Halo!
Sudah
lama lama lama sekali aku tidak membubuhkan tulisan di atas kanvas
fan3less ini ya, buat temen-temen yang udah lama nunggu kelanjutan ffku
yg Chasing after Blinded, maaf bgt, ditunggu yg sabar aja ya
. ini ceritanya si author lagi mulai membenahi lagi kehidupan
tulis-menulis dan ngedit-edit cover nya (maap cover yg ini g terlalu
bagus -_-”), jadinya dirasa-rasa ff CABku itu amat berat untuk comeback,
nah
buat pemanasan, ff ini dipost. FFnya sendiri dari segi cerita juga
masih pemanasan (bisa diliat dari lengthnya). agak2 sengaja juga
sih, pengen tau reaksi reader dulu ah.
Nah maaf juga buat Ai yang udah hampir setaun nunggu ff ini
peace ya, tanggung jawab kamu tarik massa sebanyak-banyaknya buat baca ff aku ga mo tau. hahahha
Dan sesuai permintaan, tokoh utamanya jang jang jang….
Anyway, author mau no comment sama ceritanya, kan masih pemanasan, yang penting liat reaksi reader dulu ah…
Sebelumnya, makasih yang udah mau baca ff ini ya,
Ja, happy reading!
—————————————————————————————————————-
R O M E O
by Myupang
—————————————————————————————————————-
Jika saja dapat kau lihat
Air mata
Di dunia yang telah kau tinggalkan
Jika saja dapat kau sembuhkan
Hatiku
Sekali lagi saja
*
“Bagaimana ya, kalau aku meninggal lebih dulu?”
“Kau ini bicara apa?”
“Apa oppa akan sedih?”
“Tidak.”
“…”
“Tidak usah ditanya lagi kan?”
*
“Aku sudah sering mengatakannya padamu. Kalau aku sudah menjadi orang yang berhasil, kita akan segera menikah.”
“Hm-m… kalau begitu aku akan ikut berdoa untuk oppa.”
*
“Kenapa? Ada masalah apa?”
“Tidak ada.”
“Lalu?”
“Belakangan ini aku merasa aneh.”
“Ya, ya, ada apa lagi?”
“Oppa!”
“Aku tahu, aku mendengarkan.”
“Aku merasa akan pergi.”
“… Maksudmu?”
“Aku merasa akan meninggalkan kota ini.”
*
“Kau… ingin mengakhiri hubungan ini?”
“Apa kelihatannya seperti itu?”
“Katakan dengan jelas, kau…”
“Anni… aku hanya bertanya, oppa…”
“Lalu kalau aku menjawab aku bisa menerimanya? Kita akan akhiri malam ini?”
“…Tidak…”
“Itu kedengaran tidak yakin.”
“…”
“Hah, kau memang ingin mengakhirinya.”
“Apa aku tidak cukup jelas? Aku hanya bertanya.”
“Kau serius?”
“Oppa!”
“Aku
tidak akan tanya alasannya karena aku sudah tahu. Aku hanya ingin tahu
apa kau benar-benar serius? Kau benar-benar berharap kita mengakhiri
hubungan yang sudah berjalan setahun ini?”
“Tidak… tidak seperti itu.”
“Ya… kita memang baru satu tahun.”
“Satu tahun dan aku menjalani hampir seluruh hidupku bersama oppa!”
“…”
“Oppa… apa aku tidak cukup jelas kalau aku hanya bertanya?”
“Ini
pertanyaan yang sama yang kau lontarkan seminggu yang lalu. Dan seminggu
sebelumnya. Juga seminggu sebelumnya lagi. Kau tidak yakin padaku. Kau
memang berharap kita berpisah bukan?”
“Hhh… ya, aku memang ingin kita berpisah? Apa itu cukup memuaskan oppa? Kau tidak cukup percaya bahwa aku sudah sangat mencintaimu.”
“Lalu kenapa kau harus bertanya?”
“Hh… apa segala sesuatu membutuhkan alasan?”
“Ya.”
“Aku benci oppa.”
*
Pemuda itu
akhirnya terbangun. Jeritan nyaring dari ponselnyalah yang bertanggung
jawab karena mengusik tidurnya. Ia bangkit terduduk. Dengan lemas dan
tak ada semangat sama sekali, pemuda itu mencoba meraih ponsel yang
diletakkan di meja samping tempat tidur. Tapi tiba-tiba matanya terpaku
dan gerakannya terhenti.
Matanya
menangkap figur seorang gadis yang tengah tersenyum dalam bingkai foto
yang diletakkan di atas meja yang sama dengan ponselnya itu. Foto
seorang gadis dengan dirinya. Keduanya tersenyum pada kamera dan
kelihatannya amat bahagia.
Pemuda itu
tidak meraih foto itu dan tidak juga mengambil ponselnya walaupun itu
masih berbunyi nyaring. Hanya saja matanya masih terpaku ke sana.
Sebenarnya
ia tidak pernah benar-benar tertidur. Alarm ponsel itu tidak pernah
diaktifkan untuk membangunkannya. Itu hanya pertanda bahwa hidupnya
telah berlanjut ke hari yang baru. Hari yang baru yang entah mengapa
baginya sama saja. Datar, kelabu. Dan kalau tidak seperti itu, ia akan
merasa seluruh hari sama saja, begitu panjang dan membosankan. Itu akan
menggannggu satu-satunya yang tersisa dari dirinya: Pekerjaan.
Sejenak ia
tersadar dan berusaha keras mengalihkan pandangannya dari foto itu ke
ponselnya. Walaupun itu sebenarnya tidak banyak membantu. Wallpaper
ponselnya sudah ia ganti. Yang lama telah membuat luka di dadanya makin
melebar. Tapi tetap saja… itu tidak banyak membantu! Tidak sejak pesan
dari gadis itu tidak pernah lagi memenuhi inboxnya setiap bangun tidur.
Akhirnya
pemuda itu melemparkan ponselnya ke kasur dan kembali membaringkan
tubuh, mencoba tengkurap. Ia benar-benar telah kehilangan gairah untuk
bangun. Selimutnya ia naikkan sampai menutupi setengah wajah.
Hanya saja
itu tidak menutupi sebulir air mata yang perlahan jatuh dari matanya.
Menciptakan garis panjang sampai siapapun jika berada di dalam ruangan
itu akan bisa mendengar dengan jelas suara isak tangis darinya.
*
Sampai
kapan aku harus terus terbangun dengan kekosongan ini? Tidak adakah
hukuman yang lebih mudah yang dapat kuterima selain kehilangan?
Apakah dia yang di sana mendengar suaraku?
Minhae-ya… apa kau bisa dengar suaraku terus memanggil namamu?
Di mana kau sebenarnya… sedang apa kau sebenarnya… apa yang sekarang sedang kau rasakan… tidakkah kau mau membaginya denganku?
Aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.
*
“Minhae!
Tunggu! Jangan tutup telponnya. Oke, aku minta maaf, apapun yang
terjadi dan yang telah kukatakan, aku minta maaf. Semua kesalahanku.
“Tapi kau tahu aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya sedikit…aku…
“Aku
tidak bisa membayangkan kehidupan di mana aku tidak menerima pesanmu.
Tidak melihat wajahmu. Tidak mendengar suaramu—aku tahu ini kedengaran
gombal… tapi kau tahu…kau…
“Kalau kau merasa itu adalah yang terbaik, ….aku akan mencoba…aku betul-betul akan mencoba… menerimanya.
“Minhae-ya… aku tahu kau mendengarku… aku tahu kau mendengarku karena itu… aku mohon… jangan menangis…
“Bicaralah…”
Tuut….tuut….
*
“Belakangan ini oppa berubah pendiam.”
“Kita berdua tahu alasannya.”
“Ya.
Kesalahanku karena terlalu banyak bertanya dan terlalu sulit mengalah.
Kesalahanku membuat senyum di wajah oppa memudar. Kesalahanku membuat
oppa menangis di telpon waktu itu. Ke…salahanku…”
“Jangan menangis… demi tuhan jangan menangis…”
“Aku tidak pernah ingin menangis… tapi setiap saat aku tahu hatimu terluka… air mata ini seperti keluar untuk menggantikannya.”
*
Bahkan saat kututup mataku
Ada wajahmu yang tergambar
Dan sekali lagi aku tersadar
Kau yang telah hilang
tidak dapat kugantikan
*
“Berjanjilah padaku tentang dua hal.”
“Dua hal?”
“Kenapa? Tidak boleh?”
“Anni… minta lebih banyak lagi juga tidak apa-apa.”
“Dengar baik-baik ya, oppa…
“Pertama, jangan lepaskan aku.”
“…ini aku sudah memelukmu…”
“Maksudku secara tersirat!”
“Hahaha, ya, ya… tidak akan kulepas.”
“Aku sudah terbiasa dengan oppa di sampingku!”
“Hm-m. Aku tahu. Aku pun begitu.”
“…”
“Lalu yang kedua?”
“Sudah.”
“Apa?”
“Sudah, oppa.”
“Tapi tadi kau bilang…”
“Tidak, kurasa sebenarnya inti dari seluruh permintaanku hanya itu…”
*
“Ayolah jangan lakukan itu. Kau tidak ke sini untuk membersihkan kamarku kan?”
“Hari ini jadwal oppa sangat padat. Aku yakin oppa tidak akan sempat membersihkannya.”
“Ya!”
“Lagipula apa salahnya membersihkan kamar calon suamimu”
“… hei, hei, hei…”
“
Wajah oppa memerah.”
“Karena siapa?”
“Yah… aku tahu akan begini… oppa! Penampilanmu kelihatan aneh.”
“Ini semua karena siapa?”
“Hahaha… sini, aku bantu.”
*
Karena dirimu…
*
Aku terus merasa sepi
Sejak kau pergi
Kenapa kau tinggalkan aku?
“Kyuhyun.”
Suara dari kejauhan itu menghentikan langkahnya. Pemuda itu menoleh dengan perlahan. Donghae.
Donghae
berjalan dengan cepat ke arahnya sementara Kyuhyun hanya menunggu sambil
tidak berhenti melirik jam tangannya. Hyungnya itu menepuk bahunya.
“Manager ingin bertemu denganmu.”
*
Kyuhyun sudah memperkirakan hal ini. Cepat atau lambat Lee So Man pasti akan segera menyadarinya.
“Tidak
fokus, gagal rekaman sepuluh kali, pergi di tengah-tengah latihan. Kau
punya penjelasan untuk semua yang terjadi dua minggu belakangan ini?”,
Lee So Man bertanya padanya dengan nada suara yang meninggi.
Kyuhyun
hanya membalas dengan tatapannya yang sekarang-sekarang ini memang
berubah jadi datar. Sedangkan Lee So Man juga membalasnya dengan tidak
mengerti.
“Apa surat pengunduran diriku masih belum sampai juga?”, jawab pemuda itu datar, yang otomatis membuat So Man mendesah panjang.
“Jadi ini masih
soal itu? Bukankah aku sudah jelas-jelas mengatakannya padamu, Kyuhyun,
kalau ini hanya karena pacarmu yang sedang dirawat di rumah sakit itu,
kau tidak perlu keluar, aku bisa memberimu cuti panjang.”, sanggahnya.
Kyuhyun
mendengus. “Cuti panjang? Aku tidak percaya hyung bisa memberikannya.
Bukankah aku sumber pendapatan tinggi untuk Super Junior? Sudah hampir
dua bulan aku memberikan surat pengunduran diriku dan ijin cuti panjang
itu tidak pernah sampai kepadaku.”
“Aku minta kau menunggu, Kyuhyun. Kau kan tahu kita akan meluncurkan album baru—“
“Hyung, aku
tidak mau membuat ini jadi sulit. Aku tidak mau membuat pers terguncang
dengan keputusan ini jadi sebaiknya dipermudah saja. Gadisku tidak bisa menunggu.”
*
Di hatiku hanya ada dirimu
Dan seluruh kenangan tentangmu masih terus hidup
Kenapa kau tinggalkan aku?
“Kau masih di sini?”
Sentuhan
halus di pundaknya membuat Kyuhkyun menoleh perlahan. Pemilik suara itu
menatapnya dengan senyum tulus. Yang juga dibalas Kyuhyun hanya dengan
gelengan kecil.
Gadis itu
adalah Yuri, kakak Minhae dan juga teman sekelasnya waktu SMP. Dialah
orang pertama yang memperkenalkan Minhae padanya. Seorang teman yang
sangat baik dan kakak yang teramat menyayangi adiknya.
“Kau tahu,
kalau sikapmu seperti ini nanti orang-orang akan menyalahkan Minhae.”,
Yuri mengambil tempat duduk di sampingnya. Sepertinya ada sedikit nada
bercanda dari ucapannya barusan itu, hanya saja ia tahu itu sama sekali
tak berguna. Gadis itu kini menundukkan kepala, menutupi wajah murungnya
yang tidak bisa ia sembunyikan. “Jangan terlalu sering datang ke rumah
sakit.”
Kyuhyun
memperhatikan wajah itu sebentar dan masih terus diam. Ini bukan pertama
kalinya Yuri melarangnya datang. Teman lamanya itu sudah ratusan kali
melarangnya. Tapi ia pasti tahu bahwa hal itu tidak akan pernah berhasil
menahan langkah Kyuhyun. Pemuda itu mencintai adiknya melebihi cintanya
pada hidupnya.
“Setengah
tahun…”, Gadis itu juga kelihatannya sudah cukup kelelahan dengan
seluruh peristiwa yang menimpa adiknya. Matanya sudah terlalu sembab
bahkan untuk digambarkan seperti itu. “Sudah setengah tahun dan kau
masih menunggu di sini…? Pria macam apa kau…”, itu sungguh kalimat yang
amat dipaksakan. Ia sebenarnya amat berterimakasih karena Kyuhyun
termasuk di antara sedikitnya orang-orang yang tak menyerah untuk
menunggu, tapi ia juga tak tega pada sahabatnya itu… hidupnya kelihatan
tidak bergairah dan ia tahu… pemuda itu pun suatu saat akan merasa
lelah…
Setengah tahun bukanlah waktu yang sebentar.
Tidak ada harapan.
Tidak ada
seorang dokter pun di setiap tempat yang telah mereka datangi yang
menyampaikan adanya harapan. Tidak ada… hidup Minhae hanya terbatas pada
alat rumah sakit. Saat alat-alat itu dilepaskan, maka Minhae akan
mati…
Akan pergi…
Akan tiada…
Kalau teringat masa lalu,
sampai tiga atau empat bulan yang lalu, mereka masih dengan semangat
menunggu. Keluarga besar dan teman-teman pun masih ada yang rutin datang
berkunjung. Mereka biasa memberikan sesuatu untuk dimakan atau beberapa
bantuan kecil. Sekarang entah ke mana semangat itu pergi. Tidak pernah
ada lagi dari mereka yang datang.
Kau pasti
bertanya-tanya ada apa dengan Minhae. Dan mengapa ia membutuhkan waktu
berbulan-bulan untuk terus tertidur. Sayangnya pertanyaanmu itu sungguh
tidak perlu. Karena tidak akan ada yang—bisa—menjelaskannya. Siapa yang
bisa menjelaskan komanya seseorang yang menghabiskan waktu setengah
tahun? Hal terakhir yang dilakukan Minhae sebelum ini semua terjadi pun
adalah tidur. Tidur dan tidak bangun lagi sampai saat ini.
Tidur dan tidak bangun lagi sampai saat ini.
Akhirnya
Kyuhyun bangkit dari duduknya. Pemuda itu perlahan berjalan menjauh
meninggalkan Yuri yang juga masih memandangi punggungnya. Sosok itu
terus berjalan… berjalan… berjalan…
*
Berjalan menyusuri jejak kita
Di mana awalnya cinta ini tumbuh dan bebas
Tahukah kau?
Kini ia tempat yang amat kosong
*
Aku tidak pernah menghitung berapa lamanya aku melewati jalan ini sendirian, Minhae.
Kedua kakiku yang ingin melakukannya.
Apartemenmu.
Kantormu dan kafe di dekatnya.
Bahkan seluruh jalan raya kota Seoul…
Tiba-tiba aku tersadar bahwa seluruh tempat itu telah menjadi kenangan kita.
Di mana kita bertemu…
Di mana aku bisa mencarimu…
Seluruh tempat itu… memiliki kenangan tentang…mu…
‘Kenangan’…
Tentangmu…
Kekasihku…
Hidupku…
Minhaeku…
Pengantinku…
Akhirnya aku pun mengakuinya…
Aku tidak bisa hidup tanpamu Minhae…
Aku terlalu terbiasa… jalan ini… melewatinya bersamamu…
Jangan paksa aku untuk melangkah sendirian…
Aku bahkan merindukan kemarahanmu…
Aku merindukan sakitnya ditinggalkan di depan pintu apartemenmu
Yang penting kau ada!
Apa aku pernah menyia-nyiakan keberadaanmu itu? Minhae-ya…
Aku tidak begini karena aku mau…
Tapi tidak bisa…
Tidak bisa tanpamu…
Rindu… betul-betul rindu padamu…!
Minhae-ya…
Minhae-ya…
*
Akan kuserahkan seluruh hidupku
Jika rasanya akan terus seperti ini
Karena aku tidak bisa menahan suara di dalam diriku
Yang terus memanggil namamu.
*
- Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar