Pengikut

Senin, 29 Oktober 2012

SAD STORY 3

Cast : HunHanKai (Sehun, Luhan, Kai) and other.
Disclaimer : Semua cast bukan milik saya :D
Warning : BL. Incest. OOC. DLDR. Typos.
.
.
.
Karena saya gak bisa bikin BL pas bulan Ramadhan jadi di tamatkan saja di Chap 2 ini ceritanya. Mian kalau alurnya kecepetan. Salahkan memori otak saya yang lupa sebentar lagi Ramadhan, malah bikin FF BL berchapter *tepuk kepala.
Selamat membaca semoga anda suka ^^
.
.
.
.

"Siapa Hyung?"
Di saat yang tepat itu Kai malah menunjukkan sosoknya... Matanya langsung terbelalak, dia ketakutan.
"Hai Kai.. lama tak berjumpa ya..." Lelaki itu menyeringai pada Kai yang sedang pucat pasi.
Aku segera mendekat dan membentengi Kai dengan tubuhku. "Jangan ganggu dia.. aku saja.."
Dia menaikkan alis masih dengan senyum menyebalkan, "Kau mau menyerahkan dirimu lagi demi dia?"
Dia mendekat, aku semakin ketakutan, tapi cemasku pada Kai mengalahkan ketakutanku. Tangannya terulur dan mengelus pipiku. Aku menahan diri utuk tidak menepisnya. Seringaiannya tiba-tiba berganti dengan wajah yang ... tulus? Wajah malaikatnya.
"Aku tak sejahat itu Sehunnie..."
Lamunanku langsung melayang pada dua tahun lalu.
.
.
.
FLASH BACK
"Sehunnie... Jongie.. sini.."
Aku dan Kai segera menghampiri Appa. Dan kami sedikit terdiam melihat seseorang yang dibawa Appa. Seorang namja yang kelhatannya sedikit lebih tua dariku. Wajahnya tampan dan terlihat sangat baik.
"Ini adik Appa yang pernah Appa ceritakan, usianya memang jauuuh lebih muda dari Appa. Dia lebih pantas jadi Hyung kalian. Namanya Suho, kalian boleh panggil dia Hyung saja, meskipun dia paman kalian."
Aku tersenyum, akhirnya Appa mengenalkan keluarganya. Selama ini aku tak pernah bertemu dengan keluarga mereka. Umma memang tak punya keluarga, ia berasal dari panti. Dan aku juga tahu pernikahan mereka memang tidak direstui pihak keluarga Appa, jadi ya mungkin seluruh keluarganya diminta untuk menjauhi Appa. Tapi appa bilang ada satu yang masih sering berhubungan dengannya adiknya ini.
Kenapa pernikahan mereka tak disetujui? Tak lain tak bukan masalah status, klise memang. Appa yang kaya raya seorang calon pangeran penerus perusahaan, jatuh cinta pada seorang Pengasuh. Pengasuh adiknya sendiri. Umma adalah pengasuh Suho Hyung.
Suho Hyung membungkukkan badannya. Aku dan Kai segera membalas, ia mendekat dan mengusap rambutku dan Kai. Aku tersenyum padanya. Akhirnya aku punya Hyung, senangnya.
"Hyung sering-sering main kemari ya..."
Dia tersenyum, "Ne.. Hyung akan sering kemari, dan mengajak kalian bermain sepuasnya."
.
.
.
Sejak itu kami sangat dekat, layaknya adik kakak sebenarnya. Dia selalu ada untuk kami. Hingga badai itu datang. Umma dan Appa mulai sering bertengkar. Umma tak tahan dengan kemiskinan keluarga kami. Padahal Appa mengorbankan semuanya demi menikah dengan Umma. Tapi aku juga bisa mengerti perasaan Umma, ia seorang perempuan normal yang ingin hidup bahagia kan, berpakaian bagus, bisa berdandan dan sebagainya.
Puncaknya dia meninggalkan kami begitu saja. Membuat Appa depresi dan suatu hari ikut menghilang begitu saja meninggalkan kami berdua. Aku tak lagi bisa mengerti Umma, aku jadi benci padanya. Karena dia Appa juga meninggalkan kami. Padahal tak ada lagi sanak keluarga kami selain mereka. Aku juga benci Appa yang malah ikut meninggalkan kami. Aku benci pada hidup yang begitu kejam pada anak kecil sepert kami.
Aku bertahan hidup, padahal Umurku masih sangat belia. Aku baru saja lulus Sekolah Menengah Pertama. Aku bekerja mati-matian dengan tenaga kecilku. Kai mulai sakit-sakitan. Ia sangat sensitif, dia depresi, selain itu ia punya penyakit radang lambung yang parah.
Saat itu lah Sehun Hyung kembali datang, dia membantu kami. Tentu saja tanpa setahu keluarga besarnya. Dia kadang datang untuk menemani Kai ketika aku bekerja. Aku tak mau menerima begitu saja bantuannya. Uang bantuannya ku simpan untuk sekolah Kai dan obat-obatannya.
Lama-lama aku melihat ada tatapan yang berbeda ketika dia memandang Kai, dia sering berlama-lama memperhatikan Kai. Kadang aku melihatnya mengusap-ngusap atau mencium kening Kai ketika tertidur. Tapi kupikir itu masih tindakan wajar seorang kakak pada adiknya.
Hingga suatu hari sepulang aku bekerja di sebuah pabrik, aku melihatnya sedang mencium bibir Kai yang sedang tertidur lelap. Aku tersentak dan langsung mendorong badannya hingga terjengkang.
Dia hanya memandangku dengan tatapan kosong, "Aku mencintainya Sehunnie..."
Hah? Apa? Aku menatapnya Shock! "Hyung Gila! Dia keponakan Hyung dan dia namja..."
Dia menarikku keluar kamar, aku mengerti agar Kai tidak terjaga.
"Kau tahu Sehunnie... aku mencintai Ibumu dulu..."
Ini lebih gila. Aku melotot padanya. Dia menggaruk belakang kepalanya gugup.
"Aku suka caranya mengasuhku, bagaimana dia memperlakukanku dengan tulus. Sayang perbedaan usia kami terlalu jauh. Aku tak bisa melupakan bahkan hingga aku remaja dan dia menikah dengan Hyungku sendiri. Aku sayang pada Hyungku tapi aku jatuh cinta pada Ibumu. Aku sengaja membahayakan diri dengan menemuinya hanya agar bisa bertemu Ibumu."
Dia menghela nafas dan membuang pandangannya ke arah lain. Ia kelihatan sangat frustasi. "Lalu aku melihat adikmu. Kai... dia sangat mirip dengan Ibumu, kulitnya, matanya, hidungnya, bahkan senyumnya, dan aku tertawan begitu saja. Aku juga berusaha mengingkari tapi ... cinta itu datang lagi begitu saja. Aku mulai bisa melupakan Ibumu karena dia Sehunnie.. salahkah aku?"
Aku terngaga. Ya... Kai memang sangat mirip dengan Umma, aku lebih mirip dengan Appa bahkan dengan Suho hyung juga. Tapi mana mungkin ada cinta seperti ini, ini gila! Dia mencintai Umma saja sudah gila, sekarang dia malah jatuh cinta pada keponakannya sendiri yang namja juga. Dia benar-benar gila.
"Kumohon... bolehkan aku menyukainya, aku takkan memaksanya, tapi biarkan aku berusaha dulu... Kalau dia tak bisa, aku akan mundur... Jebal..."
Aku segera menggelengkan kepala. "Kau gila Hyung.. itu tidak boleh!"
Aku menyentakkan lengannya yang memegang bahuku.
"Haaahhhh kau tak mengerti Sehunnie..."
Ya di usiaku yang belum begitu dewasa, itu hanya terlihat salah di mataku. Aku tak mengerti betapa beratnya dia menanggung perasaan seperti itu. Salahkan usia beliaku. Aku tetap menolaknya.
"Sebaiknya Hyung jauhi kami..."
Dia tersentak dan menatapku tak percaya. "Jangan begitu Sehunnie, jangan pisahkan aku dengan Kai. Aku janji akan menjaga sikapku."
"Tidak. Keluar sekarang juga!" aku takut, kalau tak ada aku, bagaimana kalau Suho Hyung kelepasan dan mengapa-apakan Kai. Orang jatuh cinta kadang tak punya akal sehat.
Aku mendorongnya keluar dari rumah sederhana kami. Ia tak melawan hanya memohon lewat tatapan matanya. Aku hanya ketakutan saat itu, aku tak berfikir panjang aku hanya berfikir harus menjauhkannya dari Kai atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku mengeluarkannya dan menutup pintu, berusaha mengabaikan tatapan memelasnya.
.
.
.
Beberapa minggu aman, aku selalu membawa Kai kemanapun aku pergi. Menjaganya.
Sampai suatu malam, malam dengan hujan deras. Pintu rumahku diketuk, feelingku buruk. Suho Hyung tampak menyedihkan di balik pintu. Dia masuk setelah pintu kubuka.
"Mau apa lagi?" sentakku.
Matanya membulat, dia sedikit terhuyung. Bau alkohol menguar, dia mabuk. Keadaannya benar-benar menyedihkan.
"Kumohon biarkan aku bertemu Kai..."
Aku menggeleng. "Aku tak bisa Hyung. Ku mohon jangan ganggu kami lagi. Tak cukupkah ujian untuk kami."
"Sehunnie... kumohon .. aku benar-benar ingin melihatnya.. kumohon..."
Aku tak tega, tapi mana mungkin kubiarkan... aku menggeleng dan mendorong tubuhnya. Agar keluar.
Lalu tiba-tiba saja dia menyentakkan tubuhku. Matanya memandangku nyalang. "Kenapa kau sekejam itu, bukan salahku aku jatuh cinta padanya.."
Dia memandangku tajam, tangannya mencengkram pundakku erat.
"Hyuuung..." jujur sekarang aku takut.
Dia tersenyum, senyum pahit menyedihkan. "Kau tak tahu rasanya, Sehunnie... aku juga berusaha mematikan perasaan ini... tapi aku tak bisa..."
Lalu pintu kamar terbuka, Kai keluar dengan piyama tidurnya. Ia memandang kami heran. Ia tersenyum pada Suho Hyung. "Hyuuuung kemana saja?"
Ya aku memang tak memberitahu Kai apa yang terjadi. Dia mendekat, tidak, feelingku tak Hyung melepaskan tangannya dari bahuku dan mendekat pada Kai. Bagaimana ini. Kai ikut mendekat, setengah berlari, lalu Kai memeluk Suho Hyung.
"Bogoshippo Hyung. Sekarang aku tak punya teman bermain, jadi aku sering ikut dengan Sehun Hyung ke tempat kerjanya."
Suho Hyung mengusap kepala Kai. "Nado Boghosippo... Kai... Hyung sangat rindu padamu."
Aku hanya mematung tak tahu harus bagaimana. Lalu ekspresi Kai tiba-tiba meringis. Rupanya Suho Hyung memeluknya terlalu erat.
"Ahhhh ini sesak Hyuuunggg..."
Aku mendekat, mengantisipasi apapun yang mungkin terjadi. Suho Hyung melepaskan pelukannya. Menatap Kai yang mengerjap-ngerjapkan matanya heran.
"Kai... Hyung.. mencin.."
Jangan bilang dia mau mengatakan mencintai Kai... itu tidak boleh... aku segera mendekat dan sedikit mendorong Suho Hyung agar menjauh dari Kai, juga membuat Suho Hyung urung mengatakan cinta. Aku menatap Suho Hyung tajam, yang dibalas tatapan sayu.
Kai memandang kami bergantian. Heran.
"Jangan teruskan Hyung." Desisku.
Kai menatapku dengan pandangan bertanya. Aku menggelengkan kepala, isyarat tak ada apa-apa.
"Kenapa kau begitu egois Sehunnie..." Suho Hyung menatapku tajam. Lalu tanpa bisa kucegah ia berpaling pada Kai dan berkata, "Aku mencintaimu Kai.."
Aku tersentak. Kai melongo.
"A.. apa?"
"Aku mencintaimu." Jawab Suho Hyung mantap.
Kai mengerjapkan matanya. "Men..cintai...? A.. aku juga mencintai Hyung." Katanya sambil tersenyum agak canggung. Kai tak mengerti.
"Bukan seperti cinta Kakak pada adik, Kai. Aku mencintaimu seperti namja mencintai yeoja..." katanya sambil mendekat membuat Kai mundur. Ahhh dia masih kecil, dia pasti bingung dengan semua ini.
Aku segera melindungi Kai, ketika Suho Hyung semakin mendekat dan ingin memeluk Kai. Dia melayangkan lagi tatapan tajamnya padaku. Kemudian menghembuskan nafas putus asa.
"Aku sudah cukup bersabar Sehunnie, aku tak bisa lagi menahan diri."
Dia menyentakkanku hingga terjengkang, dan menarik Kai yang sekarang mulai bergetar ketakutan. Membawanya menuju arah kamar. Aku segera bangkit, menarik lengan Kai hingga terlepas dari genggaman Suho Hyung.
Aku berlari sambil menarik Kai menuju kamarku, memasukkannya, ketika aku akan ikut masuk, aku dicekal oleh lengan Suho Hyung. Aku berusaha menyentakkanya, tapi cekalannya terlalu kuat. Aku dan Suho Hyung saling tarik menarik. Kai menatap dari celah pintu.
Ah tidak ada pilihan lain. Aku menatap Kai, "Tutup! Dan kunci Kai!"
Dia menggeleng, matanya mulai memerah. Ia ketakutan. Aku terus berusaha menahan Suho Hyung yang akan masuk.
"KAI KUNCI! CEPAT!"
Sesaat dia hanya termagu, tapi kemudian dia menutup pintu dan terdengar suara kunci diputar.
Gerakan Suho Hyung terhenti. Dia kemudian menatapku, tatapan yang tak pernah kufikir akan keluar dari matanya. Sangat tajam. Aku ketakutan. Sungguh. Dia mencengkram bahuku, aku langsung lemas begitu saja. Apalagi tenagaku yang tak seberapa sudah dipakai menahannya agar tak masuk tadi.
"Kau... kau harus bertanggung jawab Sehunnie..."
Dia menarik tanganku, menyeretku menuju sofa. Mendorongku hingga terlentang di sofa. Aku takut. Tatapan matanya menakutkan. Dia mendekat, merebahkan tubuhnya di atasku, menahannya dengan tangan siku agar tak benar-benar menindihku.
Sesaat dia hanya menatapku, membuatku lebih takut. Ini bukan Suho Hyung yang kukenal. Lalu ia mencengkram lenganku menariknya dan menyimpannya di atas kepalaku. Tangannya yang lain menyentakkan kausku.
Tidak!
.
.
.
Sakit, perih, terhina, takut, malu, entah perasaan apalagi. Aku memandang kosong lampu yang menggantung di langit-langit rumah. Ketika angin berdesir lewat celah jendela, rasa dingin menyebar di seluruh tubuhku yang polos, terutama pipiku yang basah. Aku menangis tanpa suara.
Kenapa hidupku sekelam ini? Kenapa? Apa salahku?
Gerakan di sampingku membuatku kembali bergetar ketakutan.
Dia bangkit, aku tahu dia sedang memandangiku... "Se.. sehunnie.. mi.. mianhae..."
"Pe.. pergi..." bisikku.
"Hyung tak bermaksud..."
"Pergi... Jebal... jangan pernah datang lagi..."
Hening. Lalu dia berdiri, memungut pakaiannya dan memakainya.
"Mianhae... aku tak bermaksud. Aku mabuk..."
Dia lalu berlalu meninggalkanku, yang kini menangis sambil meremas rambutku keras, tak peduli meski rasanya rambutku akan tercerabut.
"Hyuuuungggg..."
Entah berapa lama aku menangis, ketika akhirnya aku tersadarkan oleh suara itu. Aku segera menghapus airmataku, menarik bajuku untuk menutupi tubuhku yang polos. Aku memandangnya, dia memucat terpaku di pintu kamar.
Dengan gerakan super pelan dia mendekat. "Hyuuungng..."
Langkahnya semakin cepat, dia menubrukku. Memelukku erat. Bahuku basah. Dia menangis. Aku segera mengelus rambutnya. "Gwaenchana Kai... dia takkan melukaimu, aku takkan pernah membiarkan siapapun melukaimu. Tidak akan pernah."
"Mi.. mianhae..."
Entah dia mengerti yang terjadi atau tidak apa yang terjadi padaku. Tapi dia pasti tahu aku dilukai, aku mengeratkan pelukan. "Ini bukan salahmu, Hyung tak apa-apa."
.
.
.
Setelah beberapa lama bertangisan. Kami berkemas, aku harus membawa Kai jauh dari tempat ini. Bukan tidak mungkin dia akan kembali. Aku pergi dari kampung halamanku ke tempat yang entah di mana hanya mengikuti feelingku. Naik turun bus. Hingga akhirnya uangku tak cukup lagi untuk naik Bus. Kai mulai meringis lambungnya pasti terasa lagi.
Ahhh bagaimana ini. Aku menariknya di depan sebuah bangunan. Sepertinya bekas rumah yang tak dipakai lagi. Aku memeluknya erat, menangis, karena aku tak tahu apa yang harus kuberikan padanya. Sampai ia terkulai dalam pelukanku. Dia pingsan. Dia tak mengeluh, tapi aku tahu dia merasakan sakit, kami tak makan sejak malam kemarin.
Aku mengangkat tubuhya, masuk ke bangunan itu. Menidurkannya dialasi dengan tas berisi pakaian kami. Tak apa kah aku membiarkannya sebentar di sini? Aku akan mencari makanan. Tapi memang tak ada cara lain, semoga saja tempat ini aman.
.
.
.
.
Lumayan, hasil membantu mengangkat barang orang yang sedang pindah rumah aku mendapatkan uang yang lumayan. Aku segera membeli makanan, dan air mineral. Cepat-cepat kembali ke bekas rumah itu.
Tapi dia tak ada.. kemana Kai? Apa Suho Hyung menemukan kami? Bagaimana ini? aku meletakkan seluruh bawaanku, kembali ke luar. Berteriak-teriak memanggilnya. Berlari tak tentu arah mencarinya. Tak ada dia tak ada di manapun.
Tidak! Kalau dia hilang atau ada apa-apa, lebih baik aku mati. Tujuan hidupku hanya dia, kalau dia tak ada, untuk apa aku hidup. Aku kembali ke rumah itu, terduduk di terasnya, menangis, sampai kudengar isakan pelan. Malam yang semakin larut membuat suasana amat hening dan suara kecil pun bisa terdengar.
Aku masuk lagi ke dalam rumah, menelusuri setiap ruangannya.
Aaaahhh rupanya itu dia, ada di bawah meja dapur berdebu. Dia bersembunyi di sana ternyata. Sungguh aku sangat lega.
"Kaii..." aku menariknya dan memeluknya erat.
"Hyuuunggggggg kenapa meninggalkanku. Apa aku berbuat salah...? hiksss.. jangan tinggalkan aku...hikss aku takut... aku takuuut..."
Aku membelai rambutnya. "Aku takkan meninggalkanmu! Takkan pernah."
Setelah lama berpelukan. Aku menariknya untuk bangkit. Kubawa kembali ke depan rumah. Kuangsurkan makanan yang sudah kubeli tadi. Kusuapi dia.
Dia memandangiku terus. Aku memberikan senyuman.
"Kita akan baik-baik saja Kai. Aku akan menjagamu."
Kai tersenyum. Dan senyumnya seketika mencerahkan hatiku. Seluruh rasa takut tadi menghilang begitu saja.
Sementara aku bisa tinggal di sini. Tapi aku tak boleh lagi meninggalkannya sendirian.
.
.
.
Esok paginya berbekal uang hasil kerja kemarin, aku dan Kai mencari pekerjaan. Apapun itu. Tapi tak ada kerjaan untuk remaja tanggung sepertiku. Ahhh aku semakin khawatir. Karena Kai semakin pucat. Dia sering sekali kulihat meringis sambil menggigit bibirnya keras, tangannya menekan perutnya. Maagnya kambuh. Meski jika kutanya dia segera bilang tak apa-apa. Tapi ketika diam-diam kulirik, dia begitu lagi. Sakitnya benar-benar kambuh. Apalagi dia pasti sedikit depresi. Makan pun seadanya. Obatnya tak mampu lagi kubeli. Aku kakak tak berguna.
Hari sudah malam, ketika aku memutuskan untuk kembali ke rumah sementara kami. Melewati sebuah bangunan yang menyala terang. Bukankah itu Pub? Aku segera teringat pada beberapa film. Mungkin ini bisa jadi pilihanku, bekerja di sini pasti takkan dipedulikan umur (atau aku bisa pura-pura lebih tua) ataupun pendidikan kan? Tapi bagaimana dengan Kai? Aku tak mungkin membawanya ke sana kan?
Sebuah ide melintas. Terpaksa aku harus melakukannya. Aku menarik Kai ke market kecil. Memintanya menunggu di depan. Lalu setelah aku mendapatkan apa yang kuinginkan, kuajak dia pulang.
Sesampainya di rumah, ku suruh dia minum obat yang kubeli. Itu obat tidur, aku yakin tempat ini aman. Tapi Kai tak boleh terbangun ketika aku tak ada. Aku tak bermaksud jahat. Aku hanya harus memastikan dia tertdur nyenyak dan bangun ketika aku sudah ada lagi di sisinya.
Setelah yakin dia tidur, aku keluar dan menuju Pub itu.
.
.
.
Yeoja itu memandangku dari atas ke bawah, dia adalah pemilik Pub ini, "Yakin kau berumur 20 tahun?"
Aku mengangguk. Ya aku berbohong. Tak ada cara lain. "Hmmm kalau begitu kau sungguh baby face. Baiklah meskipun kau tak bisa menunjukkan kartu identitasmu, aku mau menerimamu. Kau bekerja sebagai pengantar minuman."
Ternyata semudah ini. Aku tersenyum, sungguh aku sangat berterima kasih padanya. "Kamsa Hamnida." Aku membungkuk sedalam yang kubisa. Ketika aku kembali bangkit dia sudah sangat dekat denganku. Aku tersentak dan sedikit mundur. Dia tersenyum menyeringai, yang mengingatkanku pada Suho Hyung.
"Kau sangat menarik. Sekarang minta seragam pada yeoja yang ada di ruangan di depan itu, dan mulailah bekerja. Untuk waktunya kau boleh bekerja sampai jam empat seperti maumu."
Aku kembali membungkuk, dan segera berlalu dari sana.
.
.
.
Ternyata tak mudah, bekerja di sini mengajarkanku untuk jadi pembohong yang sangat ulung. Aku selalu tersenyum pada siapapun dan apapun yang mereka lakukan selama itu tidak sangat keterlaluan. Di sini aku juga belajar, menjadi pria yang kuat. Bekerja malam banyak resikonya. Meski belajar otodidak aku bisa berkelahi untuk menjaga diri.
Sekarang aku tinggal di sebuah apartemen kecil yang disewakan oleh Yeoja pemilik pub itu. Dia entah kenapa begitu baik padaku. Aku pernah mendengar gosip dari para pekerja di sana. Ini untuk pertama kalinya Yeoja itu dengan mudah menerima karyawan, apalagi aku menentukan sendiri pekerjaan dan jam kerjaku.
Tapi sudahlah selama ini Noona -begitu dia ingin dipanggil- bersikap wajar padaku.
Aku bisa membelikan Kai obat lagi, dia aman di apartemen itu. Tahun ajaran selanjutnya aku akan menyekolahkannya lagi. Kai hanya tahu aku bekerja Shift malam di sebuah pabrik.
.
.
.
Sampai suatu hari ujian itu menimpaku lagi.
Dia menemukanku. Suho Hyung menemukanknu. Dia mencekal lenganku ketika aku sedang mengantarkan minuman. Aku tak takut pada siapapun belakangan, para preman yang akan memalak pun aku lawan sampai mereka yang trauma padaku, tapi padanya aku kembali bergetar ketakutan. Dia mencekal lenganku dan membawaku ke arah pintu keluar Pub. Darimana dia bisa tahu aku ada di sini?
Keamanan menghalanginya, lalu Noona keluar, dia memandang Suho Hyung, sepertinya mereka saling kenal.
Ia memberi isyarat agar Suho Hyung megikutinya. Entah apa yang dibicarakan mereka berdua di ruangan Noona. Suho Hyung menatapku dengan pandangan tak tertebak, setelah keluar, tapi dia pergi begitu saja. Apa dia melepaskanku sekarang?
.
.
.
Ya.. Suho Hyung melepaskanku. Sebagai gantinya aku harus menjadi budak Noona. Tapi kurasa ini lebih baik, meski sama buruknya. Noona bilang dia menebusku, meski aku juga bukan milik Suho Hyung. Tapi Suho Hyung sudah menandatangi perjanjian agar tidak menggangguku lagi.
Aku tak boleh bekerja di pub lagi. Tahun ajaran baru aku di sekolahkan. Kai juga. tapi ketika kelas dua, Kai sempat harus masuk rumah sakit. Aku melarangnya sekolah sementara waktu.
.
.
.
FLASH BACK END
.
.
.
.
.
.
"Ibumu meninggalkan kalian karena Ayahku, atau kakek kalian. Ibumu diancam kalau dia tak mau meninggalkan kalian lebih tepatnya lagi ayah kalian atau Hyungku itu, dia akan menghabisi kalian. Sekarang Ibu kalian meninggal dunia di panti tempat asalnya. Ayah kalian, rupanya ada bersama ayahku. Dia diambil paksa, tapi yang terjadi Hankyung Hyung menolak makan, ia seperti mayat hidup di rumah, hingga akhirnya dia juga meninggal."
Aku menatapnya tak percaya. Meski sempat benci setengah mati pada Umma dan Appa, tapi kenyataan ini membuatku serasa disentakkan, mereka meninggal, dan mereka tidak sepenuhnya salah pada kami? Tapi sudahlah aku dengan berat hati tak peduli lagi pada mereka, hidupku sekarang adalah Kai. Dan mereka yang sudah meninggal takkan bisa menolong kami lagi kan?
"Sudah selesai Hyung? Hyung boleh meninggalkan rumah ini kalau sudah selesai. Aku sudah tak peduli lagi pada mereka berdua, kalau Hyung mau tahu." desisku dengan nada sedingin yang kubisa. Kalau memang itu benar, berarti memang hanya Kai saja yang kumiliki sekarang dan aku harus menjaganya.
"Sehunnie mengapa kau masih keras kepala?" dia menatapku tajam.
Aku membalasnya, menatapnya tajam, meski hatiku bergemuruh ketakutan.
"Aku tak bisa lagi percaya pada Hyung setelah apa yang Hyung lakukan. Andai Hyung tak melakukan itu, kami tak harus pergi dari rumah itu, menjadi gelandangan, hingga akhirnya bertemu dengan Yeoja itu, Yeoja yang menghancurkan hidupku, dan Hyung hanya menambah penderitaanku."
Dia mendekat lagi, "Kenapa kau tak mengerti juga Kai. Andai bisa aku tak mau memiliki perasaan ini. Kau yang membuatku terpaksa menjadi Iblis. Aku akan pergi sekarang. Tapi aku pasti akan kembali. Saat aku kembali kuharap kau sudah berubah. Memberiku kesempatan. Hal yang paling menyakitka adalah, saat orang yang kita sukai malah membenci kita"
Dia menatapku sesaat dan Kai yang berlindung di belakangku. "Aku sungguh menyukaimu Kai." Dia mundur, lalu sebelum benar-benar keluar dari pintu, dia menghentikan langkah, "Dan untuk malam itu, aku benar-benar minta maaf Sehunnie, aku mabuk dan kalap. Aku tak pernah punya maksud seburuk itu padamu. Soal Yeoja itu aku tak bisa membantumu."
Dan akhirnya dia benar-benar keluar dari rumahku, aku mematung untuk beberapa saat, sampai kusadar, ketika Kai meremas baju belakangku. Aku segera berbalik dan memeluknya erat. "Sshhh Kai... Hyung takkan membiarkan dia menyakitimu."
.
.
.
TBC
.
.
.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar