamat membaca semoga anda suka ^^
.
.
.
.
Matahari yang tak begitu terik tiba-tiba terhalangi satu sosok. Aku mengerjapkan mata berusaha mengenalinya. Angin berdesir mengirim bau tubuhnya untuk kuhirup, aku langsung tersenyum begitu mengenali harum tubuh siapa ini. Aku segera bangkit dari acara tiduranku di rumput belakang sekolah.
"Kenapa membolos?" suaranya yang lembut terdengar. Dia ikut duduk di sampingku.
"Sedang sedikit malas mendengar ocehan Songsaengnim. Kau sendiri Lu, membolos juga kan?" iya dia Luhan.
Dia langsung menatapku dan mempoutkan bibirnya, "Aku tak membolos. Tadi aku mau ke kamar mandi dan melewati kelas Hyung, aku tak melihat Hyung. Tapi di kelas tadi, Kai bilang Hyung sekolah. Makanya kucari, dan ternyata benar dugaanku Hyung ada di sini."
Aku tersenyum dan tak bisa menahan diri untuk mengelus kepalanya. Apalagi dia pasrah saja, benar-benar membuatku gemas. Tanganku turun ke pipinya dan mencubitnya gemas,
"Awww Appo..." dia menepis tanganku dan mengerucutkan lagi bibirnya. Benar-benar imut. Aku malah tergelak.
"Emm tak ada yang mengganggumu lagi sekarang?" tanyaku setelah hening beberapa saat.
Dia menggeleng, "Gomawo, berkat Hyung. Padahal tadinya Daddy sampai akan memindahkan sekolahku juga memenjarakan orang-orang yang membullyku. Aku bercerita tentang Hyung juga. Daddy ingin bertemu. Hyung ada waktu hari ini?"
Bisakah aku? Kalau hanya sebentar mungkin tak masalah. Jadwalku ke rumah Yeoja itu tak ada hari ini. Sekalian refreshing juga. Aku mengangguk.
"Jinja? Pulang sekolah ya. Ahhh aku senang sekali."
Lalu tanpa kuduga dia memelukku sambil melonjak-lonjakkan badannya, benar-benar seperti anak kecil. Aku kembali tersenyum. Bersamanya aku banyak sekali tersenyum meski gara-gara hal sepele. Aku mengusap punggungnya pelan tanpa melepaskan senyumku.
Lonjakkannya tiba-tiba berhenti, ia melepaskan pelukan dan menatapku dengan mulut ternganga. Hahah dia malu. Baru sadar kalau sudah memelukku dengan sikap anak kecil. Lalu ia menunduk, samar rona merah menjalari pipinya. Dia terlihat semakin menggemaskan kalau malu-malu begitu. ahh bagaimana aku tak jatuh cinta padamu Lu.
"Mi.. mianhae.. aku terlalu senang.. "
Aku mengangkat dagunya, "Tak apa Luhan, aku senang, sungguh, dengan pelukanmu.."
Dia menatapku dengan mata bulat indah dan wajah inocentnya, mungkin meyakinkan diri atas perkataanku. Aku memberinya senyum meyakinkan, bibirnya ikut melengkung memberikanku senyum anak-anaknya.. ahhh giliranku yang terpana.
Aku terus menatapnya seakan hanya dia objek menarik di duna ini, dia juga memandangku tak berkedip, lalu seperti terhipnotis aku mendekatkan wajahku, dia tak bergerak..
Dan... hampir saja.. aku –bibirku- menyentuh bibirnya, ketika terdengar suara gemerisk dedaunan.
Aku segera menoleh ke asal suara.
Kai? Dia mematung .. lalu tersenyum canggung ke arah kami.
"Ahhh mianhae.. aku mengganngu.. aku .. a... ku .. tadi mencari Luhan... ya sudah aku pergi... "
Kai pergi sebelum aku sempat mengumpulkan kesadaranku. Suara gemerisik lain menyadarkanku. Luhan sedang berdiri, dia menghindar menatapku, dengan wajah sangat merah. Aku tersenyum, dia pasti sangat malu. Bolehkan aku berharap Tuhan? Dia juga dilempari panah cintaMu untukku.
"Errr.. aku kembali ke kelas Hyung.. sampai jumpa.. pu.. pulang sekolah." Tanpa menoleh lagi dia meninggalkanku yang masih tersenyum bodoh.
Lalu tiba-tiba bayangan Kai melintas, kenapa ada sedikit perasaan aneh mengingat ekspresinya tadi.
Hah! Tapi semoga tak ada masalah, semoga Kai bisa menerima Hyungnya suka pada namja. Hmmm mungkin aku kena karma Suho hyung sehingga mencintai namja juga.
.
.
.
.
.
.
Aku menunggu di dekat kelas Kai dan Luhan. Kelas mereka baru saja bubar, hanya beda sepuluh menit dengan bubar kelasku. Belasan siswa keluar. Aku menatap mereka satu-satu, ahhh tak ada juga. Lalu akhirnya mereka terlihat, rupanya keluar paling akhir.
"Hyung.. Ayo..." Luhan maju duluan dan memegang lenganku. Aku tersenyum padanya, lalu kutatap Kai, yang ... hah? Kenapa pandangannya menerawang begitu?
"Ayo Kai..." aku tersenyum dan meraih lengannya.
Entah refleks atau memang benar, dia mundur seolah menghindar sentuhanku. "Emmm a.. ayo.. Hyung." Kai menunduk, dia menghindari tatapanku. Kenapa dia?
"Kai.. kau sakit lagi..." aku melepas lengan Luhan yang masih asyik menggelayuti lenganku, mendekat pada Kai, memegang lengannya, sebelum dia sempat mundur lagi. Kuraba dahinya, normal. Kuangkat wajahnya yang menunduk, hingga ia tak bisa menghindari tatapanku.
"Anni Hyung..." ia memberikan senyum yang kelihatan canggung. Kenapa sebenarnya dia. Apa jangan-jangan dia masih ingat kunjungan Suho Hyung kemarin. "Ayo kita pulang..." katanya sambil menurunkan lenganku dari dagunya dan mengegenggamnya.
"Emmm sebenarnya Luhan mengajak kita ke rumahnya, jadi kita ke sana dulu..."
Ekspresinya berubah lagi, tapi dia tersenyum. "Oohh tapi aku pulang saja ya Hyung... aku ingin beristirahat..."
"Nah kan? Sakitmu terasa lagi kan? Kalau begitu ayo pulang. Lain kali saja ya ke rumahmu. Luhannie.." kutatap Luhan, yang sedari tadi tak berbicara, dia tersenyum tulus.
"Ahhh jangan Hyung.. tak apa-apa.. toh nanti aku akan tidur saja... Hyung pergi saja ke rumah Luhan... Maaf ya Lu, aku tak bisa ke rumahmu..."
Ahhh bagaimana ini. Aku tak lagi bisa tenang meninggalkan Kai sendiri setelah apa yang dilakukan yeoja itu, juga setelah kedatangan Suho hyung kemarin.
"Tak usah khawatir Hyung.. aku akan mengunci pintu dan tak membukanya untuk siapapun." Katanya sambil mengeratkan pegangan, seolah meyakinkanku.
Aku memandang Kai dan Luhan bergantian. Bagaimana ini?
Lalu terdengar deheman Luhan. "Ah tak apa kok Hyung.. lain kali saja ke rumahku. Temani Kai saja." Katanya dengan senyuman, yang aku bisa jamin tulus seratus persen.
"Ahh jangan begitu, Lu. Sehun Hyung pasti ingin ke rumahmu." Kai mengedipkan matanya. Ahhh kenapa ekspresinya berubah secepat itu? Apa maksudnya dia juga menyeringai jahil. "Dia pasti menunggu-nunggu saat ini."
Aku memandang Kai menganga, apa dia tahu aku menyuKai Luhan? Dan apa dia setuju? Apa candaan ini tanda dia tak masalah punya kakak yang menyuKai sesama namja?
"Ishhh kau ini Kai..." aku menggaruk kepalaku malu. Kai terkekeh. Luhan menunduk.
"Ya sudah, aku duluan Hyung... Pai.."
Ahhh aku masih khawatir tapi, aku juga harus mulai mengajarkan Kai kemandirian dan keberanian. "Hati-hati Kai!"
Kai tidak menoleh, ia hanya mengangkat tangannya sebagai persetujuan. Ia terus berjalan cepat ke arah gerbang. Aku kini tinggal berdua dengan Luhan yang masih menunduk. Haha kenapa aku juga jadi ikutan canggung. Aku tersenyum dan menarik lengannya.
.
.
.
.
.
Aku tersenyum-senyum semenjak pulang dari rumah Luhan. Orang tuanya terlihat sangat baik, dan mudah-mudahan bisa merestui hubunganku nanti. Aku benar-benar yakin aku menyuKai Luhan. Aku sangat menyuKainya. Dan beruntung sekali kalau tak ada halangan. Tapi tentu saja akan ada halangan ya.. Yeoja itu. Aku harus cari cara agar bebas dari jeratnya.
Aku membuka pintu apartemen, hah? Tidak terkunci? Aku segera masuk. Melihat dengan seksama setiap sudutnya sampai kudengar suara air mengalir dan denting piring atau gelas, entahlah, dari arah dapur. Aku segera kesana, dan .. aahhh aku menghembuskan nafas lega. Hampir saja aku mengira ada apa-apa dengannya. Kenapa dia tak mengunci pintu?
Aku mendekat dan memeluk perutnya, meletakkan daguku di bahunya. Dia berjengit sesaat, lalu normal lagi dia pasti tahu ini aku. "Tak ada apa-apa selama aku pergi Kai?"
Kai menggeleng sambil tetap asyik membasuh piring dan gelas.
"Kenapa tak mengunci pintu?" tanyaku sambil melepaskan pelukan dan berdiri di sampingnya, menyambar lap dan mengeringkan piring piring yang sudah dia basuh.
Gerakan tangannya berhent sesaat. Jujur Kai benar-benar aneh belakangan ini. Mudah terkejut, ekspresi kosong, sebenarnya ada apa sih? Tapi dia melanjutkan lagi acara mencuci piringnya. "Aku tadi keluar Hyung, membeli makanan, lupa kukunci lagi."
Ahh tapi aku tak boleh menekannya sepenasaran apapun aku, dia tak boleh depresi ingat? "Ohh ya sudah, dengar Kai, kalau ada apa-apa jangan lupa cerita pada hyung ya."
Aku menepuk pundaknya, dan meninggalkannya, menuju kamar, aku menoleh sesaaat, kulihat dia mematung. Ada apa sebenarnya Kai, apa yang kau sembunyikan dariku?
.
.
.
.
.
Aku dan Kai mendekat pada Luhan yang sudah ada di gerbang. Aku tak bisa menahan senyum bahagiaku hanya karena melihatnya. Luhan tersenyum sambil sedikit mengigit bibirnya, senyum malu-malunya yang sungguh menggemaskan.
Luhan mendekat dan berjalan di sisiku. Beriringan kami berjalan masuk ke kelas.
"Kai.. kau pucat sekali..." aku sedikit terhenyak mendengar pernyataan Luha, aku tak terlalu memperhatikan, aku segera memandang Kai. Dan iya dia pucat sekali.
Aku menghentikan langkah. "Kai sakitmu terasa?"
Dia menggeleng dan memberikan senyum lagi, "Tidak Hyung, itu hanya perasaan Hyung dan Lu saja. Aku baik-baik saja."
Bagaimana ini, aku tak tahan lagi untuk mengintrogasinya. Aku benar-benar tak punya klu kenapa dia begini. Suho Hyung tak datang lagi. Yeoja itu juga sudah berjanji takkan menganggu Kai. Umma dan Appa sudah jelas meninggal kan. Lalu kenapa dengannya.
Sebuah usapan menyadarkanku, Kai, dia mengusap lenganku dan memberikan senyum. "Aku tidak apa-apa kok hyung. Mungkin sedikit kelelahan, tapi aku tidak apa-apa."
Haruskah kupercaya dia. Ahhh baiklah, aku memberikan senyum. Kalau ada apa-apa dia pasti akan cerita kan. "Baiklah."
Aku menggenggam tangannya dengan tangan kanan, dan tangan kiriku meraih tangan Luhan. Kami kembali berjalan beriringan.
.
.
.
.
.
.
Luhan menatap apartemen kami dengan tatapan anak kecilnya, membuatku kembali tersenyum-senyum seperti orang bodoh. Lalu pandangannya sampai padaku. Ia mempoutkan bibirnya.
"Menertawakanku lagi huh... menyebalkan.."
Aku terkekeh dan segera mendekatinya, ikut duduk di sampingnya. "Anniie... aku terkagum-kagum padamu Lu. Kenapa Tuhan menciptakan mahluk secute kau..." aku mencubit gemas kedua pipinya.
Dia merengut... dan mengeluh sakit dengan kata-kata tak jelas...
Dia mengusap-usap pipinya setelah kulepaskan, bibirnya mengerucut, matanya menatapku dengan tatapan marah yang lucu. Hahaha.. aku malah semakin gemas... aku mengusap kepalanya. Membuat rona merah kembali merambati pipinya.
Mungkin sekarang saatnya, aku harus mendapatkan kepastian. Kai sedang keluar, membeli makanan. Aku mulai memberikannya kepercayaan untuk melakukan hal-hal yang dulu kularang keras.
"Lu... boleh aku bertanya sesuatu?"
Dia mendongak, tapi kemudian dengan cepat menunduk lagi. "A.. apa?"
"Apa sebenarnya perasaanmu padaku?" akhirnya aku berhasil menanyakan itu.
Hening. Luhan meremas-remas lengan yang dia letakkan di pangkuannya. Aku kembali tersenyum.
"Emmm biar kupermudah, apakah kau menyukaiku?"
Hening lagi, tapi kemudian dia mengangguk. Masih tak berani memperlihatkan wajahnya.
"Menyukaiku seperti apa?"
Hening lagi. Ahh dia pasti malu. Aku yang mulai kalau begitu. Kuraih satu tangannya. Meletakannya di pangkuanku, diapit kedua tanganku. Dia tetap menunduk.
"Aku menyukaimu lebih dari sekadar sunbae kepada hoobaenya, bukan suka seorang hyung pada dongsaengnya, bukan puls rasa suka sahabat terhadap sahabatnya, kau.. tahu aku menyukaimu, seperti seorang... pecinta terhadap yang dicintainya, seperti Romeo pada Juliet, atau emmmm emmmm..." sial ! aku lupa lagi dialog yang sudah kusiapkan untuk menyatakan cinta padanya.
"Hmmpttt." Aku memandang Luhan, yang sedang menutup mulutnya dengan tangan yang tak kugenggam. Bahunya bergetar. Cih sudah berani sekarang dia menertawakanku.
"Tertawa saja yang keras, tak usah kau tahan. Tertawalah sepuasmu!" aku memalingkan badan darinya.
Hening! Lalu sebuah pelukan dari belakang mengenaiku, "Mianhae, aku tak bermaksud begitu Hyung. Emmm la.. lagi pula.. aku juga seperti itu Hyung padamu..."
Aku tersenyum dan berbalik. "Tapi tetap saja kau menertawakanku tadi?" rajukku.
"Mianhae..."
"Baiklah asal kumaafkan, asal kau kuhukum dulu." Aku menyeringai yang membuatnya jadi sedikit mundur, "Hukuman karena telah menertawakanku adalah... " aku mendekat, dia menjauh, terus hingga gerakannya terhentikan pinggiran kursi. Aku memegang bahunya mendekatkan wajah, dan hampir saja... aku bisa meraih bibirnya... ketika pintu terbuka.
Kai menatapku dan Lu dengan pandangan minta maaf sekaligus nyengir jail. Sepertinya dia sengaja men'cut' bagian ini, "Oohhh mianhae aku tak tahu..."
Luhan kembali menahan tawanya dan aku mempoutkan bibir pada Kai. Kai hanya tersenyum tipis.
.
.
.
.
.
.
Luhan sudah dijemput sedar sore tadi. Aku tertidur setelah sempat berteleponan dengannya. Jam 11 nanti aku harus menemui Yeoja itu lagi. Hah.. rasanya aku sudah menghianati Lu. Tapi aku janji ini hanya sampai aku lulus sekolah dan menemukan pekerjaan yang bisa membuatku dan Kai hidup.
Kulirik jam di mejaku, masih ada setengah jam lagi untuk bersiap-siap. Aku harus mandi dulu. Aku melangkah ke luar kamar, menuju kamar mandi yang terletak dekat dapur. Sepi sekali Kai sudah tidur sepertinya. Aku melangkah menuju bak cuci piring, mengambil gelas kotor, ingin minum, tapi sepertinya Kai belum sempat mencuci semua gelas kami.
Baru saja aku akan menyabuni gelas, ketika pandangan mataku menangkap sesuatu yang sangat familiar di dasar bak cuci piring, itu kan.. aku segera meraihnya, bukankah ini pil obat Kai?
Aku termangu, apa tak sengaja jatuh ke sini.. aku melirik pada lubang tempat air, memasukkan lenganku ke sana, dan aku terhenyak, mendapati banyak pil di sana... di dasar lubang ini ada saringan kecil untuk mencegah sampah masuk yang nantinya bisa menyumbat aliran air,
Jangan bilang Kai membuang semua obatnya? Jadi waktu itu ketika kau menangkap basah dia berdiri di sini, karena ini? Ahh aku tak bisa menemukan alasan lain selain ini. Tapi kenapa dia membuang semua obatnya? Dia tak ingin sembuh?
Apa dia tak tahu dengan apa aku membeli semua obat ini? Dengan mejual diriku. Kemarahan langsung menguar, aku menarik nafas, aku tak boleh marah padanya, pasti Kai punya alasan.
Setelah bisa menenangkan diri aku berjalan menuju kamarnya, tak ada lagi lain kali, aku harus meminta semua penjelasan sekarang juga. Aku ketuk pintunya, "Kai..."
Tak ada jawaban. Dia sudah sangat nyenyak mungkin. Kucoba lagi lebih keras. Tetap. Semakin keras. Tetap tak ada jawaban. Tak sabar aku membuka pintu dan melongokkan kepalaku ke kamarnya, sunyi... dan tidak ada siapapun di atas tempat tidur... aku segera masuk dan mencari seluruh ruangan... tak ada...
Kemana Kai?
.
.
.
.
.
.
Baru saja aku memutuskan untuk keluar mencarinya, pintu terbuka. Dia ternganga melihatku di depan pintu. Aku segera menariknya masuk. Mengunci pintu, dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Aku berdiri dan meletakkan tanganku di pinggang.
"Darimana Kai?"
"Emmm hanya mencari udara segar Hyung... aku tak bisa tidur. Aku kira Hyung sudah tidur nyenyak makanya aku tak berani membangunkan Hyung untuk meminta izin."
Aku menghela nafas. Mencari udara segar, malam-malam? Bukannya dia paling takut sendirian? Ahhh tapi aku tak tahu dia berbohong atau tidak. "Benarkah?"
Dia mengangguk sambil memandangku langsung, seolah menyatakan diri dia tak berbohong.
"Baiklah. Emmm sekarang hyung ingin bertanya sesuatu padamu. Kenapa... obat-obat ini .. Hyung temukan di bak cuci piring." Aku mengangsurkan obat-obat yang sebagian sudah hancur karena terkena air.
Dia tersentak, badannya bergetar. Tanda kalau dia ketakutan.
"Jangan bilang kau membuangnya?" tanyaku dengan nada selembut mungkin.
Getaran badannya berhenti, dia menatapku dengan tatapan tajam... membuatku terkejut.
"Iya aku membuangnya..."
Badanku mundur tanpa kusadari, dia membuangnya, meski sudah kukira, tapi jujur aku tetap punya harapan bodoh kalau Kai bilang obatnya terjatuh saat dia mencuci piring. Dia membuangnya tanpa rasa penyesalan sedikitpun. Sedangkan aku demi obat ini, aku menahan segala rasa malu, terhina, sakit, dan dia membuang begitu saja hasil kerja kerasku.
"Kenapa...?" suaraku tercekat.
Dia berdiri, "Aku tak mau darah kotor mengaliri tubuhku."
Deg. Rasanya ada yang menusuk hatiku seketika. Kenapa ekspresinya sedatar itu. Apa Kai tahu? Sejak kapan?
"Noona menceritakannya saat datang dulu. Dia bilang aku harusnya menghormati Hyung yang merelakan diri untuk menjadi budaknya demi obat itu. Aku awalnya tak mengerti karena aku juga begitu ketakutan padanya. Tapi kemudian aku mengerti apa maksudnya. Aku ingin Hyung menghentikannya, tapi tak tahu cara memberitahu Hyung.. aku takut Hyung marah.. "
Aku memandangnya dengan tatapan kosong, jadi ini salahku? Ahhh otakku tak mampu berfikir sekarang. "Mianhae... Hyung tak punya pilihan lain kan?"
Dia mendekat, "Aku yang harusnya meminta maaf Hyung..." dia lalu memelukku erat. "Berhenti berbuat itu, lebih baik aku mati daripada Hyung begitu..." katanya di telingaku.
Aku hanya mengangguk sambil mengeratkan pelukan, biar aku cari cara lain kalau begitu. Kai benar. Lalu tiba-tiba bau itu menyapu hidungku... bau yang familiar.. bukan karena aku menyukainya, tapi bau ini menyimpan kenangan amat buruk.
Aku melepaskan pelukan dan memandangnya tajam... "Kai... kau baru saja menemui Suho Hyung?"
.
.
.
.
.
.
Bersumbang...
.
.
.
.
.
.
.
Enggak ding... lanjut lagi kalau kalian belum bosan bacanya ^^
.
.
.
.
.
.
Kai memundurkan badan, matanya menatapku takut. Sekilas tadi terlihat sesuatu di lehernya. Itu tanda.. ahh jangan bilang Kai.. Suho hyung... ah ... bagaimana mungkin?
"Apa yang sebenarnya terjadi ceritakan!" desisku dengan nada paling tajam yang kupunya.
Sesaat dia hanya diam dan memandangku, lalu dia mengalihkan pandangan ke arah lain dan berbisik lirih. "Aku mencintai Suho Hyung."
"Apa?" aku mendekat dan mencengkram bahunya, dia gila...
"Mana mungkin? Kau tahu dia bukan orang baik Kai..."
Kai memandangku kemudai menepiskan lenganku dari bahunya. "Dia baik Hyung... Hyung hanya salah paham padanya."
Apa Kai tak mengerti apa yang sudah dilakukannya dulu padaku. Suho Hyung mengambil paksa harga diriku. Dia yang membuat kami menggelandang. Apa dia tak mengerti itu. "Kai.. kau tidak tahu apa yang sudah dia lakukan pada Hyung.." aku menarik rambutku frustasi.
Bagaimana mungkin Suho Hyung berhasil melakukan ini. Kapan? Bukan kemarin-kemarin ketika Suho Hyung kemari, Kai masih ketakutan padanya?
"Aku tahu." desisnya. Apa? Dia tahu tapi dia mengatakan mencintai Suho Hyung? Mulutku terbuka tanpa bisa mengatakan apapun. "Aku tahu Hyung, dan itu salah Hyung sendiri. Hyung harusnya membiarkan aku saja yang dibawanya, dia akan menjelaskan baik-baik padaku, tak punya maksud buruk. Tapi gara-gara Hyung sendiri, dia melakukan itu."
Plakkkk! Aku menamparnya, kenapa dia bilang begitu. setelah semua yang kulakukan demi dia. Kenapa dia malah berfikiran begitu. Mengapa? Aku memandangnya dengan mata berkabut, tak tahukah dia kenangan itu begitu membekas buruk di memoriku. Tak bisakah dia menghargainya, apalagi itu kulakukan demi dia. Apa dia tak tahu betapa sakitnya aku, betapa beratnya bebanku. Kalau pun memang aku yang salah, tak bisakah dia tak langsung menyalahkanku begitu.
Tapi tidak dia tak tahu, atau pengaruh Suho Hyung terlalu dalam padanya. Dia yang memegang pipinya, kembali memberikan tatapan tajam padaku. "Hyung Egois!"
Apa? Dia tetap menyalahkanku?
Dia belari ke kamar, membanting pintunya. Aku tak mencoba menghalangi. Aku terlalu shock. Kenapa Kai bisa jadi begitu. Kenapa? Aku terduduk di lantai. Mulai menangis seperti perempuan. Aku tak mempedulikan bunyi posel yang terus berdering.
.
.
.
.
.
.
.
Paginya, aku bangun dengan kepala berdenyut sakit. Aku menangis sepanjang malam, aku memang lemah, aku tak berguna. Tapi aku memutuskan untuk bicara baik-baik pada Kai. Aku harus bisa mengembalikannya menjadi adikku lagi. Dengan sedikit terhuyung aku berjalan menuju kamarnya.
Kuketuk pelan pintunya, "Kai... Hyung mau bicara..."
Tak ada jawaban. Hatikku mulai tak enak. Aku mengetuknya lebih keras. Seperti semalam tak ada juga jawaban. Aku segera membuka pintu kamarnya yang tak terkunci. Dan tak ada siapapun. Kemana dia? Apa jangan-jangan... tidak.. jangan bilang dia kabur ke rumah Suho Hyung.
Suara ponselku berdering terdengar, aku kembali ke kamar dan meraih ponselku. Panggilan. Noona? Ahh aku ingat semalam aku tak ke rumahnya. Dia pasti marah besar. Aku mengangkatnya.
/"Kau mau mati hah Sehunnie. Aku menunggumu semalaman, dan kau tak membalas sama sekali telepon atau SMS..."/ desisannya mengerikan.
"Mianhae..." lirihku. Aku tak tahu harus menjelaskan apa lagi.
/"Buka pintu sekarang!"/
Hah? Dia ada di sini. Aku segera menuju pintu membukanya. Sebelum sempat mengatakan apapun, dia menubrukku. Menciumiku. Dengan kakinya dia membuat pintu tertutup. Mendorongku menuju kamar, dan menidurkanku di ranjang. Aku tak bisa melawan, aku hanya diam. Pikiranku kosong, Kai.. kemana dia? Benarkah ke rumah Suho Hyung?
.
.
.
.
.
.
"Ada apa sebenarnya?" sudah selesai, aku hanya diam sambil memakai bajuku.
"Aku tahu kau selalu dingin padaku. Tapi hari ini lebih parah. Ada apa Sehunnie.."
Aku tersenyum sinis padanya, "Tak usah sok peduli Noona!"
Dia menghela nafas. Meraih rokonya dan mulai menyalakannya. "Boleh percaya atau tidak, tapi aku peduli padamu. Aku mencintaimu sejak pandangan pertama. Apa kau tak sadar, aku selalu menganakemaskanmu di PUB, karena aku menyukaimu. aku langsung memberikanmu pekerjaan ringan. Padahal kalau itu orang lain dengan tampang bagus, akan kupekerjakan hal lain."
Hmm jadi benar, dia memang bersikap beda padaku?
"Apa kau mencari adikmu?"
Aku tersentak dan menatapnya. Jangan bilang dia yang membawa Kai, karena semalam aku tak ke rumahnya.
"Aku tak menculiknya, tapi aku tahu siapa yang membawanya."
Dia menyeringai padaku.
.
.
.
.
.
.
Aku menggebrak pintu. Masuk ke dalam. Tidak!
Aku terpaku di tempat, Kai telanjang di pelukan Suho hyung. Aku memunguti bajunya yang tercecer. Aku tarik Kai, hingga ia terlepas dari pelukan Suho Hyung, juga membuatnya bangun. Dia mematung begitu melihatku. Suho Hyung ikut terbangun.
Aku melemparkan bajunya, "Pakai!" desisku.
Tak melawan, dia memakai bajunya.
"Sehunnie.. ak..."
"Jangan bicara padaku!" Potongku pada Suho Hyung, yang ikutan memakai baju.
"Mianhaeee..." katanya lagi.
Aku tak mempedulikannya. Hatiku terlanjur sakit. Dia melakukan ini pada Kai, setelah terus-terusan mengatakan mencintainya. Harusnya dia menjaganya kalau memang dia mencintai Kai. Tapi dia setelah merusakku malah merusaknya.
Kai selesai memakai bajunya, aku menariknya, keluar dari kamar hotel itu. Terus menariknya tak peduli apa yang dikatakan orang-orang yang melihat kami. Aku menariknya menuju luar, masuk ke taxi yang dari tadi menunggu. Pulang kembali ke apartemen.
.
.
.
.
.
.
"Ini salahku, jangan salahkan Suho Hyung. Aku yang mendatanginya."
Aku menghela nafas. Ini yang dia katakan setelah sampai apartemen. Bukan meminta maaf?
"Kai..." bahkan aku tak tahu harus berkata apa.
"Jangan sok peduli begitu padaku Hyung. Aku tahu Hyung hanya menganggapku beban kan? Jadi lepaskan saja aku, aku akan tinggal bersama Suho Hyung. Dan Hyung tak usah memikirkanku lagi. Lanjutkan hidup Hyung dengan bahagia bersama Luhan. Lupakan aku."
Apa lagi maksudnya ini. aku terduduk begitu saja di lantai. Ini semua terlalu mengejutkanku. "Kai... kenapa?"
Dia menatapku dengan pandangan yang sedih. Sebenarnya apa yang tak kutahu. Kenapa Kai menjadi begini. "Aku hanya akan menjadi beban Hyung selamanya. Jadi lepaskan saja aku. Hyung tak perlu lagi menjual diri. Jangan pedulikan aku, toh aku takkan lama hidup di dunia ini."
Aku tersentak lagi, aku memandangnya yang kini sedang menunduk dengan bahu bergetar. Dia menangis, aku mendekat. Ragu aku memeluknya erat. Tapi dia tak menepisku lagi. Dia malah balas memelukku.
"Kai... jangan bilang begitu. Jadi karena ini? Hyung tak pernah merasa terbebani. Kau lah satu-satunya alasan Hyung masih bertahan hidup. Tak peduli apa yang harus Hyung lakukan, asal melihatmu hidup dan bahagia itu sudah cukup. Jangan pernah bilang begitu."
Hening. Tapi bahunya masih bergetar, dia masih menangis.
"Lalu kenapa Hyung akan meninggalkanku?"
Aku melepaskan pelukan dan menatapnya. "Apa maksudmu? Mana mungkin Hyung meninggalkanmu."
Dia tersenyum sinis, dan sedikit menjauhkan diri dariku. "Luhan. Hyung ingin bersamanya kan? Bersama Luhan. Hyung mencintainya kan?"
"Iya. Lalu? Kita bisa hidup bersama Kai."
Dia terdiam, memandang kosong ke arah lain. "Aku mencintaimu Hyung, tak tahukah itu..."
Membeku. Itu yang kurasakan. Apa dia bilang? Mencintaiku?
Dia berbalik dan memandangku dengan pandangan sakit dan lelah, baru kusadar dia begitu pucat dan kurus.
"Aku mencintaimu seperti seorang kekasih mencintai kekasihnya. Aku tahu ini salah. Kau adalah Hyungku. Tapi perasaan ini muncul begitu saja. Tak ada yang kuharapkan bersamaku selain Hyung. Tapi kalau Hyung sudah memutuskan bersama Luhan, biarkan aku mundur."
Bagaimana ini?
"Aku memang bodoh, aku percaya ketika bilang Hyung akan selalu bersamaku. Aku tak sadar itu pasti ucapan penghiburan saja kan. Tapi aku rela Hyung, pergi saja dengan Luhan. Dia orang yang sangat baik dan pantas memiliki Hyung. Biarkan aku sendiri. jangan ajak aku melihat hal-hal yang hanya menyakitiku saja. Tak tahu kah Hyung bagaimana rasanya hatiku setiap melihat kalian bersama. Sakit... sangat sakiiit di sini..." dia meremas dadanya. Matanya mengembun.
Aku mendekat dan memeluknya, tetap mengeratkan pelukanku ketika dia memberontak ingin melepaskan diri. "Mianhae... kenapa tak bilang dari dulu Kai..." aku harus menyiapkan kebohongan lain. "Aku juga mencintaimu dari dulu. Tapi aku takut kau yang tak mau..." aku tak sepenuhnya berbohong, aku memang sangat mencintainya meski dalam konteks berbeda dengannya.
Rontaanya berhenti, aku melepaskan pelukan, mendongakkan wajahnya yang langsung membuat rasa bersalah semakin menyebar di hatiku. Pipinya dialiri air mata, aku menghapusnya pelan. Kukecup keningnya.
"Jangan bohong Hyung... "
Aku mungkin berbohong sedikit, tapi tujuan hidupku memang dia, melihat dia hidup dan bahagia. Kalau ini yang akan membahagiakannya, kenapa tak kulakukan. Sekilas bayangan Luhan dengan wajah indahnya mengelebat, maafkan aku Lu. Aku mencintaimu sungguh tapi aku lebih mencintainya.
"Aku tak berbohong Kai.. "
"Buktikan!" katanya setelah hening.
Aku memandangnya tak mengerti. Dia berdiri, dan membuka bajunya. Aku menganga, maksudnya ini?
"Buktikan kalau Hyung mencintaiku."
Baiklah tak ada pilihan lain kan? Aku mendekat. Berusaha menghilangkan wajah muramku, meraih kepalanya. Mendekatkan bibirku dengan bibirnya.
.
.
.
.
.
.
Menghilang lagi dari semuanya. Aku dan Kai melarikan diri lagi. Berkelana mencari tempat baru. Tempat yang hanya ada aku dan dia. Memulainya lagi dari awal. Mungkin ini menjijikan bagi kalian. Tapi kalian bukan aku. Hanya aku yang tahu apa yang kurasakan,
Dan di sinilah aku kini dengan Kai. Sebuah tempat di pesisir pantai. Menikmati kebersamaan kami. Mungkin suatu hari mereka akan menemukan kami, tapi saat itu tiba, mungkin kami sudah mati.
.
.
.
.
.
THE END
.
.
.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar