Langit mendung, membawa senja kembali menyelimuti. Melangkah
disepanjang jalan dimana aku bertemu denganmu, sepuluhtahun lalu. Saat
daun-daun coklat mulai berguguran, renyah terinjak langkah.
***
Kau duduk disana, dengan buku tebal ditanganmu. Aku tidak percaya
cinta pada pandangan pertama atau sejenisnya. Tapi kali ini berbeda,
kau membuatku mematung hanya dengan melihat sosokmu yang duduk diam
disana. Membuatku terhipnotis, membawaku berjalan ke arahmu.
“Siapa namamu?”
Mungkin kau terkejut saat aku menjulurkan tangan dan menanyakan
namamu. Aku juga begitu, terkejut dengan tindakan bodohku. Tapi saat itu
kau tersenyum. Dan aku berjanji seumur hidupku akan menyimpan senyum
itu di ingatanku. Kau berdiri, membuat wajahku hanya dapat berhadapan
dengan dada bidangmu. Aku mendongak, merasakan aroma yang menguar dari
tubuhmu masuk ke indra penciumanku. Sedikit limbung, tapi aku dapat
mengendalikan diriku dengan baik. Kurasa sangat tidak lucu bila
tiba-tiba aku jatuh pingsan hanya karena mabuk melihatmu.
Kau mengangkat tanganmu dan mengacak rambutku.
“Kyu, kau boleh memanggilku Kyu”
Dan kau pergi, tanpa menoleh. Berjalan lurus kedepan dengan buku
tebal ditanganmu. Aku berdiri disini, melihat punggungmu yang terus
menjauh. Biarlah kau kira aku anak kecil yang ingin bermain. Biarlah kau
menganggapku gadis kecil pengganggu saat itu. Karena kau dan aku belum
mengerti apa-apa tentang takdir. Kita hanya bocah kecil yang saling
bertemu saat itu.
Lalu tiga tahun lalu aku bertemu kembali denganmu. Kali ini bukan
sosok pria kecil dengan kacamata yang menggantung dihidung. Kini kau
dihadapanku dengan jas hitam yang membalut pas ditubuhmu, kau seorang
laki-laki dewasa. Apa kau masih ingat padaku? Gadis yang menanyakan
namamu saat kau duduk membaca di sebuah kursi taman.
Aku mencoba menuruti Ayah untuk bekerja denganmu, melatihku saat
aku nanti akan mewarisi perusahaan besarnya. Kau tahu? Walaupun menjadi
sekretaris pribadimu saat itu, aku terlalu senang. Karena aku dapat
bersama denganmu lebih lama, tapi aku takut bahwa nanti aku akan terlalu
mabuk dalam pesonamu dan akhirnya aku akan jatuh dan sakit kembali.
Tak banyak kata yang keluar darimu, membuatku jengah, seringkali
kau membentakku sekalipun aku telah menyelesaikan pekerjaanku. Inikah
hasil pertumbuhan dari bocah kecil berkacamata yang tersenyum padaku,
mengacak rambutku dengan ringan tujuh tahun yang lalu? Tapi aku sadar,
aku bukanlah siapa-siapamu yang harus kau ajak bercanda, kau berikan
senyummu. Kukira kau pribadi yang dingin, tapi kau berubah saat wanita
itu datang ke kantormu. Memeluk lehermu, mengecup bibirmu. Dan kau
tersenyum, tertawa, bercanda bersamanya. Saat itu aku tersentak, aku
hanya beban yang dititipkan padamu, benarkan?.
Aku pulang dan memeluk Ibu. Ia mengecup ubun-ubunku,
mengizinkanku tidur dipangkuannya sepanjang malam. Melihat kejadian saat
itu tak langsung membuatku menjadi gadis lemah yang takut akan dunia.
Aku tetap menjadi sekretarismu, berada didekatmu.
***
Saat itu hujan dan aku lupa membawa payungku. Kau memberi
tumpanganmu saat melihatku menerobos hujan. Kau bersikeras mengantarku,
tetapi aku tertidur sebelum kau sempat bertanya dimana apartemenku. Dan
saat aku terbangun, wajahmu ada didepanku. Lalu wajah orangtua kita.
Wajah penuh tanya, wajah penuh tuntutan. Aku mengguncangkan tubuhmu agar
kau terbangun. Dan tampaknya kau juga terkejut melihat orangtua kita
sedang mengelilingi ranjang kamarmu.
Malam itu juga Ayah memaksa kita menikah secepatnya. Tanpa pesta,
tanpa undangan. Hanya di sebuah restoran kecil, dihadiri anggota
keluargamu dan keluargaku. Aku melihat wajahmu, sejak tadi bahkan tak
sepatah katapun kau ucapkan padaku. Sungguh, aku tak tahu apa-apa saat
itu. Bila aku bisa memohon, aku akan berlutut dihadapanmu, meminta
maafmu. Tapi bukankah malam itu tak ada apapun yang kita lakukan?
Maafkan aku yang tak dapat menyangkal keinginan Ayah. Kau tahu? Aku
menginginkan ini, aku ingin disampingmu setiap saat, berada disampingmu
saat kau terbangun, membuatkan sarapan untukmu. Aku cukup bahagia walau
ini hanya kebetulan, walau ini bukan kemauanmu. Tapi kumohon maafkan
aku.
Lalu Ibu mengirimkan baju-bajuku ke rumah kecil yang dipersiapkan
Ayah, saat itu kita mulai tinggal bersama. Terlintas dipikiranku, bahwa
cinta bisa tumbuh dari kebersamaan. Tapi aku salah, kau tak mau
bersamaku. Kau menunjuk kamar kecil di dekat dapur saat aku masuk
kerumahmu. Membuatku paham, kau tak menginginkanku berada disini. Aku
membawa barangku masuk kesana, menyusunnya ke dalam lemari baju yang
berdiri disudut ruangan. Menangis. Aku salah, aku salah karena bahagia
sebelum cerita yang sesungguhnya dimulai.
Setiap pagi aku menyiapkan sarapan untukmu, setiap malam aku
menunggumu pulang, membuatkan coklat panas kesukaanmu, menyiapkan air
panas untukmu. Setiap hari, membosankan bukan? Tapi aku senang karena
kau tak menolak.
***
Malam itu aku membuka pintu, menemukanmu sedikit mabuk dan
terhuyung huyung. Aku memapahmu duduk disofa. Membuka sepatu,
melonggarkan dasimu, lalu menyiapkan air panas untukmu. Tapi malam itu
berbeda, kau membuatku terlena, membuatku menyerahkan apa yang kujaga
seumur hidupku. Kuberikan untukmu malam itu. Tapi apa yang kudengar? Kau
memanggil nama wanita itu di sela tidurmu. Saat kau mendekap tubuhku.
Dan aku tahu, aku hanya budak nafsumu malam ini. Aku terlalu banyak
berharap.
Tapi aku tidak marah. Saat pagi aku terbangun lebih dulu darimu,
dan kau tahu? Tidak ada noda darah disana. Aku menangis, apa aku terlalu
teledor hingga tak dapat menjaganya untukmu?
Aku bangkit, menyiapkan sarapan seperti biasa karena jam dikamar sudah menunjukkan pukul 6.
“Maaf” Katamu.
Kau terlihat kacau, dengan rambut berantakan, dasi yang tidak
terpasang rapi. Tapi entah mengapa kau terlihat mengagumkan dimataku.
Aku hanya tersenyum, lalu menyodorkan jjangmyeong kesukaanmu. Tak perlu
kata maaf bukan? Ini kewajibanku. Aku berbalik, lalu tiba-tiba saja kau
memelukku dari belakang, mengecup keningku berkali-kali lalu pergi
keluar, menuju Audimu yang terparkir anggun diluar. Meninggalkanku yang
terpaku disini, apa maksudmu? Kau mau memberikanku harapan kosong lagi?
Lalu esoknya wanita itu datang saat kau tidak dirumah. Ia bilang
hamil. Ia menangis dihadapanku, memohon kepadaku untuk berbagi dirimu.
Apa yang bisa kulakukan? Aku bukan perempuan egois yang ingin memilikimu
seutuhnya walaupun kau tak menginginkanmu. Kini aku tahu arti kata
‘maaf’ mu kemarin.
Ayahmu marah tentu saja, tapi aku berlutut dihadapannya. Memohon
agar ia mengizinkan kau memiliki dua tanggungan. Pernikahan keduamu sama
seperti saat kita menikah dulu. Tanpa acara, tanpa undangan, tapi hari
ini aku melihat senyumnya dan senyummu melebur menjadi satu, ditambah
senyum kesakitanku sebagai toping penghiasnya.
***
Ia mendapat tempat istimewa dirumah ini, tempat dimana ia dapat
mendampingimu tidur, melihatmu disaat ia membuka matanya. Aku ingin
marah, tapi sifat manisnya mengalahkan egoku. Kini aku tahu apa yang
membuatmu jatuh padanya. Ia terlalu baik, terlalu cantik, terlalu manis,
terlalu ceria. Tidak sepertiku yang tak dapat membuatmu tersenyum, tak
dapat membuatmu tertawa ceria.
Hampir satu tahun pernikahan kita, akhirnya wanita itu melahirkan
anaknya dan anakmu. Aku? Bahkan hanya pernah menyentuhmu sekali seumur
hidupku, bagaimana aku akan melahirkan anakmu dari rahimku sendiri?
Paling tidak agar aku tak kesepian menunggumu yang semakin lama kini
semakin menjauh dari genggamanku.
“Aku menamakanny Cho Hyo Ji, gabungan dari nama kita bertiga, bukankah itu bagus?”
Wanita itu tersenyum bahagia diantara wajah pucatnya, walaupun ia
tahu bayi mungil itu tak berhasil ia lahirkan, ia terlalu lemah. Senyum
itu tak bertahan lama, ia terlalu banyak mengeluarkan darah saat
melahirkan anak kalian. Dan ia pergi, dengan senyum terakhir di
bibirnya. Aku menangis, kau terpukul atas kepergiannya dan anak kalian.
Aku mencoba bangkit, mencoba membuatmu ceria lagi seperti saat
wanita itu disampingmu, aku merindukan senyum dan tawamu walau itu bukan
untukku. Bila aku bisa aku ingin menukar nyawaku dengan nyawa wanita
itu bila itu bisa membuatmu kembali tersenyum. Tapi apa daya, aku hanya
manusia biasa.
***
Kau mengunyah makanan dihdapanmu dengan pelan. Matamu kosong, kau
tahu? Kau membuatku terlihat seperti sampah tak berarti dihadapanmu.
Kau masih diam. Aku dapat melihat lingkaran hitam diwajahmu dengan
jelas.
“Kau tahu? Ia gadis kecilku. Gadis kecil yang menghampiriku
ditaman, dengan konyol menjulurkan tangannya dan bertanya siapa namaku
delapantahun lalu. Aku menyukainya saat aku melihatnya, pipinya yang
memerah, matanya yang bulat, rambutnya berantakan saat itu, bahkan aku
dapat mengingat semua itu dengan jelas sampai saat ini, bodoh bukan?”
Tiba-tiba bibirmu terbuka, bercerita pendek. Lalu terkekeh pelan.
Aku tersentak, gadis kecil, ditaman, bukankah itu mirip ceritaku saat
bertemu denganmu? Aku merasa diriku tercekik, aku terkekeh pedih. Kau
salah mengenali orang, aku ingin mengatakan aku gadis kecil dalam
ceritamumu. Tapi apa daya, aku tak mau membuat kenangan tentang wanita
itu menjadi buruk dalam ingatanmu. Tapi egoku menentang, sudah terlalu
lama aku menyakiti diriku sendiri.
“Musim gugur delapan tahun lalu, aku berjalan di sebuah taman,
melihat seorang bocah kecil dengan kacamata bertengger dihidung
mancungnya. Membaca sebuah buku tebal yang aku tak tahu apa yang
membuatnya tertarik untuk membacanya. Kakiku seakan bergerak sendiri,
menghampirinya, menjulurkan tanganku. Aku bertanya siapa namanya. Ia
bilang aku bisa memanggilnya Kyu. Lalu tiba-tiba ia berdiri lalu
mengacak-ngacak rambutku dan pergi menuju bus sekolah yang sudah
berhenti di halte, ia masuk kedalam benda bermesin itu, tanpa menoleh
kebelakang. Tanpa bertanya siapa namaku. Tapi aku sudah terlalu bahagia,
melihat senyumnya, senyum yang mengembang dibibirnya saat itu”
Kau menatapku tak percaya, menatap wajah yang kini basah oleh
airmata. Pertama kalinya kita berbicara panjang satu sama lain. Hampir
setahun kita bersama, terlalu sedikit yang kita pahami tentang diri
masing-masing. Kau dengan duniamu, dan aku dengan ambisiku.
Aku beranjak, meninggalkanmu yang duduk dengan pandangan kosong
menatap makananmu. Aku menutup mulut menahan isakku, semoga disana kau
tidak mendengarnya. Bagaimanapun aku tak mau terlihat lemah, tidak
didepanmu.
Butuh beberapa menit hingga kau mengetuk pintu kamarku. Tapi kau
tetap diam, tak sepatah katapun kudengar dari balik pintu kayu ini.
Mengapa? Mengapa kau begini? Kau kecewa karena wanita itu bukan gadis
kecilmu? Apa karena itu aku? Tapi bukankah ini kenyataan?
“Bisa kau membuka pintunya?”
Suara lirihmu terdengar menyakitkan ditelingaku. Campuran emosi,
sakit, dan entah ekspresi apa lagi yang dapat kutangkap dari nada
bicaramu. Terlalu banyak yang berpadu disana.
Pintu kayu itu terbuka dengan tenaga sisa yang masih kumiliki.
Dan aku hampir saja hancur saat melihat wajah tampanmu, lingkaran hitam
itu masih terlihat jelas, raut kesedihan itu masih membekas. Tetapi kau
tersenyum. Kau menarik tubuhku ke dalam dekapanmu dan mencium pelipisku.
“Aku senang kau adalah gadis kecilku, kukira aku akan tetap
bertahan dengan semua rasa sakit palsu ini. Pikiranku kacau, tapi hatiku
menolak. Bukankah itu aneh? Tapi saat kau berceloteh padaku, aku sadar.
Selama ini aku keliru, terlalu keliru untuk menyadari sebuah perasaan
yang selalu kututup rapat”
“Kau gadisku. Ahhh, kurasa kau bukan seorang gadis lagi”
Aku memukul dadamu, terisak, namun tertawa.
“Tapi kau wanitaku. Ibu dari anak-anakku. Pendamping hidupku.
Seseorang yang berada di dekapanku saat aku terbangun dari tidurku.
Aroma yang akan tercium di pagi hariku. Seseorang yang akan berada
disisiku walaupun rambutmu mulai memutih satu-persatu, lalu akan
bertambah, dan akhirnya berubah seutuhnya. Tetapi aku akan tetap menjadi
tampan, jadi kau tenang saja”
Aku memukul dadamu, kali ini lebih kuat.
“Kau bodoh!”
“Oh ya, kau tahu? Saat aku mengajakmu ketempatku saat kau
menerobos hujan. Aku senang. Aku senang karena menyentuhmu malam itu,
dan akhirnya kau benar-benar menjadi milikku sekarang”
Aku tersentak, apa aku tidur terlalu lelap hingga tak menyadari
hal itu? Tapi bibirku mengembang. Aku membenamkan kepalaku semakin dalam
ke dadamu, menghirup aroma yang menguar dari tubuhmu dalam dalam.
***
Aku merapatkan mantelku, musim gugur tahun ini benar-benar dingin.
Aku mendorong kereta bayi didepanku dengan pelan, bersenandung mengikuti
suara angin yang bergesekan dengan pasir dan daun-daun. Aku mempercepat
langkahku, tampaknya langit akaan memuntahkan bebannya sebentar lagi.
Dan aku tak mau mengambil resiko.
Dan benar saja, saat aku baru saja memasang sabuk pengamanku, hujan
menyerbu, membuatku melihat orang-orang diluar sana yang berlarian
mencari tempat berteduh. Ada juga sebagian yang nekat menerobos hujang,
mungkin mereka ingin segera pulang atau apalah, bukan urusanku. Aku
tersenyum, mengingat saat itu, saat yang membuatmu berada disisiku
hingga saat ini. Tapi teriakan bayi disebelahku mengingatkanku untuk
pulang. Kembali ke sarang hangat kita. Ke sisimu, menuju tempat dimana
kita bisa bergelut didalamnya. Tempat dimana aku dapat melihatmu dalam
bayangan bulan, diantara sinar yang menyusup di sela-sela jendela.
Aku mengelus puncak kepala bocah berumur satu tahun yang terlihat
sedang sibuk menggigit-gigit kura-kura karet ditangannya. Aku tertawa
melihat liurnya yang menjuntai indah, dengan sigap mengelapnya dengan
tisu ditanganku. Lalu menjalankan mobil meninggalkan jejak semu ditempat
itu.
“Ji-yaa, berhenti bergelut begitu sayang. Eomma sedang membuka pintu”
Aku mengecup puncak kepala bocah perempuan yang kini sedang bergelut
seperti cacing dipelukanku. Aku melihat jam. Sudah pukul sembilan malam,
pantas dia rewel. Dan aku yakin apa yang kulihat setelah aku membuka
pintu ini akan lebih rewel dari bocah kecil ini. Aku tertawa.
Benar saja. Aku melihat seorang laki-laki dewasa dengan rambut
acak-acakan, dasi yang tidak terpasang rapi, dan jasnya yang jatuh bebas
disebelahnya sedang duduk sambil bersedekap. Raut wajahnya terlihat
seram dan kulihat bibirnya sedikit mengerucut. Astaga, ia lucu sekali.
“Jagi!!”
Oh okey, pekerjaan sepertinya bertambah untuk malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar