Title: Sleeping with Kim Heechul Part 11 (END)
Cast:
Im Yoojin
Heechul Super Junior
Ki Bum Super Junior
Leeteuk Super Junior as Park Jung Soo
Jessica SNSD
Author: Soshiiica
Genre: Romance
Rating: PG
***
Saat
itu musim semi, Heechul yang masih kecil sibuk mengulum permen
kapasnya. Matanya berputar seiring orang-orang berlalu lalang. Itu
adalah hari pertama ia dan kakak perempuannya, Kim Heejin, kabur dari
rumah. Mereka kini duduk di taman mungil yang sedang mengadakan karnaval
tahunan. Heechul bersikap seakan ia sekarang hanya melakukan
rutinitasnya, tapi tidak dengan Heejin. Dia memperhatikan setiap bagian
dari taman itu, dia tidak melewatkan seorangpun dari tatapan elangnya.
Dia tidak akan membiarkan dirinya tertangkap oleh keluarganya untuk
saat ini.
“noona? Sampai kapan kita disini? Kalau kita tidak di rumah, lalu dimana kita tidur malam ini? Dan jangan lupa, aku lapar!”
“berhenti
merengek! Aku juga sedang berpikir!” Heejin, dalam balutan seragam
SMP-nya masih memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Tentu saja,
ayah dan ibunya tidak akan lama menemukan mereka kalau mereka tidak
segera bergerak. Ada kemungkinan bermobil-mobil polisi, atau bahkan
helicopter muncul untuk mendapatkan Hee bersaudara.
“noona! Sepertinya.. aku melihat tuan Park..”
“mwo? Eoddi? Eoddi?!” Heejin segera menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari sosok sekretaris ibunya.
“ah.. aku bercanda! Hehe..” Heechul terkekeh iseng sambil menghabiskan gumpalan terakhir permen kapasnya.
“aish! Dasar..” Heejin menempeleng kepala Heechul sementara bocah itu masih tetap tertawa.
“Heechul, diam disini ya, noona mau ke toilet dulu.” Heejin meninggalkan Heechul setelah Heechul mengangguk.
Di
toilet Heejin membasuh wajahnya. Dia menggigit bibirnya, tak bisa
mengelak dari ketakutan yang dia rasakan saat itu. Dia yakin, kalau
ayahnya menemukannya, hidupnya akan terancam. Memikirkannya, Heejin
bergidik ngeri. Dia menghentakkan kakinya sambil menggeleng-geleng.
“ah molla!”
Heejin
menghela nafasnya. Ada baiknya dia pulang. Tapi.. Heejin membenci
hidupnya. Dia benar-benar tidak menyukainya, sekaya dan senyaman apapun
dia sekarang. Heejin bosan dan dia akhirnya kabur dari rumah, seakan
itu jalan yang terbaik baginya, tepat 5 jam yang lalu. Tapi 5 jam
kemudian, Heejin berubah pikiran. Dia sekarang takut, gugup, dan dia
dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Tanpa uang, tanpa makanan.
Heejin
keluar dari toilet dengan lesu. Dia menuju ke adik lelakinya yang dia
tinggalkan di bangku taman. Tapi, saat dia kembali, yang dia lihat
adalah kerumunan keluarganya. Ibu, ayah, bahkan haraboji ada disana.
Dan tepat seperti dugaannya, polisi. Heejin segera mundur beberapa
langkah, bersembunyi di balik punggung orang-orang.
“Heechul! Astaga, ibu benar-benar khawatir!”
“jangan
keluar lagi dari rumah, kau dengar, Heechul? Astaga.. appa tidak tahu
lagi kalau kau benar-benar menghilang.” Appanya memeluk Heechul,
mendekapnya seperti sudah berbulan-bulan kehilangan anaknya.
“kalau
begitu, sekarang kita pulang saja. Oke?” sang ayah menggendong Heechul
di pundaknya dan sambil diiringi oleh ibu dan haraboji, mereka
berjalan pulang.
Heejin di tempatnya melemas. Bahkan
tidak ada satupun yang mencarinya. Ini adalah salah satu hal
menyebalkan yang membuatnya ingin pergi dari rumah, kasih yang kurang.
Semua orang mencintai Heechul, mengelu-elukannya sebagai anak yang
lebih baik dari Heejin. Apa salahnya? Heejin merasa dia sudah bersikap,
bicara, belajar, dan bekerja jauh lebih baik dari adiknya. Tapi, tidak
ada yang menganggapya. Heejin menunduk. Dia menitikkan air matanya.
Apa yang harus dia lakukan untuk membuat semua orang mengetahui
keberadaannya? Atau.. membuat adiknya yang jatuh dalam masalah?
**
Bertahun-tahun kemudian.
“bagaimana dengan ahli waris dari JK Group? Dia cukup baik untuk disandingkan dengan Heechul.”
“hmm.. aku ingin lihat profilnya, latar belakang, dan rupanya.”
“yang ini ahli waris SK Company.”
“tidak. Anak perempuan itu pernah terlibat masalah dengan hukum.”
“yeobo, ada baiknya kita mendahulukan Heejin..”
“aish.
Anak itu gampang, dia penurut, dan dia pasti mau dengan siapa saja
yang kita plihkan untuknya. Dahulukan Heechul, dia pewaris utama kau
ingat?”
Di balik pintu yang menjulang tinggi, hati Heejin
mencelos. Padahal dia sudah sangat bahagia saat pelayan mengabarkan
padanya kalau orang tuanya akan mengatur perjodohan untuknya. Itu
adalah kesempatan dimana orang tuanya bisa memikirkannya.tapi ternyata,
lagi-lagi Heechul yang paling pertama. Heejin meremas kain night
dressnya. Ini adalah titik terberat baginya.
**
“Heechul?
Kenapa kau mem-packing pakaianmu? Kau mau pergi?” Heejin yang baru
saja kembali dari kampusnya mendapati adiknya sibuk membereskan koper.
“eung. Kau tidak tahu? Aku akan ke Swiss.”
“mwo??”
“apa? Ayah dan ibu tidak menyuruhmu juga?”
“menyuruh apa?”
“noona, mereka bilang padaku, saat mereka pergi ke USA, aku juga akan dikirim ke Swiss. Harusnya noona juga ikut kan?”
Sekali lagi, walaupun Heejin benar-benar berharap untuk tidak terluka lagi, tapi sudah. Dia sudah terluka parah.
“tidak.. mereka tidak menyuruhku pergi..” ucap Heejin lirih.
**
-kembali ke masa setelah Heechul pulang ke Korea-
“Jadi..Heechul menyukai Yoojin?”
Heejin termenung di ruangannya yang gelap. Dia masih memikirkan acara perjodohan yang dihelat oleh kakeknya malam tadi.
“Heechul
memang sering bercerita padaku tentang sekretarisnya akhir-akhir ini.
Entah tentang kekesalannya, tentang dada ratanya, atau bahkan tentang
betapa ia rajin bekerja.” Heejin merenung. Dia tahu, ini jalan terakhir
yang harus dia ambil ketika ia tidak berhasil membuatnya diakui
keluarganya. Membuat adiknya terjatuh..
Heejin meremas buku tebal yang sedang di abaca hinga buku-buku jarinya memutih. Ini… jalan yang bisa menentukan hidupnya.
**
Flashback off
Heechul POV
Kenapa.. dia tidak bangun-bangun juga?
Aku
berdiri di sisi pintu, memandangi tubuh mungil yang tergolek di tempat
tidurnya. Melihatnya yang terlihat menyedihkan, membuat hatiku sakit.
Tapi.. mengingat perbuatan sintingnya, hatiku terasa jauh lebih sakit.
Tega-teganya ia membunuh anaknya sendiri. Aku memalingkan mukaku dan
menarik kenop pintu, menutup kamarnya.
“oppa! Annyeong!” dari
belakang, tangan-tangan meraih pundakku. Aku dengan segan menoleh, dan
tanpa perlu melihat seharusnya aku tahu itu Sica.
“aku sudah mengirim foto gaun pernikahan ke email-mu, kau sudah lihat? Cantik kan?”
Aku
tidak menjawabnya. Kutepis tangannya dari pundakku dan memilih
berjalan menuju kamarku. Aku mengunci pintu kamarku kemudian merebahkan
tubuhku di atas tempat tidur. Saat itu sudah agak siang dan membuat
matahari menembus jendela kamarku, menyinari wajahku. Aku mengubah arah
mataku dari datangnya sinar dan malah mendapati handphone-ku. Aku
teringat, sejak aku turun dari pesawat, aku belum mengganti flights mode
(flights mode: saat naik pesawat, kalau tidak mau mematikan hp
nyalakan flights mode yang menghalau sinyal). Aku meraih handphone-ku
dan mengutak-atiknya, mematikan flights mode. Mungkin saja ada sms atau
telpon penting untukku.
Benar saja, deretan sms menghampiriku.
Tapi jariku berhenti bermain di touchscreen pad ketika satu nama
menghubungiku. Yoojin.. mengirimiku sms. Tanggal dan jam yang sama
ketika aku berada di pesawat.
From: Yoojin~
Heechul, bisakah kau pulang sekarang? Maafkan aku, tapi ini penting..
From: Yoojin~
Heechul? Aku tahu kau tidak bisa sampai di Korea saat ini juga, tapi aku rasa ada yang aneh dengan Heejin..
From: Yoojin~
Heechul jebal, telpon aku, okay? Tolong aku..
Semua SMS ini harusnya dikirim saat dia sedang melakukan pengguguran kan? Apa maksudnya semua sms ini?
Seketika
aku duduk dari posisi berbaringku. Sepertinya aku mengerti. Aku segera
berlari, keluar dari kamarku dan tentu saja, menuju kepada Kim Heejin.
Ternyata, dia berada di ruang tamu, sedang mengobrol ringan dengan
Jessica. Tiba-tiba amarahku meluap. Ini pasti pekerjaan dua orang itu!
Sebelum menyadari kehadiranku kubanting vas bunga terbesar yang kutahu
adalah vas kesayangan Heejin ke lantai. Ruangan yang tadinya bersuasana
hangat itu seketika sunyi. Semua mata menatapku.
“kau sinting!!! Kau bukan kakakku!!!!” aku berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Heejin. Dia berdiri dengan tergagap melihatku.
“k-kau kenapa, Heechul?” sudut bibirnya memaksakan sebuah senyum untuk menenangkanku. Tapi tidak, aku benci padanya.
“KAU YANG MEMBUNUH ANAKKU!!!!” sekali lagi aku mengamuk, kuhampiri Heejin dan menarik kerah jaketnya.
“n-ne??” Heejin gelagapan. Matanya melirik Sica untuk meminta pertolongan, sementara beberapa pelayan sudah berdatangan.
“JANGAN
ADA YANG BERGERAK! DAN KAU, KIM HEEJIN, AKU AKAN MEMASTIKAN KAU
BENAR-BENAR TERHUKUM KARENA INI!!!” aku mengguncang tubuh Heejin dengan
seluruh tenaga yang kumiliki. Perlahan Heejin mulai terisak,
sepertinya ia syok dengan kemarahanku. Atau.. dia syok karena segala
kejahatannya terbongkar?
“AKU TIDAK AKAN PERNAH MENGANGGAPMU
KELUARGAKU LAGI!! DAN KAU..” aku menunjuk Jessica. Gadis itu menaikkan
alisnya, seakan menunjukkan dia tidak bersalah.
“KAU GADIS GILA
YANG PENUH OBSESI! COCOK SEKALI!!” ku tendang meja tempat
cangkir-cangkir teh mereka berada hingga terbalik. Aku yakin pasti
sangat berantakan. Tapi aku tidak peduli, aku membawa kakiku ke tempat
yang seharusnya, Im Yoojin..
Sesampainya aku di kamar Yoojin, aku menghampiri dirinya dan memapahnya di lenganku. Dia masih tertidur pulas..
“Yoojin-a..
semua akan baik-baik saja..” kucium kening Yoojin lembut dan kemudian
berlari lagi menuju Porche-ku yang sudah terparkir di luar. Kubaringkan
Yoojin di bangku sebelah pengemudi setelah membuatnya turun hingga
nyaman untuk ditiduri, kemudian aku menyalakan mesin mobil dan
mengemudi entah kemana.
**
Sudah malam.. aku menggumam
sambil memandangi gelam malam dari jendela hotel yang berada di kawasan
terjauh dari Seoul. Aku merenggangkan dasiku dan memandangi Yoojin.
Dia.. masih tertidur. Padahal ini sudah hari kedua.. Aku membaringkan
diriku di sebelahnya, memandanginya. Bangunlah, Im Yoojin..
Kuangkat
tanganku, mendekati perutnya dan mengelusnya dengan hati-hati. Akankah
ada keajaiban supaya ternyata anakku masih di dalam sana? Aku
mengangkat lagi tanganku dan kali ini mengelus wajah Yoojin. Kulitnya
sangat pucat, tapi bibirnya masih berwarna merah seperti biasa. Sangat
cantik.. tapi aku yakin dia akan jauh lebih cantik kalau dia bangun
dengan rona pipinya lagi, kemudian tersenyum..
Kurasakan dadaku
bergemuruh, mataku basah, siap mengeluarkan air mata. Kutarik nafasku
yang terasa semakin pendek seiring isakanku keluar. Kenapa.. sulit
sekali hanya untuk bersama dengannya? Kenapa..?
“my beautiful.. I’m sorry..” ucapku tak lebih dari sekedar bisikan
**
Yoojin POV
“Yoojin menggugurkan kandungannya..”
“apa?”
“ini.. gila…”
“daripada kau sakit hati karena wanita itu, lebih baik kau menikahi Sica.”
“baiklah noona.. kalau itu yang seharusnya terjadi.”
Suara
pasrah namun dingin itu terngiang-ngiang di kepalaku. Di mataku
semuanya gelap, namun telingaku tajam mendengar apapun yang bisa
kudengar. Entahlah, apa aku pingsan, mati suri, atau malah buta.. aku
tidak mau tahu. Yang ekarang aku sadari adalah, Heechul hendak menikahi
Jessica. Hh. Apalagi yang lebih menyakiti daripada seorang laki-laki
yang meninggalkan seorang wanita karena wanita itu sudah tidak berguna
lagi? Hatiku sangat sakit… bahkan dalam keadaan tidak berkutik seperti
ini. Dadaku sangat berat, untuk bernafas sekalipun..
“oppa, kau sudah lihat gaun pengantinnya kan?”
“belum.”
“oppa, kau benar-benar akan membawaku ke Capri Island untuk liburan nanti?”
“tidak tahu.”
“oppa..”
Suara
berisik itu kini menghantuiku. Bisa kurasakan keringat mengalir di
wajahku.. aku harus bangun.. Bangun dan lari dari semua mimpi buruk
sialan ini. Aku mengerutkan alisku, kemudian mataku terbuka begitu saja.
Seketika sinar tajam dari jendela menusuk mataku. Aku
mengerjap-ngerjapkan mataku sebentar hingga aku terbiasa dengan sinar
itu, kemudian melihat ke sekelilingku. Kamar… tapi bukan kamarku yang
biasa aku lihat.. Lebih mirip kamar hotel? Aku bangun dari tempat tidur
dengan perlahan, tubuhku masih lemas tapi setidaknya aku bisa berjalan.
Yang pasti, aku harus pergi dari tempat ini walaupun aku tidak tahu
dimana aku sekarang.
Aku berjalan tertatih-tatih, membuka pintu
kemudian mencari jalan keluar tercepat. Seperti dugaanku, ini adalah
hotel. Aku turun melalu lift menuju ke Lobby dan pergi begitu saja.
Saat aku menapaki jalanan, aku akhirnya menyadari kalau aku berada di
kawasan Hongdae. Dan kini aku kembali terserang kebingungan. Kemana aku
akan pergi? Aku tidak punya uang ataupun handphone. Tidak mungkin aku
ke Jejudo karena membutuhkan banyak biaya kesana. Apalagi, keluarga
Heehul pasti akan mencariku kesana. Aku berpikir keras sambil berjalan
tanpa arah, sampai akhirnya bagai dibanting ke tembok, kepalaku
berhasil mendapatkan ide.
Rumah sakit tempat aku menanyakan
kebenaran dari kehamilanku juga berada di Hongdae. Mungkinkah aku bisa
meminta bantuan kepada dokter yang ramah sekali padaku itu? Mungkin
rumah sakit bisa memberikanku tempat berlindung sementara sampai eomma
atau namdongsaengku menjemputku. Iya, itu pilihan terbaik untuk
sekarang. Aku pun melangkahkan kakiku menuju jalan-jalan yang kuingat
menuju ke rumah sakit itu, walaupun aku masih merasa amat sangat pusing
karena lamanya waktuku tidur. Tapi, aku sampai juga ke rumah sakit
yang kumaksud. Kumasuki gedungnya yang bersih dengan bau higienisnya
yang khas, aku menanyakan salah satu suster tentang dokter Ki Bum.
“hmm.. aku rasa aku mengingatmu, nona… Yoojin?”
Aku
yang masih menunggu informasi dari suster itu menolehkan kepalaku ke
samping, ke asal suara. Sesaat aku tidak tahu dia siapa karena
pakaiannya yang terlihat santai namun keren tapi ketika kulihat wajahnya
benar-benar di balik kacamatanya, aku sadar itu dokter Ki Bum.
“eo! Ki Bum baksanim!” aku menundukkan kepalaku kemudian dengan ragu aku menatapnya.
“kau
mau periksa kandungan lagi? Bukankah aku bilang kau kembali di bulan
keenam saja?” ujarnya tetap dengan nadanya yang ceria. Aku sendiri
malah melamun mendengarnya, apa dia memang terbiasa mengingat tanggal
kehamilan semua pasiennya?
“ah bukan.. itu… bisakah kita bicara? Atau dokter masih praktek?”
“oh,
aku sudah selesai praktek.. kita keluar saja untuk bicara..” Dokter
Kibum menunjukkan jalan padaku ke taman rumah sakit yang terletak di
samping gedung. Dia mendudukkanku di bangku taman yang terlihat paling
sepi.
“jadi? Kau mau bicara apa?” dia bertanya lagi sambil menyilangkan kakinya, bersiap mendengarkanku.
“sebenarnya.. aku ingin tanya, apakah di rumah sakitmu selalu tersedia kamar kosong?”
“eo? Wae?”
Aku menggigit bibirku. Sulit sekali menjelaskannya karena hidupku terlalu rumit kalau dipikir-pikir.
“itu..
aku mau menumpang untuk dua hari saja, sampai keluargaku menjemput..
aku pasti membayarnya..” kutundukkan kepalaku, menghindari tatapan mata
Kibum yang seperti mengorek-ngorek sesuatu dariku.
“apa.. kau diusir dari rumah? Ada baiknya kau menceritakannya padaku, hmm?”
Aku menelan ludahku. Harus darimana ceritaku dimulai? Semuanya pasti memberikan keterkejutan.
“baiklah..
Kehamilanku ini.. sebenarnya aku belum menikah. Aku bekerja sebagai
sekretaris di sebuah perusahaan dan direktur perusahaan itu menyukaiku.
Aku juga.. menyukainya..” suaraku semakin kecil. Saat menceritakan
itu, aku benar-benar merasakan kesesakan di rongga dadaku.
“lalu?” Ki Bum menuntut ceritaku. Aku menghela nafas walaupun tidak menjamin rasa sakit itu hilang dari hatiku.
“aku
dan direktur itu.. ya kau tahulah. Kemudian aku ternyata hamil. Kakak
dari direktur itu tidak menyukaiku, dan akhirnya dia memaksaku untuk..
menggugurkan kandunganku..” kali ini hening. Aku menatap tanah sambil
menahan air mataku. Rasanya sulit untuk mengingat saat-saat mengerikan
itu lagi. Ki Bum tidak berani bicara lagi, dia malah melamun. Di
wajahnya tersirat rasa iba yang besar. Sekali-sekali dia melirik ke
arah perutku, tempat harusnya anakku berada. Aku menghela nafasku lagi
dan bersiap melanjutkan cerita.
“setelah pengguguran itu aku
pingsan beberapa hari. Namun, di beberapa hari itu, berbagai percakapan
masuk ke telingaku. Mulai dari kakak direktur itu yang berbohong pada
adiknya bahwa aku yang menggugurkan kehamilanku sendiri, lalu kemarahan
direktur itu, sampai persetujuan dari direktur untuk meninggalkanku
dan menikah dengan gadis yang sudah dipilihkan kakaknya. Kemudian aku
terbangun dan segera kabur dari tempat aku berada dan aku terkapar
disini..”
Seusai bercerita aku memandang Ki Bum. Dia sedang
menaikkan kedua alisnya, sorot matanya masih memancarkan sorot iba.
Bahunya yang semula tegak sempurna, kini lunglai karena lemas.
“dunia
ini kejam sekali untukmu, Yoojin-a..” ucapnya lembut dengan suara
dalamnya yang tidak mudah dilupakan. Aku tersenyum kecut padanya. Dalam
hati aku bertanya-tanya apakah dia membolehkanku bermalam di rumah
sakit atau malah mengusirku karena menurutnya aku gadis hina yang
membunuh anaknya sendiri?
Tapi Ki Bum tidak menjawab pertanyaan
hatiku. Dia malah mengeluarkan handphone-nya dari saku celana
trainingnya dan menekan nomor-nomor di touch screennya hingga akhirnya
ia menempelkan layar ke telinganya.
“eo suster, aku minta tolong,
bawakan makan siangku ke taman ya, aku menunggu. Terima kasih banyak.”
Kemudian Ki Bum memasukkan kembali telpon genggamnya di sakunya. Dia
kembali menatapku.
“Yoojin, kau tinggal saja di rumahku. Kau tidak
usah peduli dengan biaya atau yang lain-lainnya, rumahku jauh lebih
nyaman dibandingkan Rumah Sakit ini.”
“n-ne?” tinggal di
rumahnya? Apa dia gila? Kita kan tidak mengenal satu sama lain dengan
baik, etika yang benar dia tidak seharusnya membawa gadis asing ke
rumahnya kan?
“hei. Kau takut padaku? Kau tidak lihat aku yang
begini baik? Wajahku yang imut ini, kau tidak lihat? Bayangkan betapa
kau melewatkan kesempatan berharga untuk tinggal bersama dokter tampan
yang dipuja-puja banyak wanita. Kau tidak tahu betapa para wanita itu
berebutan untuk bisa lebih dekat denganku??” Ki Bum berlagak sok
ganteng yang dipaksakan, membuatnya terlihat sangat lucu karena matanya
seakan melompat keluar untuk meyakinkanku.
“tinggallah di
rumahku, aku jamin kau akan melupakan masa lalumu.” Dia menarik kedua
sudut bibirnya membentuk senyuman hingga matanya ikut tersenyum. Untuk
melupakan.. sepertinya tidak akan bisa. Tapi untuk sekarang, tawarannya
bisa kupercaya. Siapa yang menyangka aku bersembunyi di rumahnya?
“baiklah.. aku percaya kok.” Aku ikut tersenyum.
“dokter, ini makan siang anda.” Seorang suster menghampiri kami sambil membawa nampan di tangannya yang berisi mangkuk-mangkuk.
“ah,
terima kasih suster. Hei, kau memakai jepit baru ya, suster Yong? Itu
cocok sekali untukmu.” Sambil mengambil nampan itu Ki Bum memujinya.
Seketika suster muda itu tersipu malu. Senyumnya sumringah sekali. Aku
memonyongkan bibirku, sebegitu menakjubkankah pujian dari Ki Bum?
Suster itu membungkuk dengan gugup kemudian berlalu begitu saja.
“nah.
Aku yakin selama beberapa hari kau pingsan, pasti kau belum makan.
Nih, makanlah.” Ki Bum menyiapkan dengan baik mangkuk-mangkuk berisi
nasi, sup iga, dan potongan daging sapi di hadapanku. Ahh.. melihatnya
saja membuat nafsu makanku yang sempat tertunda naik lagi. Perutku
bahkan sangat sakit karena menahan lapar berhari-hari. Ki Bum
mematahkan sumpit kayu hingga terbelah sempurna, kemudian dia membuka
plastik yang menutupi gelas kaca berisi air putih. Well, dia pantas
mendapatkan nilai baik di bidang merawat orang lain. Dokter ini
mempunyai sikap yang sangat sopan dan baik.
“sebaiknya kau minum
dulu, ada kemungkinan kau dehidrasi.” Ki Bum menyodorkan gelas tadi.
Memang sih, tenggorokanku terasa kering dan bahkan jadi sakit juga.
Bagaimana dia tahu? Tapi dia kan memang dokter, jadi jangan bingung.
Aku meneguk air di gelas tadi seperempatnya saja karena setiap saat aku
menelan, rasanya seperti tenggorokanku di tarik keluar tapi Ki Bum
memaksaku menghabiskannya. Dia bilang aku kekurangan cairan. Dan
terpaksa kuhabiskan air yang membuatku hampir terlihat seperti
kesetanan saking sulitnya menahan sakit.
Ki Bum mengambil sumpit
tadi dan mencubit nasi, mencampurkannya dengan daging kemudian
membasahkannya dengan air sup hingga sedemikian rupa dan ia membawanya
ke depan mulutku.
“aa..” Ki Bum menyuruhku membuka mulut
sepertinya. Aku pun membuka mulutku dan dengan lembut ia memasukkan
makanan ke mulutku. Aku memandangnya bingung.
“hyaa Kim Baksa,
aku bisa makan sendiri..” aku menarik tanganku untuk meraih sumpit di
tangan Ki Bum tapi dia menjauhkannya dari jangkauanku.
“hyaa Im
Yoo Jin, aku mau menunjukkan pada orang-orang yang lewat betapa baiknya
aku sebagai dokter. Hehehe.” Seketika aku bungkam. Laki-laki ini..
bagaimana dia bisa mengingat namaku?
*
Ki Bum POV
Aku
merapikan jas dokterku di lokerku dan dengan pakaian trainingku aku
keluar dari ruanganku. Entah apa yang akan kulakukan untuk hari ini,
sepertinya aku sendiri lagi. Aku berjalan melewati lorong-lorong yang
membawaku keluar dari gedung rumah sakit, beberapa kali tersenyum pada
suster-suster yang lewat sambil membungkuk padaku. Hingga aku sampai di
Lobby, aku melihat seseorang. Orang yang tidak asing di mataku, tapi
juga tidak memiliki hubungan apa-apa denganku. Gadis itu.. Im Yoojin..
gadis cantik yang pernah memeriksakan kehamilannya padaku, tepat 3
minggu yang lalu. Jujur saja, dia… adalah cinta pada pandangan
pertamaku. Mungkin terdengar konyol, tapi segala pesona kecantikannya
menarik hatiku. Dia hanya beberapa menit bertemu denganku, tapi wajahnya
terus membekas hinga berhari-hari.
Aku tahu aku tidak seharusnya
menginginkan isteri orang lain, aku putuskan untuk memendam perasaan
ini dan menunggu hingga Im Yoojin bisa datang kembali ke ruanganku
untuk memeriksakan kehamilannya. Aku bahkan menghafal saat-saat dia
harusnya ke dokter, aku bertanya pada suster tentang datanya, dan
hal-hal konyol lainnya yang bisa dilakukan seorang lelaki saat
kasmaran. Well, banyak sih wanita yang menginginkanku, tapi seorang
introvert sepertiku akan membuat para wanita cepat bosan. Aku juga
lebih suka diam di rumah dan membaca buku setelah jem praktekku usai
daripada harus repot-repot memikirkan kencan buta layaknya laki-laki
lain di umurku.
Dan keberuntungan apa yang membuat Yoojin datang
lagi ke depanku, bukan di waktu yang seharusnya dia datang, dan bahkan
dia mencariku. Walaupun Yoojin yang kulihat sekarang tampak amat sangat
kacau, berbeda dengannya waktu pertama bertemu dulu. Rambut hitam
bergelombangnya terlihat acak-acakan, wajahnya yang biasanya kaku kini
seperti wajah anak hilang. Bajunya juga berantakan. Apa.. sesuatu
terjadi padanya?
Aku membawanya ke taman rumah sakit untuk bicara
dengannya. Aku berusaha membuatnya tertawa sebisa mungkin, aku ingin
menghilangkan raut menyedihkan di wajahnya itu. Aku ingin sekali
menghapus kesulitannya. Tapi ketika bibir mungilnya yang tampak lebih
pucat itu bicara, menceritakan masa lalunya yang mengerikan lewat
kata-kata sederhana, hatiku tertohok. Ternyata kehamilannya, bukan
kehamilan yang diinginkan oleh orang lain. Padahal aku begitu bersuka
cita saat aku memberitahukan kehamilannya. Kakak iparnya menggugurkan
kandungannya, membuatnya ditinggalkan oleh sang direktur. Aku terasa
teriris mendengar itu semua. Gadis malang ini… aku ingin menangis
setiap saat aku melihat dirinya yang berantakan. Tapi aku harus
menghiburnya, membuatnya tertawa lagi.. Yoojin.. bisakah kau tidak
jauh-jauh lagi dariku di kemudian hari? Tetap berada di sampingku dan
menjadi nafasku?
**
Heechul POV
Aku turun dari
kamarku, meninggalkan Yoojin yang terbaring di tempat tidur. Aku hendak
makan sarapan yang tersedia di lantai satu hotel bintang lima itu.
Kuambil banyak makanan yang enak dan membawanya di atas nampan, aku
akan menaruhnya di kamar kalau-kalau Yoojin bangun karena kelaparan.
Dengan secepat mungkin aku kembali lagi ke lantai tempat kamarku berada
sambil membawa nampan tadi. Mungkin saja kan, Yoojin bangun saat aku
pergi? Kubuka pintu kamar dengan kartu kunci otomatis kemudian
melanggang masuk. Aku berjalan lagi mendekati tempat tidur tapi….
Tempat tidur itu kosong. Mataku tidak salah, matahari menyinari bagian
tempat tidur yang kosong itu dan menunjukkan bahwa selimut itu sudah
dibuka, tanda Yoojin berdiri.
Seketika nampan di tanganku terjatuh
dan bunyi piring-piring pecah bergema. Dengan panik aku memeriksa ke
seluruh bagian kamar, bahkan hingga ke bawah tempat tidur. Aku.. tidak
menemukannya. Sial. kemana Yoojin? Tubuhku lemas menyadari dia pergi
dariku. Yoojin bahkan tidak membawa uang. Kemana dia pergi…? Kakiku
ambruk ke lantai. Aku bahkan tidak peduli ketika pecahan piring menusuk
lututku. Aku berusaha menelpon Jung Soo hyung dan polisi, aku harus
menemukannya. Aku tidaka akan memaafkan dirku sendiri kalau terjadi
sesuatu padanya.
Kemudian aku berlari dengan membabi buta keluar
dari hotel, melesat ke jalan-jalan, berusaha menemukan gadis itu. Sesak
memenuhi seluruh tubuh sementara orang-orang menatapku aneh. Aku tidak
peduli. Walaupun kakiku sakit karena tertusuk beling, walaupun aku
bahkan terlalu lemas sampai berjalan pun sulit, aku menyeret kakiku
untuk mencarinya. Tidak bisa, tidak bisa kalau tanpa Yoojin..
**
Yoojin POV
Sesudah
aku selesai makan, Ki Bum membawaku ke rumahnya dengan Lamborghini
hitamnya. Kami melewati kawasan Hongdae dengan sangat cepat, menuju ke
kawasan lain. Tak lama terlihatlah perumahan-perumahan elit di
sisi-sisi jalan. Maksudku, rumah-rumah yang terlihat benar-benar besar!
Tapi anehnya, memasuki perumahan ini membuatku merasa seperti pernah
memasukinya entah kapan. Ah, otakku buntu untuk sekarang.
Akhirnya
Lamborghini itu berhenti di depan pagar tinggi yang sangat megah.
Melihatnya membuat bibirku membentuk huruf ‘o’ tanpa kusadari. Tapi
lagi-lagi aku seperti merasa pernah melihatnya dimana.. aku memiringkan
kepalaku memandang rumah yang terletak di seberang rumah Ki Bum, dan
akhirnya aku sadar kenapa aku terus merasa pernah masuk ke tempat elit
ini. Rumah di seberang.. adalah rumah Heechul.
Jantungku berdegup
lebih kencang ketika aku benar-benar yakin bahwa itu rumahnya. Pagar
yang tak kalah tinggi, rumah yang cantik namun menggambarkan
keangkuhan. Jalan setapak panjang yang menghubungkan pagar dengan
rumah, para pengawal yang selalu berjaga di depan.. benar- itu rumah
Heechul. Tempat seharusnya Heejin ada di dalamnya. Heechul dan Sica
juga. Keringat dingin membasahi tengkuk-ku. Kupandang Ki Bum yang sudah
keuar dari mobil dengan takut-takut. Ternyata dia memarkirkan mobilnya
di jalan. Sial, kemungkinanku untuk terkspos keluarga Kim menjadi
lebih besar.
“wae, Yoojin? Tidak keluar?” Ki Bum meneriakkan
namaku dari luar. Aku menggigit bibirku, berharap tidak ada pengawal
atau pelayan yang mendengar namaku dipanggil.
“n-ne, aku keluar!” aku pun membuka pintu mobil dan menghampiri Ki Bum dengan kecepatan penuh.
“kau kenapa, Yoojin? Wajahmu pucat lagi..”
“ah ani! Ani..” aku tersenyum, meyakinkan Ki Bum kalau aku tidak apa-apa.
“kalau
begitu, ayo kita masuk.” Ki Bum menekan satu tombol yang tersembunyi
di pagarnya dan membuat pintu itu terbuka sendiri. Kemudian dia
menyuruhku mengikutinya untuk mengelilingi rumahnya agar aku mengenal
tempat tinggalku sementara.
“ini kamarmu. Sebenarnya ini bekas
kamar adik perempuanku, tapi karena dia sedang kuliah di luar, kau bisa
memakainya. Beberapa pakaiannya juga masih ada, kau boleh kok
memakainya.” Ki Bum memberikan senyuman khasnya ketika ia menunjukkan
walk-in closet milik adiknya. Aku ikut tersenyum sambil berusaha
menunjukkan rasa terima kasih melalui mataku.
“bagaimana dengan orang tuamu? Kau tinggal sendirian?”
“aku
sudah tidak memiliki orang tua. Mereka meninggal ketika aku berumur
15 tahun. Aku dirawat oleh kakekku yang dulunya juga seorang dokter,
tapi kini ia telah meninggal. Jadi aku dan adikku tinggal sendirian di
rumah ini hingga kami sebesar sekarang.”
“tapi rumahmu benar-benar
hening.. kau tidak punya pelayan? Mereka bisa menjadi teman yang baik
kan?” aku bertanya lagi tapi Ki Bum menggeleng.
“aku suka
sendirian. Pelayan disini akan datang untuk membersihkan seminggu dua
kali, itu juga saat aku bekerja.” Aku mengangguk mengerti. Dia orang
yang jauh berbeda dengan keluarga Kim. Mereka memiliki pelayan yang
berlimpah, rumahnya selalu ramai..
“hmm.. yang di sebelah adalah
kamarku. Kalau ada apa-apa kau bisa datang padaku. Tidak usah mengetuk,
langsung masuk saja.” Ki Bum menunjuk kamar yang berada tepat di
sebelah kamarku.
“eeh? Tapi itu kan wilayah privasi, mana mungkin aku masuk sembarangan?”
“agar
aku tidak merasa seperti kakak yang kesepian ditinggal oleh adiknya.
Kau tahu, adikku selalu masuk sembarangan ke kamarku, bahkan hilir
mudik disana untuk mengajakku main. Makanya, aku merindukan saat-saat
itu..” Ki Bum kembali tersenyum, tapi kali ini berbeda. Sorot matanya
memancarkan kesepian yang amat sangat. Sepertinya aku mengerti. Di
rumah sebesar ini, dia hanya sendirian. Apa yang bisa dilakukan
seseorang saat sendiri? Paling melamun, membaca buku, menonton tv, atau
hal-hal membosankan lainnya kan?
“nah ruangan besar di seberang
kamar kita adalah perpustakaanku.” Ki Bum membuka pintu kayu berat dari
ruangan itu dan lautan buku tampak di depanku. Perpustakaan itu
lumayan besar jika dikatakan sebagai perpustakaan pribadi, tapi
desainnya sangat cantik. Terdapat satu meja panjang dengan tiga bangku
yang mewah seperti kursi kerajaan di tengahnya, sepertinya tempat
membaca Ki Bum. Mataku berbinarbinar melihat perpustakaan itu, keren
sekali!
“kau suka buku?” Ki Bum bertanya dan aku mengangguk segera. Aku sangat menyukai buku sejak aku masih kecil.
“wah, kita bisa membaca bersama dong.” Ki Bum tertawa sumringah.
“Kim baksa… gomabseubnida..” aku membungkukkan kepalaku padanya dan Ki Bum kembali tertawa.
“haha tidak apa-apa, bukan masalah besar bagiku. Aku harap nyaman di rumahku ini.. dan satu lagi.”
“ne?”
“panggil
aku Ki Bum saja, tidak usah terlalu formal. Atau oppa? Hhehe.” Kibum
nyengir sementara aku membalasnya dengan senyumku yang paling manis.
*
Dari
tempatku duduk, aku memandangi Ki Bum yang kini tengah berkutat dengan
buku tebal kedokteran, dengan kaca mata tersampir di hidungnya yang
mancung. Well, baru kusadari kalau dia imut juga. Tapi aku segera
mengalihkan pandanganku dan kembali membaca bukuku. Ya, aku dan Ki Bum
sekarang berada di perpustakaannya.
Ki Bum begitu serius menekuni
buku-bukunya, sangat berbeda dengan laki-laki yang pernah kukenal. Aku
menunduk sedih. Biar bagaimanapun, aku merindukan sosoknya. Heechul.
Hanya mengucapkan namanya saja sudah ingin membuatku menangis. Wajahnya
yang selalu ceria terus membayangiku. Apa yang sedang dilakukannya
sekarang? Mencariku? Atau bahkan.. berusaha melupakanku dan tengah
mempersiapkan jas pengantinnya? Aku memejamkan mataku erat-erat, tak
ingin membayangkan. Sudah sekuat mungkin aku berusaha membaca dengan
fokus tapi tak lama pikiranku kembali melayang-layang. Kukepalkan
tanganku menyadari air mataku akan keluar, aku tak ingin membuat Ki Bum
khawatir. Maka aku hanya membaca dan membaca..
Ki Bum POV
Aku
mengerang sambil menguap, kemudian melepaskan kacamataku dan memandang
orang baru di rumahku. Yoojin sedang menunduk membaca buku, tapi bisa
kulihat kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Sepertinya dia
mengantuk. Aku terkekeh melihatnya tapi aku berdiri dan mendekatinya.
Kusentuh bahunya dan menggoyangkannya pelan. Seperti tersengat listrik
gadis itu menegakkan lagi tubuhnya dan mendapati aku yang berada di
sampingnya.
“sudah mengantuk ya? Lebih baik kau tidur daripada
memaksakan dirimu menemaniku..” ucapanku erhenti ketika melihat dia
menyeka air matanya. Dia.. dia habis menangis?
“tidak apa, buku ini seru.” Yoojin menjawab lemah. Aku meringis melihatnya menyembunyikan tangisannya.
“aku
akan membacakannya untukmu, tapi sekarang kau harus tidur, Yoojin.
Ayo.” Tanpa memperdulikan sikapnya yang menolakku, aku meraih bahunya
dengan sebelah tanganku dan kakinya dengan tanganku yang satu lagi.
Kuangkat tubuhnya yang mungil dan ringan kemudian aku berjalan menuju
kamarnya. Di pelukanku, aku bisa merasakan air matany membasahi kausku.
Aku benar-benar sedih melihatnya seperti ini. Bagaimana laki-laki itu
tega membuat gadis serapuh ini menangis? Kenapa tuhan tega membuat
manusianya sangat kesulitan?
Kuletakkan tubuh Yoojin di tempat
tidurnya dan mulai menyelimutinya dengan selimut yang tebal.
Kutepuk-tepuk sisi selimut dengan hati-hati, memastikan tidak ada udara
dingin yang bisa masuk. Yoojin di balik selimut berusaha menyamankan
kepalanya di atas bantal. Dia membuka matanya yang masih mengeluarkan
air mata, tapi dia tidak melihatku. Dia melamun.
Aku hanya bisa
menghela nafas sambil duduk di kursi yang terletak di sebelah tempat
tidurnya, kemudian aku mulai bicara, menceritakan kelanjutan dari buku
yang dia baca tadi. Sekali-sekali aku meliriknya, melihatnya apakah
sudah tertidur atau belum. Tapi tetap kulanjutkan cerita dari buku
sebanyak 315 halaman itu.
“sang laki-laki tersenyum saat dia
menemukan gadisnya. Rasanya hidup begitu lengkap dan beban di hatinya
lepas sudah. Laki-laki itu memandang gadisnya dengan penuh cinta
walaupun gadisnya tidak mengenal dirinya. Tamat..” aku menutup buku dan
menggembungkan pipiku, berusaha merilekskan bibirku yang kelelahan
bicara. Kulihat Yoojin sudah tidur, terdengar dengkuran kecilnya yang
manis. Aku mengusap pipi lembutnya dengan jemariku, menyadari betapa
berharganya dia bagiku sekarang. Aku tersenyum kemudian menyibakkan
rambut dari wajahnya, kukecup keningnya.
“jaljayo.. Im Yoojin..” kuucapkan nama indah yang kuafalkan terus menerus itu.
**
Yoojin POV
“Hei,
Heechul.” Aku memanggil Heechul yang berjalan di sampingku. Jalanan
hanya disinari oleh lampu jalanan tapi aku berusaha keras melihat wajah
tampannya.
“apa?” dia menoleh padaku dengan raut sok ganteng khasnya.
“terima
kasih ya, untuk hari ini. Aku tidak percaya kau bisa membantuku dan
eomma seperti tadi. Walaupun caranya agak tidak masuk akal.” aku
menatap Heechul sambil berusaha menunjukkan ketulusan di mataku. Entah
kenapa setelah melihatku, Heechul jadi senyum-senyum bahagia. Dia
bahkan mengatkan lengannya di lenganku dan menempel-nempel dengan
manja.
“ow, tentu saja. Ibu mertua pasti akan bangga
melihat menantunya yang pintar mencari uang ini. Hehe” aku meringis
mendengarnya. Segera kutepis tangannya dariku.
“apanya
yang menantu.” Desisku tapi Heechul malah cekikikan. Aku tertawa
melihat tingkahnya dan akhirnya pasrah saja ketika Heechul kembali
menempel di lenganku. Tapi gara-gara ini, ide gila terlintas di otakku.
Segera kuhentikan langkahku, membuat kaitan tangan Heechul lepas.
Heechul ikut berhenti dan menatapku bingung.
“kenapa
berhenti? Kita kan harus pulang.” Dia bertanya dengan wajah polos. Aku
tidak menjawab dan hanya memandangi dirinya lembut. Bersiap melancarkan
aksiku, aku menarik tubuhnya dan mengecup pipinya.
Cup!
Sekilas
bibirku menyentuh kulitnya yang halus. Hal itu membuatnya terpana dan
seperti orang bodoh, dia kelimpungan. Aku nyengir setan kemudian
langsung kabur dari hadapannya karena malu.
“omo.
Yoojin-a..” aku mendengar dia memanggil namaku. Aku berhenti sebentar
sambil menolehkan kepalaku padanya kemudian menjerit, “sebagai tanda
terima kasih!”
Dan aku berlari lagi pulang ke rumah.
“Hya YOOJIN!! Im YOOJIN KAU MESUM!!” dia berteriak dari kejauhan…
Mataku seketika membelalak. Apa.. yang barusan kumimpikan? Apa..?
Aku
duduk dari posisi tiduranku dan memandang sekeliling. Ini.. masih
kamar di rumah Ki Bum.. aku menghembuskan nafaku yang terasa amat
sangat berat. Kutekan pelipisku dengan telunjuk. Aku jadi merasa pening
karena mimpi itu.. Lagi-lagi dadaku sesak. Rasanya nyeri sekali.. aku
membutuhkan oksigen…, oksigenku…
“eo Yoojin, sudah bangun?”
Dari balik pintu kamar tampak Ki Bum dengan senyum khasnya yang mempesona.
“ah.., ne..” aku menjawabnya pelan.
“aku sedang membuat sarapan, mau ikut?” dia menawarkanku. Aku memandangnya lagi.
“ya,
tentu saja.” Aku pun berjalan mengikutinya menuju dapur. Disana memang
sudah tersedia bahan-bahan dan peralatan masak yang lengkap, tapi
sepertinya Ki Bum belum mulai memasak.
“Ki Bum, aku akan membantumu membuat sarapan.” Ujarku pasti, membuat Ki Bum tertawa.
“benarkah? Tapi kau harus menajamin masakanmu enak.”
“tentu saja.” Ya, tentu saja. Kim Heechul menyukai sarapan buatanku.
“Ki Bum?”
“ne?”
“dimana kau letakkan sereal?”
“hmm..
di atas sana, di lemari kedua.” Ki Bum menunjuk kitchen set yang
paling tinggi. Aku mendecak. Lagi-lagi tinggiku yang tidak seberapa
menghalangiku untuk berbuat sesuatu. Aku memandangi dapur sekitarku,
mencari kursi yang bisa dinaiki agar bisa meraihnya. Tapi dapur ini
tidak memiliki kursi.
“hei, naiklah.” Aku tersentak ketika suara
lantang Ki Bum tersengar dari bawah. Eh? Dari bawah? Aku menunduk dan
mendapati Ki Bum sedang berlutut memunggungiku, menyuruhku naik ke
pundaknya.
“ta-tapi..”
“ayo naik.” Dengan terpaksa aku pun naik ke punggungnya. Aku harap aku tidak bertamabah berat hari ini karena kebanyakan tidur.
“nah,
serealnya ada di atas lemari. Kau bisa lihat kan?” susah payah Ki Bum
memberitahuku karena nafasnya tersengal-sengal. Jadi aku benar-benar
naik berat badan?? -_- dengan mudah kuraih kotak sereal itu karena
sekarang tinggiku bertambah dua kali lipat.
“sudah, Ki Bum..” laporku dan dia pun menurunkan aku dari pundaknya.
“aku
keren kan? Hehe..” Ki Bum terkekeh seakan bangga dengan dirinya
sendiri. Aku hanya mendengus geli. Ki Bum benar-benar baik.. Bantuannya
tadi seakan memberitahuku bahwa aku tidak pendek untuknya. Sambil
merapikan sereal yang tadi hatiku merasakan bunga-bunga yang aneh.
Membuatku bisa gembira seharian.
**
“aa..” Ki Bum lagi-lagi menawarkan sesendok dari omelettnya. Aku meringis padanya.
“aku kan bisa makan sendiri..”
“sekali saja..” akhirnya aku membuka mulutku dengan pasrah. Aigoo anak ini, apa dia punya father syndrome?
“nah selesai. Hehehehe.” Kibum menunjukkan piring kosongnya. Jangan-jangan tadi aku cuma dikasih makanan sisanya? Dasar.
“sini,
biar kucuci.” Aku merebut piring itu dari tangan Kibum dan berlari ke
tempat cuci piring sebelum dia melarangku melakukan pekerjaan rumah.
Habis, setiap aku mau membersihkan rumahnya, Kibum melarangku. Padahal
kan itu sebagai tanda terima kasih.
Aku mencuci piring dengan
teliti, membersihkan senti demi senti piring yang sepertinya berharga
jutaan itu. Selesai, aku mengeringkannya. Saat sedang mengelap piring
dengan kain bersih, aku merasakan kehadiran Kibum di belakangku. Aku
bingung, sedang apa dia di belakangku? Mau mengagetkanku?
“hya,
kau sedang apa Ki Bum?” aku menaruh piring terakhir ke tempatnya dan
membalikkan tubuhku, tapi belum sempat aku bernafas, Ki Bum
memenjarakanku dengan tangannya. Seketika aku memandangnya aneh seiring
jarak di antara kami terus berkurang.
“Ki-Kibumssi! Kau sedang apa?!” kedua tanganku terhimpit di dada Ki Bum, membuatku tidak bisa bergerak lebih.
“aku
mencintaimu, Yoojin..” dia berbisik di dekat bibirku, menyebarkan
nafasnya yang harum mint. Kurasakan jantungku melompat-lompat tidak
menentu. Tangan Kibum yang kuat meraih pinggangku dan menaikanku di
atas counter dapur. Dua sudut bibirnya naik, membentuk senyuman yang
lembut. Ini.. ini salah..
“Kibum…”
“kau cinta pada pandangan
pertamaku, kau tahu?” sesaat aku diam untuk mencerna perkataannya.
Tapi tangannya mendorong punggungku agar menempel dengan tubuhnya. Aku
memekik kecil. Tapi aku tak sempat bicara lebih karena bibir Kibum
menempel sempurna di bibirku. Aku diam tidak berkutik sementara Kibum
terus menarik-narik sudut bibirku, menghisap bibir bawahku sedemikian
rupa. Semakin lama, tubuh Kibum semakin merangsek mendekatiku, bahkan
sebelah kakinya naik ke atas counter yang kududuki. Kurasa nafsunya
sudah berada di puncak. Aku bear-benar kaku, antara masih syok dengan
perlakuannya dengan menyadari bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa
lagi..
Tapi tiba-tiba perutku sakit. Tanganku reflex menghentak
Kibum, membuatnya melepaskan kaitan bibirnya dariku. Aku.. ingin
muntah!
“Yoojin..? wae?” Kibum memandangku khawatir. Sepertinya
setan sudah lepas darinya. Kupegang tangannya erat sementara tanganku
yang satu lagi membungkam mulutku.
“aku mau muntah!” jeritku
akhirnya dan dengan panik, Ki Bum membawaku ke toilet. Kumuntahkan
segala isi perutku di WC hingga perutku terasa kosong. Ketika aku sudah
mulai tenang seusai muntah, aku menyadari sesuatu. Ini.. rasa yang
sama seperti aku muntah saat aku hamil. Tidak mungkin…
“Kibum?”
“hmm?” Kibum yang sedang merawatku menolehkan kepalanya.
“ada apa?”
“biakah kau periksakan kehamilanku lagi?”
“ne?? tapi kau kan..”
“aku mohon, Kibum.. Cepatlah!”
*
Flashback
Heechul POV
Jika aku membuatnya hamil lagi sekarang..
Aku
menelan ludahku. Mungkin ini cara terbaik. Kupandang Yoojin yang masih
tertidur di tempat tidur hotel. Wajahnya sangat damai, berbeda jauh
denganku yang merasakan berbagai siksaan pikiran yang berkecamuk. Kalau
aku berhasil membuatnya hamil lagi.. aku akan langsung mengabarkan ini
pada orang tuaku, dan membuat mereka menikahkan aku dan Yoojin
secepatnya. Tidak akan kubiarkan Heejin berani menyentuh Yoojin lagi.
Aku akan hidup bahagia sebagai keluarga kecil bersama Yoojin. Aku
mengangguk. Membuatnya hamil lagi adalah cara yang terbaik.
Aku
melirik Yoojin. Kutelan ludahku sambil mulai membuka satu demi satu
pakaian yang melekat di tubuhku. Selesai, aku kini membuka pakaian
Yoojin hingga ia juga telanjang sepertiku. Aku merengkuh wajah mungilnya
dan memandanginya sejenak tapi ketika nafsu sudah menguasaiku, aku
menarik kepalanya mendekat denganku dan melumat bibirnya. Walaupun
Yoojin tidak membalas ciumanku, aku tetap bernafsu menciuminya..
==SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP==
Aku
melenguh ketika kurasa cairanku sudah diserap oleh miss v-nya. Tubuhku
ambruk di atas tubuh Yoojin yang masih tergolek pingsan, kemudian
menutup mataku, berusaha tidur karena kelelahan yang datang.
**
Flashback off
Yoojin POV
Aku
terus mengamati gerak-gerik Kibum yang sedang memeriksa perutku dengan
peralatan kedokterannya yang ternyata juga tersedia di rumahnya.
Sekarang aku sangat gugup, tidak mungkin aku hamil lagi kan??
“Yoojin?”
“ne?”
“kau hamil..”
Seakan dunia baru saja runtuh. Kupandangi Kibum lekat-lekat.
“kau serius?!”
“ya.”
**
Ki Bum POV
Seharian
aku mondar-mandir di lorong-lorong rumahku, merasakan kekhawatiran
yang amat sangat. Yoojin hamil lagi.. dan tentu saja itu bukan anakku.
Apa yang harus kulakukan? Apakah Yoojin akan pergi dariku lagi? Aku
memandangnya yang sedang duduk di kursi meja makan. Dia tampak tidak
bernafsu dengan makanannya sama sekali walaupun aku memasakan makanan
yang dia sukai. Gadis itu tampak sedang berpikir keras, keningnya
selalu berkerut setiap aku melihatnya. Aku ingin sekali merangkulnya
dan memeluknya erat-erat.. tapi ciuman yang tadi aku memberikannya
membuat dia jadi agak rishi denganku. Aish! Kibum bodoh! Padahal aku
mungkin saja membuatnya jatuh cinta padaku.. aigooya..
“Kibum..
aku mau tidur..” Yoojin beringsut dari tempat duduknya dan berjalan
melewatiku. Tidak. Aku harus bicara sesuatu padanya. Aku pun menarik
pergelangan tangannya hingga Yoojin menghentikan langkahku.
“Yoojin..”
“mwo?”
“kumohon
jangan pergi dariku..” kurasakan tubuhnya mengejang saat mendengar
ucapanku. Yoojin menengok dan memandangku. Melihatnya begitu terkejut
bahkan membuat bibirku kaku untuk memberikan senyum andalanku.
“aku..
begitu menyukaimu… maafkan aku, tapi aku mencintaimu, Im Yoojin..
jangan pergi dari sisiku.. Temani aku..” aku membiarkan bicaraku
seperti seseorang yang memelas. Memang aku benci jika harus sendirian
lagi, kesepian, terpuruk dalam cinta yang tertahan. Aku benci itu.
Yoojin tidak berkutik. Dia hanya menghentakkan tangannya hingga aku
melepaskan peganganku dan dia pergi begitu saja. Aku memandangi
kepergiannya dengan sedih. Apakah ini.. rasanya jika dia meninggalkanku
nanti? Bertemu sang direktur yang entah siapa itu dan hidup bahagia?
Andaikan aku bertemunya beberapa tahun lebih cepat.. membahagiakannya,
membuatnya terus tertawa. Tidak akan membuatnya menangis..
*
-beberapa hari kemudian-
Heechul POV
Aku
kembali ke rumahku. Rumah yang tampak sangat menyebalkan bagiku. Aku
harap aku tidak bertemu dengan Heejin atau Sica. Mereka benar-benar
sakit jiwa, kau tau? Aku melenggang begitu saja melewati para pelayan
dan masuk ke kamarku yang gelap gulita. Kududuki kursi kerjaku tanpa
merasa perlu menyalakan cahaya apapun. Aku mengambil telpon genggamku
dan menghubungi nomor Jung Soo.
“hyung, bagaimana? Kau sudah menemukannya?”
“belum,
Heechul.” Suara di seberang bicara dengan nada putus asa. Aku
berbasa-basi sedikit dan memutuskan hubungan. Kuletakkan badanku di
kursi kerja empukku yang jadi terasa amat sangat keras untukku. Aku
mengerutkan keningku sambil memijat pelipisku dengan kedua tangan. Aku
terlalu lelah, terlalu putus asa. Berbagai pikiran negatif sudah
menyakitiku. Apa lagi yang harus kulakukan untuk gadis itu? Kenapa dia
meninggalkanku? Kenapa.. begitu sulit hanya untuk bersamanya?
Aku
berdiri menuju jendelaku dan menyingkap sedikit gordennya. Kusandarkan
keningku di kacanya yang dingin, menatap langit biru cerah yang seperti
awan hitam di mataku. Kuletakkan telapak tangan di permukaan jendela
dan memandangi sekitar rumahku tanpa ekspresi apapun. Semua yang indah
terlihat jelek, semua yang manis terasa hambar. Tanpa jiwaku, aku tidak
hidup.. Yak Im Yoojin.. dimana kau? Apa kau sedang mengusiliku? Kau
sedang berusaha membuatku jadi bahan lelucon?! Apa aku yang begini
menyedihkan itu lucu??
Nanar kupandangi semuanya. Sampai.. aku
melihat sesuatu. Di seberang rumahku, di balkon rumah tetanggaku.
Siluet tubuhnya, rambut hitam bergelombangnya yang cantik diterpa
matahari. Jantungku seketika memompa lebih cepat saat menyadari bahwa
itu gadis yang kukenal. Kusipitkan mataku, berusaha melihat lebih
jelas. Itu.. Yoojin?!
Tanpa banyak berpikir lagi aku pergi dari
kamarku, berlari dengan kacau karena terburu-buru. Aku tak mempedulikan
tubuhku yang sakit saat menabrak meja-meja atau bahkan barang pecah
belah. Aku tidak peduli. Jika gadis itu menghilang lagi, aku tidak akan
mengampuni diriku sendiri. Karena memang gadis itu yang membawa
seluruh hatiku..
Kakiku berhenti di depan pekarangan rumah yang
cantik. Aku menggedor-gedor pintu rumahnya. Keringatku membasahi
seluruh wajah hingga menyakiti mataku. Nafasku terengah-engah melebihi
orang yang dicekik, dan aku terlihat seperti orang kesetanan, menggedor
pintu besar di hadapanku. Tak lama, pintu itu terbuka, menunjukkan
seorang laki-laki muda dengan kacamata. Seingatku, tetanggaku ini
adalah seorang dokter.
“eo, tuan Kim. Ada apa?” rautnya
menunjukkan dia terkejut denganku. Yah, siapa yang tidak terkejut
dengan kehadiran orang yang tampak berantakan sepertiku sekarang?
“aku..
mana… hosh.. hosh.. mana.. Im Yoojin…” sekuat tenaga kuucapkan kata
demi kata, berharap laki-laki itu mengerti. Kakiku yang lemas membuatku
jatuh ke lantai. Tanganku mati-matian menahan tubuhku agar tidak
benar-benar jatuh sepenuhnya.
“Yoo…jin?” Kibum mengulangi nama itu. Dia terlihat panik dan gelagapan melihatku yang seperti zombie.
“cepat
kemarikan Yoojin!!!” akhirnya aku berteriak dengan sisa kekuatan yang
kumiliki. Memandang putus asa ke dalam rumah Ki Bum.
“IM YOOJIN!!!!!” jeritku. Mungkin habis ini aku mati atau apa, tapi aku benar-benar menginginkan gadis itu sekarang.
“aku tidak bisa memberikannya padamu.” Dengan dingin laki-laki di hadapanku bicara, sekaligus menyulut emosiku.
“dia
menolak untuk bertemu denganmu. Pergilah.” Aku yang masih berlutut di
tanah tidak berdaya ketika Ki Bum menutup pintu rumahnya. Sial. apa
yang laki-laki itu lakukan?!
“BUKA!!! BUKA KAU BRENGSEK!!!! BERIKAN YOOJINKU!!!!!” aku menyeret kakiku dan kembali menggedor-gedor pintu itu.
Dari sela-sela pintu bisa kudengar suara laki-laki sinting itu.
“Yoojin
bilang, dia merelakanmu menikah dengan perempuan itu. Dia juga
mengatakan dia tidak bahagia bersamamu. Aku memberitahukan yang
sesungguhnya padamu. Jadi jangan mencarinya lagi dan berusalah bahagia
dengan apa yang kau miliki.”
“SIAL!! BUKA PINTUNYA KUBILANG!!!!”
*
Aku
berlindung di balik kakiku dan meringkuk mencari kehangatan dari dalam
tubuh. Yang kupakai hanya kaus tipis dan aku tetap memaksa diriku
untuk menunggu Yoojin hingga keluar dari rumah terkutuk ini. Aku
bersandar di depan pintunya, berusaha mendengar setiap suara yang
menandakan keberadaan gadis itu. Walaupun hasilnya hanya khayalanku
semata. Aku menunduk di atas tanganku yang terlipat. Kubiarkan tanganku
mati rasa. Bahkan hidungku sempat mengeluarkan darah. Entah kenapa
seakan aku memang tidak dibolehkan hidup bersama Yoojin.. cuaca yang
kini menghukumku. Aku tidak ingat lagi ini malam ke berapa aku duduk
seperti pengemis di depan rumahnya. Yang aku ingin tahu adalah gadis itu
menyampaikan sendiri padaku apa yang diucapkan Kibum padaku. Aku yakin
Yoojin tidak akan mengatakan hal kejam padaku.. aku yakin..
“Heechul? Heechul!! Ya Tuhan!!!” bukan suara Yoojin..
Aku membuka mataku. Jung Soo hyung..
“kau sudah sinting rupanya!! Sudah berapalama kau disini?!! Hidungmu sudah berdarah!! Bodoh!! Cepat bangun, bodoh!!!”
Aku
tertawa. “ngg. Aku memang bodoh hyung.” Desisku. Jung Soo menghela
nafasnya frustasi. Dia membawaku di tangannya menjauhi rumah Kibum.
Tidak kulepaskan mataku dari rumah itu sedetikpun, melihatnya dari
balik bahu Jung Soo yang menggendongku. Aku tersenyum kecut.
Baik. Kalau itu maunya. Aku akan menikahi Sica. Kalau itu memang membuatnya bahagia.
“hyung..”
“mwo?”
“aku akan menikah dengan Sica.”
**
“oppa!
Aku sudah tahu kau memang mencintaiku. Iya kan?” kupingku terasa sakit
mendengar suara menyebalkan itu. Aku menghela nafasku kemudian
mengganti rautku, berusaha tersenyum manis.
“tentu saja, my Sica!” aku memberikan senyum terbodohku sambil mengacak rambutnya. Sica tersenyum puas.
Kalau ini yang gadis itu inginkan.. melihatku bahagia?
“aku tidak sabar melihatmu memakai jas pengantin. Pasti keren sekali!” Sica mengacungkan dua jempolnya dan aku tertawa palsu.
“kau juga pasti cantik sekali.” Ucapku singkat, yang tak lebih hanya sekedar bualan.
“ehm,
oppa, aku mau mengunjungi pesta bujanganku dulu ya. Bye!” Sica
mengecup pipiku sekilas kemudian pergi. Aku, cuma bisa menatap lantai.
Tak ada ekspresi apa-apa lagi setelah Sica pergi.
*
Jas
putih sudah tersampir di tubuhku dan aku tetap memakainya tanpa raut
bahagia layaknya laki-laki lain yang mau menikah. Choi Siwon di
sebelahku, membantuku memakaikan dasi.
“kau yakin?” dia bertanya sambil memperhatikan mimic wajahku.
“kenapa tidak?” jawabku singkat.
“kau kan tidak mencintainya, Heechul. Kau hanya akan membuat dirimu sendiri dan Sica menderita.”
“siapa peduli?” aku masih dengan dingin menanggapi Siwon. Dia hanya bisa memandangku pasrah.
“that’s
your decision okay? When the girl come again into your life, promise
me you won’t be regret it. ::itu adalah pilihanmu, okay? Ketika gadis
itu datang kembali dalam hidupmu, berjanjilah padaku kau tidak akan
menyesalinya.”
“ngg.”
Siwon pun meninggalkanku untu berdiri di samping altar bersama bestman lainnya.
“Tuan
Kim? Upacara pernikahan akan segera dimulai.” Dari balik pintu ruang
ganti, Jung Soo mengabarkanku. Aku mengangguk dan berjalan keluar
seperti mayat hidup.
“Heechul.. kau bisa kabur bersamaku
sekarang.” Jung Soo di belakangku menahan bahuku. Aku mendengus
kemudian menepis tangannya begitu saja. Aku kembali berjalan menuju
tempat upacara pernikahan akan digelar. Saat aku masuk, semua tamu
melihatku takjub. Yah, memang walaupun aku seperti mayat hidup begini,
yang namanya ketampanan tidak pernah bisa bohong. Aku melangkah menuju
tempatku seharusnya dan mulai menunggu mempelai wanita.
Ketika
bunyi piano terdengar, pintu kapel itu terbuka dan datanglah mimpi
burukku. Sepertinya aku harus berakting lagi sekarang. Kuberikan senyum
sumringahku pada Jessica yang memang tampak cantik dalam balutan gaun
pengantin rancangan desainer ternama. Gadis itu berbinar-binar
melihatku, seakan aku ini sepatu Louboutine yang lama dia incar. Aku
berusaha sekuat mungkin tidak menunjukkan kekesalanku dengan terus
tersenyum palsu.
Seharusnya di dalam gaun itu adalah Yoojin… Aku
memejamkan mataku sejenak, berusaha mempersiapkan hatiku kemudian aku
menatap Sica lagi. Dia kini sudah sampai di sampingku, mengalungkan
tangannya di lenganku.
“Baik silahkan duduk saudaraku..” Pendeta mempersilahkan para tamu duduk dan dimulailah upacara sacral ini.
“Tuan Heechul, Kim. Ulangi apa yang kuucapkan berikut ini.” Aku mengangguk.
“saya berjanji.”
“saya berjanji.”
“akan
mencintai Jessica Jung.” Mendengar kata-kata itu membuat hatiku terasa
sakit lagi. Mengucapkan sesuatu yang tidak benar sama sekali.
“akan mencintai Jessica Jung…”
BRAAAAAK!!!!!
Bunyi kencang dari arah pintu mengagetkan semua orang. Aku bahkan melompat dari tempatku. Kuarahkan pandangan ke asal suara.
“Sica sajangnim!! AKU MENCINTAIMU!!”
Ketika melihat dengan jelas siapa yang berani-beraninya merusak acara ini, aku membelalakan mataku. Itu.. Eunhyuk?!
“ayo
sajagnim! Kita pergi!!” Eunhyuk menghindari semua security yang mulai
mengerubunginya kemudian dengan kecepatan kilat meraih tangan Jessica,
membawanya kabur entah kemana. Aku diam tidak bergerak melihat semua
kegilaan yang baru saja terjadi. Aku berkedip-berkedip karena syok.
Sementara semua tamu heboh, mereka berdiri dan ingin tahu apa yang
terjadi sebenarnya.
Tak lama senyumku terkembang begitu saja.
“Thanks God.” Bisikku. Sekali ini aku hanya ingin berterima kasih pada
siapapun yang ada di atas sana. Ya, semoga Dia mendengarnya.
*
Yoojin POV
Aku
memotong kimbab buatanku dengan malas. Beberapa kali pikiranku
melayang. Apakah upacara pernikahannya sudah selesai? Aku meringis.
Menahan air mata rasanya sulit sekali.. Sebaiknya aku cepat bertemu
dengan Kibum, aku membutuhkannya untuk membuatku tersenyum.
“Kibum-a?
kau dimana?” aku mencari di sudut rumah yang mulai gelap karena
matahari akan terbenam, tapi aku tidak menemukannya. Kemana anak itu?
Aku
melanjutkan mencarinya sampai di ruang tamu, tapi langkahku berhenti
ketika kulihat dirinya. Aku pun dengan riang menghampirinya walaupun
haru menyipitkan mata untuk membuatku bisa melihatnya lebih jelas
karena minimnya cahaya.
“Kibum-a, kenapa kau diam saja disitu?”
aku menarik tangannya mendekat padaku tapi alangkah terkejutnya ketika
wajah Kibum.. wajah itu membentuk siluet wajah yang aku kenal. Sangat
aku rindukan, wajah itu..
“Heechul?!” aku memekik riang.
“Hai
Yoojin..” Heechul mengedipkan sebelah matanya dan tanpa perlu banyak
basa-basi lagi aku memeluknya erat-erat. Di pelukanku, Heechul membeku,
sepertinya dia syok dengan perlakuan yang jarang sekali aku berikan
padanya.
“jangan pernah.. menghilang lagi, kau dada rata.” Sekejap aku melepaskan pelukanku dan menatapnya garang.
“mwo.. mmh!”
Sebelum
aku sempat berkeluh kesah, Heechul meraih daguku dengan jempolnya dan
mendekatkan wajahnya padaku. Tanganku berpegangan erat pada kemejanya
hingga akhirnya bibir kami bersatu. Rasanya begitu pas.. seperti
menemukan potongan puzzle yang hilang dan menyatukannya kembali..
Begitu membuat tenang dan bahagia.
“Love you!” Heechul berbisik.
*
Kibum POV
Dari
luar rumahku, kulihat Heechul dan Yoojin bertemu kembali. Wajah
Yoojin… sangat bahagia…. Jauh berbeda dengan saat aku yang bersamanya.
Aku tersenyum puas kemudian melangkah menjauh dari rumahku. Aku berharap
saja mereka mau mebersihkan rumahku kalau-kalau mereka ‘bertempur’
nanti malam. :-p
-THE END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar