Pengikut

Rabu, 16 Mei 2012

YOU

Langit mendung, membawa senja kembali menyelimuti. Melangkah disepanjang jalan dimana aku bertemu denganmu, sepuluhtahun lalu. Saat daun-daun coklat mulai berguguran, renyah terinjak langkah.
***
Kau duduk disana, dengan buku tebal ditanganmu. Aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama atau sejenisnya. Tapi kali ini berbeda, kau membuatku mematung hanya dengan melihat sosokmu yang duduk diam disana. Membuatku terhipnotis, membawaku berjalan ke arahmu.
“Siapa namamu?”
Mungkin kau terkejut saat aku menjulurkan tangan dan menanyakan namamu. Aku juga begitu, terkejut dengan tindakan bodohku. Tapi saat itu kau tersenyum. Dan aku berjanji seumur hidupku akan menyimpan senyum itu di ingatanku. Kau berdiri, membuat wajahku hanya dapat berhadapan dengan dada bidangmu. Aku mendongak, merasakan aroma yang menguar dari tubuhmu masuk ke indra penciumanku. Sedikit limbung, tapi aku dapat mengendalikan diriku dengan baik. Kurasa sangat tidak lucu bila tiba-tiba aku jatuh pingsan hanya karena mabuk melihatmu.
Kau mengangkat tanganmu dan mengacak rambutku.
“Kyu, kau boleh memanggilku Kyu”
Dan kau pergi, tanpa menoleh. Berjalan lurus kedepan dengan buku tebal ditanganmu. Aku berdiri disini, melihat punggungmu yang terus menjauh. Biarlah kau kira aku anak kecil yang ingin bermain. Biarlah kau menganggapku gadis kecil pengganggu saat itu. Karena kau dan aku belum mengerti apa-apa tentang takdir. Kita hanya bocah kecil yang saling bertemu saat itu.
Lalu tiga tahun lalu aku bertemu kembali denganmu. Kali ini bukan sosok pria kecil dengan kacamata yang menggantung dihidung. Kini kau dihadapanku dengan jas hitam yang membalut pas ditubuhmu, kau seorang laki-laki dewasa. Apa kau masih ingat padaku? Gadis yang menanyakan namamu saat kau duduk membaca di sebuah kursi taman.
Aku mencoba menuruti Ayah untuk bekerja denganmu, melatihku saat aku nanti akan mewarisi perusahaan besarnya. Kau tahu? Walaupun menjadi sekretaris pribadimu saat itu, aku terlalu senang. Karena aku dapat bersama denganmu lebih lama, tapi aku takut bahwa nanti aku akan terlalu mabuk dalam pesonamu dan akhirnya aku akan jatuh dan sakit kembali.
Tak banyak kata yang keluar darimu, membuatku jengah, seringkali kau membentakku sekalipun aku telah menyelesaikan pekerjaanku. Inikah hasil pertumbuhan dari bocah kecil berkacamata yang tersenyum padaku, mengacak rambutku dengan ringan tujuh tahun yang lalu? Tapi aku sadar, aku bukanlah siapa-siapamu yang harus kau ajak bercanda, kau berikan senyummu. Kukira kau pribadi yang dingin, tapi kau berubah saat wanita itu datang ke kantormu. Memeluk lehermu, mengecup bibirmu. Dan kau tersenyum, tertawa, bercanda bersamanya. Saat itu aku tersentak, aku hanya beban yang dititipkan padamu, benarkan?.
Aku pulang dan memeluk Ibu. Ia mengecup ubun-ubunku, mengizinkanku tidur dipangkuannya sepanjang malam. Melihat kejadian saat itu tak langsung membuatku menjadi gadis lemah yang takut akan dunia. Aku tetap menjadi sekretarismu, berada didekatmu.
***
Saat itu hujan dan aku lupa membawa payungku. Kau memberi tumpanganmu saat melihatku menerobos hujan. Kau bersikeras mengantarku, tetapi aku tertidur sebelum kau sempat bertanya dimana apartemenku. Dan saat aku terbangun, wajahmu ada didepanku. Lalu wajah orangtua kita. Wajah penuh tanya, wajah penuh tuntutan. Aku mengguncangkan tubuhmu agar kau terbangun. Dan tampaknya kau juga terkejut melihat orangtua kita sedang mengelilingi ranjang kamarmu.
Malam itu juga Ayah memaksa kita menikah secepatnya. Tanpa pesta, tanpa undangan. Hanya di sebuah restoran kecil, dihadiri anggota keluargamu dan keluargaku. Aku melihat wajahmu, sejak tadi bahkan tak sepatah katapun kau ucapkan padaku. Sungguh, aku tak tahu apa-apa saat itu. Bila aku bisa memohon, aku akan berlutut dihadapanmu, meminta maafmu. Tapi bukankah malam itu tak ada apapun yang kita lakukan? Maafkan aku yang tak dapat menyangkal keinginan Ayah. Kau tahu? Aku menginginkan ini, aku ingin disampingmu setiap saat, berada disampingmu saat kau terbangun, membuatkan sarapan untukmu. Aku cukup bahagia walau ini hanya kebetulan, walau ini bukan kemauanmu. Tapi kumohon maafkan aku.
Lalu Ibu mengirimkan baju-bajuku ke rumah kecil yang dipersiapkan Ayah, saat itu kita mulai tinggal bersama. Terlintas dipikiranku, bahwa cinta bisa tumbuh dari kebersamaan. Tapi aku salah, kau tak mau bersamaku. Kau menunjuk kamar kecil di dekat dapur saat aku masuk kerumahmu. Membuatku paham, kau tak menginginkanku berada disini. Aku membawa barangku masuk kesana, menyusunnya ke dalam lemari baju yang berdiri disudut ruangan. Menangis. Aku salah, aku salah karena bahagia sebelum cerita yang sesungguhnya dimulai.
Setiap pagi aku menyiapkan sarapan untukmu, setiap malam aku menunggumu pulang, membuatkan coklat panas kesukaanmu, menyiapkan air panas untukmu. Setiap hari, membosankan bukan? Tapi aku senang karena kau tak menolak.
***
Malam itu aku membuka pintu, menemukanmu sedikit mabuk dan terhuyung huyung. Aku memapahmu duduk disofa. Membuka sepatu, melonggarkan dasimu, lalu menyiapkan air panas untukmu. Tapi malam itu berbeda, kau membuatku terlena, membuatku menyerahkan apa yang kujaga seumur hidupku. Kuberikan untukmu malam itu. Tapi apa yang kudengar? Kau memanggil nama wanita itu di sela tidurmu. Saat kau mendekap tubuhku. Dan aku tahu, aku hanya budak nafsumu malam ini. Aku terlalu banyak berharap.
Tapi aku tidak marah. Saat pagi aku terbangun lebih dulu darimu, dan kau tahu? Tidak ada noda darah disana. Aku menangis, apa aku terlalu teledor hingga tak dapat menjaganya untukmu?
Aku bangkit, menyiapkan sarapan seperti biasa karena jam dikamar sudah menunjukkan pukul 6.
“Maaf” Katamu.
Kau terlihat kacau, dengan rambut berantakan, dasi yang tidak terpasang rapi. Tapi entah mengapa kau terlihat mengagumkan dimataku. Aku hanya tersenyum, lalu menyodorkan jjangmyeong kesukaanmu. Tak perlu kata maaf bukan? Ini kewajibanku. Aku berbalik, lalu tiba-tiba saja kau memelukku dari belakang, mengecup keningku berkali-kali lalu pergi keluar, menuju Audimu yang terparkir anggun diluar. Meninggalkanku yang terpaku disini, apa maksudmu? Kau mau memberikanku harapan kosong lagi?
Lalu esoknya wanita itu datang saat kau tidak dirumah. Ia bilang hamil. Ia menangis dihadapanku, memohon kepadaku untuk berbagi dirimu. Apa yang bisa kulakukan? Aku bukan perempuan egois yang ingin memilikimu seutuhnya walaupun kau tak menginginkanmu. Kini aku tahu arti kata ‘maaf’ mu kemarin.
Ayahmu marah tentu saja, tapi aku berlutut dihadapannya. Memohon agar ia mengizinkan kau memiliki dua tanggungan. Pernikahan keduamu sama seperti saat kita menikah dulu. Tanpa acara, tanpa undangan, tapi hari ini aku melihat senyumnya dan senyummu melebur menjadi satu, ditambah senyum kesakitanku sebagai toping penghiasnya.
***
Ia mendapat tempat istimewa dirumah ini, tempat dimana ia dapat mendampingimu tidur, melihatmu disaat ia membuka matanya. Aku ingin marah, tapi sifat manisnya mengalahkan egoku. Kini aku tahu apa yang membuatmu jatuh padanya. Ia terlalu baik, terlalu cantik, terlalu manis, terlalu ceria. Tidak sepertiku yang tak dapat membuatmu tersenyum, tak dapat membuatmu tertawa ceria.
Hampir satu tahun pernikahan kita, akhirnya wanita itu melahirkan anaknya dan anakmu. Aku? Bahkan hanya pernah menyentuhmu sekali seumur hidupku, bagaimana aku akan melahirkan anakmu dari rahimku sendiri? Paling tidak agar aku tak kesepian menunggumu yang semakin lama kini semakin menjauh dari genggamanku.
“Aku menamakanny Cho Hyo Ji, gabungan dari nama kita bertiga, bukankah itu bagus?”
Wanita itu tersenyum bahagia diantara wajah pucatnya, walaupun ia tahu bayi mungil itu tak berhasil ia lahirkan, ia terlalu lemah. Senyum itu tak bertahan lama, ia terlalu banyak mengeluarkan darah saat melahirkan anak kalian. Dan ia pergi, dengan senyum terakhir di bibirnya. Aku menangis, kau terpukul atas kepergiannya dan anak kalian.
Aku mencoba bangkit, mencoba membuatmu ceria lagi seperti saat wanita itu disampingmu, aku merindukan senyum dan tawamu walau itu bukan untukku. Bila aku bisa aku ingin menukar nyawaku dengan nyawa wanita itu bila itu bisa membuatmu kembali tersenyum. Tapi apa daya, aku hanya manusia biasa.
***
Kau mengunyah makanan dihdapanmu dengan pelan. Matamu kosong, kau tahu? Kau membuatku terlihat seperti sampah tak berarti dihadapanmu. Kau masih diam. Aku dapat melihat lingkaran hitam diwajahmu dengan jelas.
“Kau tahu? Ia gadis kecilku. Gadis kecil yang menghampiriku ditaman, dengan konyol menjulurkan tangannya dan bertanya siapa namaku delapantahun lalu. Aku menyukainya saat aku melihatnya, pipinya yang memerah, matanya yang bulat, rambutnya berantakan saat itu, bahkan aku dapat mengingat semua itu dengan jelas sampai saat ini, bodoh bukan?”
Tiba-tiba bibirmu terbuka, bercerita pendek. Lalu terkekeh pelan. Aku tersentak, gadis kecil, ditaman, bukankah itu mirip ceritaku saat bertemu denganmu? Aku merasa diriku tercekik, aku terkekeh pedih. Kau salah mengenali orang, aku ingin mengatakan aku gadis kecil dalam ceritamumu. Tapi apa daya, aku tak mau membuat kenangan tentang wanita itu menjadi buruk dalam ingatanmu. Tapi egoku menentang, sudah terlalu lama aku menyakiti diriku sendiri.
“Musim gugur delapan tahun lalu, aku berjalan di sebuah taman, melihat seorang bocah kecil dengan kacamata bertengger dihidung mancungnya. Membaca sebuah buku tebal yang aku tak tahu apa yang membuatnya tertarik untuk membacanya. Kakiku seakan bergerak sendiri, menghampirinya, menjulurkan tanganku. Aku bertanya siapa namanya. Ia bilang aku bisa memanggilnya Kyu. Lalu tiba-tiba ia berdiri lalu mengacak-ngacak rambutku dan pergi menuju bus sekolah yang sudah berhenti di halte, ia masuk kedalam benda bermesin itu, tanpa menoleh kebelakang. Tanpa bertanya siapa namaku. Tapi aku sudah terlalu bahagia, melihat senyumnya, senyum yang mengembang dibibirnya saat itu”
Kau menatapku tak percaya, menatap wajah yang kini basah oleh airmata. Pertama kalinya kita berbicara panjang satu sama lain. Hampir setahun kita bersama, terlalu sedikit yang kita pahami tentang diri masing-masing. Kau dengan duniamu, dan aku dengan ambisiku.
Aku beranjak, meninggalkanmu yang duduk dengan pandangan kosong menatap makananmu. Aku menutup mulut menahan isakku, semoga disana kau tidak mendengarnya. Bagaimanapun aku tak mau terlihat lemah, tidak didepanmu.
Butuh beberapa menit hingga kau mengetuk pintu kamarku. Tapi kau tetap diam, tak sepatah katapun kudengar dari balik pintu kayu ini. Mengapa? Mengapa kau begini? Kau kecewa karena wanita itu bukan gadis kecilmu? Apa karena itu aku? Tapi bukankah ini kenyataan?
“Bisa kau membuka pintunya?”
Suara lirihmu terdengar menyakitkan ditelingaku. Campuran emosi, sakit, dan entah ekspresi apa lagi yang dapat kutangkap dari nada bicaramu. Terlalu banyak yang berpadu disana.
Pintu kayu itu terbuka dengan tenaga sisa yang masih kumiliki. Dan aku hampir saja hancur saat melihat wajah tampanmu, lingkaran hitam itu masih terlihat jelas, raut kesedihan itu masih membekas. Tetapi kau tersenyum. Kau menarik tubuhku ke dalam dekapanmu dan mencium pelipisku.
“Aku senang kau adalah gadis kecilku, kukira aku akan tetap bertahan dengan semua rasa sakit palsu ini. Pikiranku kacau, tapi hatiku menolak. Bukankah itu aneh? Tapi saat kau berceloteh padaku, aku sadar. Selama ini aku keliru, terlalu keliru untuk menyadari sebuah perasaan yang selalu kututup rapat”
“Kau gadisku. Ahhh, kurasa kau bukan seorang gadis lagi”
Aku memukul dadamu, terisak, namun tertawa.
“Tapi kau wanitaku. Ibu dari anak-anakku. Pendamping hidupku. Seseorang yang berada di dekapanku saat aku terbangun dari tidurku. Aroma yang akan tercium di pagi hariku. Seseorang yang akan berada disisiku walaupun rambutmu mulai memutih satu-persatu, lalu akan bertambah, dan akhirnya berubah seutuhnya. Tetapi aku akan tetap menjadi tampan, jadi kau tenang saja”
Aku memukul dadamu, kali ini lebih kuat.
“Kau bodoh!”
“Oh ya, kau tahu? Saat aku mengajakmu ketempatku saat kau menerobos hujan. Aku senang. Aku senang karena menyentuhmu malam itu, dan akhirnya kau benar-benar menjadi milikku sekarang”
Aku tersentak, apa aku tidur terlalu lelap hingga tak menyadari hal itu? Tapi bibirku mengembang. Aku membenamkan kepalaku semakin dalam ke dadamu, menghirup aroma yang menguar dari tubuhmu dalam dalam.
***
Aku merapatkan mantelku, musim gugur tahun ini benar-benar dingin. Aku mendorong kereta bayi didepanku dengan pelan, bersenandung mengikuti suara angin yang bergesekan dengan pasir dan daun-daun. Aku mempercepat langkahku, tampaknya langit akaan memuntahkan bebannya sebentar lagi. Dan aku tak mau mengambil resiko.
Dan benar saja, saat aku baru saja memasang sabuk pengamanku, hujan menyerbu, membuatku melihat orang-orang diluar sana yang berlarian mencari tempat berteduh. Ada juga sebagian yang nekat menerobos hujang, mungkin mereka ingin segera pulang atau apalah, bukan urusanku. Aku tersenyum, mengingat saat itu, saat yang membuatmu berada disisiku hingga saat ini. Tapi teriakan bayi disebelahku mengingatkanku untuk pulang. Kembali ke sarang hangat kita. Ke sisimu, menuju tempat dimana kita bisa bergelut didalamnya. Tempat dimana aku dapat melihatmu dalam bayangan bulan, diantara sinar yang menyusup di sela-sela jendela.
Aku mengelus puncak kepala bocah berumur satu tahun yang terlihat sedang sibuk menggigit-gigit kura-kura karet ditangannya. Aku tertawa melihat liurnya yang menjuntai indah, dengan sigap mengelapnya dengan tisu ditanganku. Lalu menjalankan mobil meninggalkan jejak semu ditempat itu.
“Ji-yaa, berhenti bergelut begitu sayang. Eomma sedang membuka pintu”
Aku mengecup puncak kepala bocah perempuan yang kini sedang bergelut seperti cacing dipelukanku. Aku melihat jam. Sudah pukul sembilan malam, pantas dia rewel. Dan aku yakin apa yang kulihat setelah aku membuka pintu ini akan lebih rewel dari bocah kecil ini. Aku tertawa.
Benar saja. Aku melihat seorang laki-laki dewasa dengan rambut acak-acakan, dasi yang tidak terpasang rapi, dan jasnya yang jatuh bebas disebelahnya sedang duduk sambil bersedekap. Raut wajahnya terlihat seram dan kulihat bibirnya sedikit mengerucut. Astaga, ia lucu sekali.
“Jagi!!”
Oh okey, pekerjaan sepertinya bertambah untuk malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar