Pengikut

Minggu, 04 Maret 2012

Sleeping with Kim Heechul Part 11 (END)

Title: Sleeping with Kim Heechul Part 11 (END)

Cast:
Im Yoojin
Heechul Super Junior
Ki Bum Super Junior
Leeteuk Super Junior as Park Jung Soo
Jessica SNSD
Author: Soshiiica
Genre: Romance
Rating: PG

***
Saat itu musim semi, Heechul yang masih kecil sibuk  mengulum permen kapasnya. Matanya berputar seiring orang-orang berlalu lalang. Itu adalah hari pertama ia dan kakak perempuannya, Kim Heejin, kabur dari rumah. Mereka kini duduk di taman mungil yang sedang mengadakan karnaval tahunan. Heechul bersikap seakan ia sekarang hanya melakukan rutinitasnya, tapi tidak dengan Heejin. Dia memperhatikan setiap bagian dari taman itu, dia tidak melewatkan seorangpun dari tatapan elangnya. Dia tidak akan membiarkan dirinya tertangkap oleh keluarganya untuk saat ini.
“noona? Sampai kapan kita disini? Kalau kita tidak di rumah, lalu dimana kita tidur malam ini? Dan jangan lupa, aku lapar!”
“berhenti merengek! Aku juga sedang berpikir!” Heejin, dalam balutan seragam SMP-nya masih memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Tentu saja, ayah dan ibunya tidak akan lama menemukan mereka kalau mereka tidak segera bergerak. Ada kemungkinan bermobil-mobil polisi, atau bahkan helicopter muncul untuk mendapatkan Hee bersaudara.
“noona! Sepertinya.. aku melihat tuan Park..”
“mwo? Eoddi? Eoddi?!” Heejin segera menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari sosok sekretaris ibunya.
“ah.. aku bercanda! Hehe..” Heechul terkekeh iseng sambil menghabiskan gumpalan terakhir permen kapasnya.
“aish! Dasar..” Heejin menempeleng kepala Heechul sementara bocah itu masih tetap tertawa.
“Heechul, diam disini ya, noona mau ke toilet dulu.” Heejin meninggalkan Heechul setelah Heechul mengangguk.
Di toilet Heejin membasuh wajahnya. Dia menggigit bibirnya, tak bisa mengelak dari ketakutan yang dia rasakan saat itu. Dia yakin, kalau ayahnya menemukannya, hidupnya akan terancam. Memikirkannya, Heejin bergidik ngeri. Dia menghentakkan kakinya sambil menggeleng-geleng.
“ah molla!”
Heejin menghela nafasnya. Ada baiknya dia pulang. Tapi.. Heejin membenci hidupnya. Dia benar-benar tidak menyukainya, sekaya dan senyaman apapun dia sekarang. Heejin bosan dan dia akhirnya kabur dari rumah, seakan itu  jalan yang terbaik baginya, tepat 5 jam yang lalu. Tapi 5 jam kemudian, Heejin berubah pikiran. Dia sekarang takut, gugup, dan dia dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Tanpa uang, tanpa makanan.
Heejin keluar dari toilet dengan lesu. Dia menuju ke adik lelakinya yang dia tinggalkan di bangku taman. Tapi, saat dia kembali, yang dia lihat adalah kerumunan keluarganya. Ibu, ayah, bahkan haraboji ada disana. Dan tepat seperti dugaannya, polisi. Heejin segera mundur beberapa langkah, bersembunyi di balik punggung orang-orang.
“Heechul! Astaga, ibu benar-benar khawatir!”
“jangan keluar lagi dari rumah, kau dengar, Heechul? Astaga.. appa tidak tahu lagi kalau kau benar-benar menghilang.” Appanya memeluk Heechul, mendekapnya seperti sudah berbulan-bulan kehilangan anaknya.
“kalau begitu, sekarang kita pulang saja. Oke?” sang ayah menggendong Heechul di pundaknya dan sambil diiringi oleh ibu dan haraboji, mereka berjalan pulang.
Heejin di tempatnya melemas. Bahkan tidak ada satupun yang mencarinya. Ini adalah salah satu hal menyebalkan yang membuatnya ingin pergi dari rumah, kasih yang kurang. Semua orang mencintai Heechul, mengelu-elukannya sebagai anak yang lebih baik dari Heejin. Apa salahnya? Heejin merasa dia sudah bersikap, bicara, belajar, dan bekerja jauh lebih baik dari adiknya. Tapi, tidak ada yang menganggapya. Heejin menunduk. Dia menitikkan air matanya. Apa yang harus dia lakukan untuk membuat semua orang mengetahui keberadaannya? Atau.. membuat adiknya yang jatuh dalam masalah?
**
Bertahun-tahun kemudian.
“bagaimana dengan ahli waris dari JK Group? Dia cukup baik untuk disandingkan dengan Heechul.”
“hmm.. aku ingin lihat profilnya, latar belakang, dan rupanya.”
“yang ini ahli waris SK Company.”
“tidak. Anak perempuan itu pernah terlibat masalah dengan hukum.”
“yeobo, ada baiknya kita mendahulukan Heejin..”
“aish. Anak itu gampang, dia penurut, dan dia pasti mau dengan siapa saja yang kita plihkan untuknya. Dahulukan Heechul, dia pewaris utama kau ingat?”
Di balik pintu yang menjulang tinggi, hati Heejin mencelos. Padahal dia sudah sangat bahagia saat pelayan mengabarkan padanya kalau orang tuanya akan mengatur perjodohan untuknya. Itu adalah kesempatan dimana orang tuanya bisa memikirkannya.tapi ternyata, lagi-lagi Heechul yang paling pertama. Heejin meremas kain night dressnya. Ini adalah titik terberat baginya.
**
“Heechul? Kenapa kau mem-packing pakaianmu? Kau mau pergi?” Heejin yang baru saja kembali dari kampusnya mendapati adiknya sibuk membereskan koper.
“eung. Kau tidak tahu? Aku akan ke Swiss.”
“mwo??”
“apa? Ayah dan ibu tidak menyuruhmu juga?”
“menyuruh apa?”
“noona, mereka bilang padaku, saat mereka pergi ke USA, aku juga akan dikirim ke Swiss. Harusnya noona juga ikut kan?”
Sekali lagi, walaupun Heejin benar-benar berharap untuk tidak terluka lagi, tapi sudah. Dia sudah terluka parah.
“tidak.. mereka tidak menyuruhku pergi..” ucap Heejin lirih.
**
-kembali ke masa setelah Heechul pulang ke Korea-
“Jadi..Heechul menyukai Yoojin?”
Heejin termenung di ruangannya yang gelap. Dia masih memikirkan acara perjodohan yang dihelat oleh kakeknya malam tadi.
“Heechul memang sering bercerita padaku tentang sekretarisnya akhir-akhir ini. Entah tentang kekesalannya, tentang dada ratanya, atau bahkan tentang betapa ia rajin bekerja.” Heejin merenung. Dia tahu, ini jalan terakhir yang harus dia ambil ketika ia tidak berhasil membuatnya diakui keluarganya. Membuat adiknya terjatuh..
Heejin meremas buku tebal yang sedang di abaca hinga buku-buku jarinya memutih. Ini… jalan yang bisa menentukan hidupnya.
**
Flashback off
Heechul POV
Kenapa.. dia tidak bangun-bangun juga?
Aku berdiri di sisi pintu, memandangi tubuh mungil yang tergolek di tempat tidurnya. Melihatnya yang terlihat menyedihkan, membuat hatiku sakit. Tapi.. mengingat perbuatan sintingnya, hatiku terasa jauh lebih sakit. Tega-teganya ia membunuh anaknya sendiri. Aku memalingkan mukaku dan menarik kenop pintu, menutup kamarnya.
“oppa! Annyeong!” dari belakang, tangan-tangan meraih pundakku. Aku dengan segan menoleh, dan tanpa perlu melihat seharusnya aku tahu itu Sica.
“aku sudah mengirim foto gaun pernikahan ke email-mu, kau sudah lihat? Cantik kan?”
Aku tidak menjawabnya. Kutepis tangannya dari pundakku dan memilih berjalan menuju kamarku. Aku mengunci pintu kamarku kemudian merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Saat itu sudah agak siang dan membuat matahari menembus jendela kamarku, menyinari wajahku. Aku mengubah arah mataku dari datangnya sinar dan malah mendapati handphone-ku. Aku teringat, sejak aku turun dari pesawat, aku belum mengganti flights mode (flights mode: saat naik pesawat, kalau tidak mau mematikan hp nyalakan flights mode yang menghalau sinyal). Aku meraih handphone-ku dan mengutak-atiknya, mematikan flights mode. Mungkin saja ada sms atau telpon penting untukku.
Benar saja, deretan sms menghampiriku. Tapi jariku berhenti bermain di touchscreen pad ketika satu nama menghubungiku. Yoojin.. mengirimiku sms. Tanggal dan jam yang sama ketika aku berada di pesawat.
From: Yoojin~
Heechul, bisakah kau pulang sekarang? Maafkan aku, tapi ini penting..
From: Yoojin~
Heechul? Aku tahu kau tidak bisa sampai di Korea saat ini juga, tapi aku rasa ada yang aneh dengan Heejin..
From: Yoojin~
Heechul jebal, telpon aku, okay? Tolong aku..
Semua SMS ini harusnya dikirim saat dia sedang melakukan pengguguran kan? Apa maksudnya semua sms ini?
Seketika aku duduk dari posisi berbaringku. Sepertinya aku mengerti. Aku segera berlari, keluar dari kamarku dan tentu saja, menuju kepada Kim Heejin. Ternyata, dia berada di ruang tamu, sedang mengobrol ringan dengan Jessica. Tiba-tiba amarahku meluap. Ini pasti pekerjaan dua orang itu! Sebelum menyadari kehadiranku kubanting vas bunga terbesar yang kutahu adalah vas kesayangan Heejin ke lantai. Ruangan yang tadinya bersuasana hangat itu seketika sunyi. Semua mata menatapku.
“kau sinting!!! Kau bukan kakakku!!!!” aku berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Heejin. Dia berdiri dengan tergagap melihatku.
“k-kau kenapa, Heechul?” sudut bibirnya memaksakan sebuah senyum untuk menenangkanku. Tapi tidak, aku benci padanya.
“KAU YANG MEMBUNUH ANAKKU!!!!” sekali lagi aku mengamuk, kuhampiri Heejin dan menarik kerah jaketnya.
“n-ne??” Heejin gelagapan. Matanya melirik Sica untuk meminta pertolongan, sementara beberapa pelayan sudah berdatangan.
“JANGAN ADA YANG BERGERAK! DAN KAU, KIM HEEJIN, AKU AKAN MEMASTIKAN KAU BENAR-BENAR TERHUKUM KARENA INI!!!” aku mengguncang tubuh Heejin dengan seluruh tenaga yang kumiliki. Perlahan Heejin mulai terisak, sepertinya ia syok dengan kemarahanku. Atau.. dia syok karena segala kejahatannya terbongkar?
“AKU TIDAK AKAN PERNAH MENGANGGAPMU KELUARGAKU LAGI!! DAN KAU..” aku menunjuk Jessica. Gadis itu menaikkan alisnya, seakan menunjukkan dia tidak bersalah.
“KAU GADIS GILA YANG PENUH OBSESI! COCOK SEKALI!!” ku tendang meja tempat cangkir-cangkir teh mereka berada hingga terbalik. Aku yakin pasti sangat berantakan. Tapi aku tidak peduli, aku membawa kakiku ke tempat yang seharusnya, Im Yoojin..
Sesampainya aku di kamar Yoojin, aku menghampiri dirinya dan memapahnya di lenganku. Dia masih tertidur pulas..
“Yoojin-a.. semua akan baik-baik saja..” kucium kening Yoojin lembut dan kemudian berlari lagi menuju Porche-ku yang sudah terparkir di luar. Kubaringkan Yoojin di bangku sebelah pengemudi setelah membuatnya turun hingga nyaman untuk ditiduri, kemudian aku menyalakan mesin mobil dan mengemudi entah kemana.
**
Sudah malam.. aku menggumam sambil memandangi gelam malam dari jendela hotel yang berada di kawasan terjauh dari Seoul. Aku merenggangkan dasiku dan memandangi Yoojin. Dia.. masih tertidur. Padahal ini sudah hari kedua.. Aku membaringkan diriku di sebelahnya, memandanginya. Bangunlah, Im Yoojin..
Kuangkat tanganku, mendekati perutnya dan mengelusnya dengan hati-hati. Akankah ada keajaiban supaya ternyata anakku masih di dalam sana? Aku mengangkat lagi tanganku dan kali ini mengelus wajah Yoojin. Kulitnya sangat pucat, tapi bibirnya masih berwarna merah seperti biasa. Sangat cantik.. tapi aku yakin dia akan jauh lebih cantik kalau dia bangun dengan rona pipinya lagi, kemudian tersenyum..
Kurasakan dadaku bergemuruh, mataku basah, siap mengeluarkan air mata. Kutarik nafasku yang terasa semakin pendek seiring isakanku keluar. Kenapa.. sulit sekali hanya untuk bersama dengannya? Kenapa..?
“my beautiful.. I’m sorry..” ucapku tak lebih dari sekedar bisikan
**
Yoojin POV
“Yoojin menggugurkan kandungannya..”
“apa?”
“ini.. gila…”
“daripada kau sakit hati karena wanita itu, lebih baik kau menikahi Sica.”
“baiklah noona.. kalau itu yang seharusnya terjadi.”
Suara pasrah namun dingin itu terngiang-ngiang di kepalaku. Di mataku semuanya gelap, namun telingaku tajam mendengar apapun yang bisa kudengar. Entahlah, apa aku pingsan, mati suri, atau malah buta.. aku tidak mau tahu. Yang ekarang aku sadari adalah, Heechul hendak menikahi Jessica. Hh. Apalagi yang lebih menyakiti daripada seorang laki-laki yang meninggalkan seorang wanita karena wanita itu sudah tidak berguna lagi? Hatiku sangat sakit… bahkan dalam keadaan tidak berkutik seperti ini. Dadaku sangat berat, untuk bernafas sekalipun..
“oppa, kau sudah lihat gaun pengantinnya kan?”
“belum.”
“oppa, kau benar-benar akan membawaku ke Capri Island untuk liburan nanti?”
“tidak tahu.”
“oppa..”

Suara berisik itu kini menghantuiku. Bisa kurasakan keringat mengalir di wajahku.. aku harus bangun.. Bangun dan lari dari semua mimpi buruk sialan ini. Aku mengerutkan alisku, kemudian mataku terbuka begitu saja. Seketika sinar tajam dari jendela menusuk mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku sebentar hingga aku terbiasa dengan sinar itu, kemudian melihat ke sekelilingku. Kamar… tapi bukan kamarku yang biasa aku lihat.. Lebih mirip kamar hotel? Aku bangun dari tempat tidur dengan perlahan, tubuhku masih lemas tapi setidaknya aku bisa berjalan. Yang pasti, aku harus pergi dari tempat ini walaupun aku tidak tahu dimana aku sekarang.
Aku berjalan tertatih-tatih, membuka pintu kemudian mencari jalan keluar tercepat. Seperti dugaanku, ini adalah hotel. Aku turun melalu lift menuju ke Lobby dan pergi begitu saja. Saat aku menapaki jalanan, aku akhirnya menyadari kalau aku berada di kawasan Hongdae. Dan kini aku kembali terserang kebingungan. Kemana aku akan pergi? Aku tidak punya uang ataupun handphone. Tidak mungkin aku ke Jejudo karena membutuhkan banyak biaya kesana. Apalagi, keluarga Heehul pasti akan mencariku kesana. Aku berpikir keras sambil berjalan tanpa arah, sampai akhirnya bagai dibanting ke tembok, kepalaku berhasil mendapatkan ide.
Rumah sakit tempat aku menanyakan kebenaran dari kehamilanku juga berada di Hongdae. Mungkinkah aku bisa meminta bantuan kepada dokter yang ramah sekali padaku itu? Mungkin rumah sakit bisa memberikanku tempat berlindung sementara sampai eomma atau namdongsaengku menjemputku. Iya, itu pilihan terbaik untuk sekarang. Aku pun melangkahkan kakiku menuju jalan-jalan yang kuingat menuju ke rumah sakit itu, walaupun aku masih merasa amat sangat pusing karena lamanya waktuku tidur. Tapi, aku sampai juga ke rumah sakit yang kumaksud. Kumasuki gedungnya yang bersih dengan bau higienisnya yang khas, aku menanyakan salah satu suster tentang dokter Ki Bum.
“hmm.. aku rasa aku mengingatmu, nona… Yoojin?”
Aku yang masih menunggu informasi dari suster itu menolehkan kepalaku ke samping, ke asal suara. Sesaat aku tidak tahu dia siapa karena pakaiannya yang terlihat santai namun keren tapi ketika kulihat wajahnya benar-benar di balik kacamatanya, aku sadar itu dokter Ki Bum.
“eo! Ki Bum baksanim!” aku menundukkan kepalaku kemudian dengan ragu aku menatapnya.
“kau mau periksa kandungan lagi? Bukankah aku bilang kau kembali di bulan keenam saja?” ujarnya tetap dengan nadanya yang ceria. Aku sendiri malah melamun mendengarnya, apa dia memang terbiasa mengingat tanggal kehamilan semua pasiennya?
“ah bukan.. itu… bisakah kita bicara? Atau dokter masih praktek?”
“oh, aku sudah selesai praktek.. kita keluar saja untuk bicara..” Dokter Kibum menunjukkan jalan padaku ke taman rumah sakit yang terletak di samping gedung. Dia mendudukkanku di bangku taman yang terlihat paling sepi.
“jadi? Kau mau bicara apa?” dia bertanya lagi sambil menyilangkan kakinya, bersiap mendengarkanku.
“sebenarnya.. aku ingin tanya, apakah di rumah sakitmu selalu tersedia kamar kosong?”
“eo? Wae?”
Aku menggigit bibirku. Sulit sekali menjelaskannya karena hidupku terlalu rumit kalau dipikir-pikir.
“itu.. aku mau menumpang untuk dua hari saja, sampai keluargaku menjemput.. aku pasti membayarnya..” kutundukkan kepalaku, menghindari tatapan mata Kibum yang seperti mengorek-ngorek sesuatu dariku.
“apa.. kau diusir dari rumah? Ada baiknya kau menceritakannya padaku, hmm?”
Aku menelan ludahku. Harus darimana ceritaku dimulai? Semuanya pasti memberikan keterkejutan.
“baiklah.. Kehamilanku ini.. sebenarnya aku belum menikah. Aku bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan dan direktur perusahaan itu menyukaiku. Aku juga.. menyukainya..” suaraku semakin kecil. Saat menceritakan itu, aku benar-benar merasakan kesesakan di rongga dadaku.
“lalu?” Ki Bum menuntut ceritaku. Aku menghela nafas walaupun tidak menjamin rasa sakit itu hilang dari hatiku.
“aku dan direktur itu.. ya kau tahulah. Kemudian aku ternyata hamil. Kakak dari direktur itu tidak menyukaiku, dan akhirnya dia memaksaku untuk.. menggugurkan kandunganku..” kali ini hening. Aku menatap tanah sambil menahan air mataku. Rasanya sulit untuk mengingat saat-saat mengerikan itu lagi. Ki Bum tidak berani bicara lagi, dia malah melamun. Di wajahnya tersirat rasa iba yang besar. Sekali-sekali dia melirik ke arah perutku, tempat harusnya anakku berada. Aku menghela nafasku lagi dan bersiap melanjutkan cerita.
“setelah pengguguran itu aku pingsan beberapa hari. Namun, di beberapa hari itu, berbagai percakapan masuk ke telingaku. Mulai dari kakak direktur itu yang berbohong pada adiknya bahwa aku yang menggugurkan kehamilanku sendiri, lalu kemarahan direktur itu, sampai persetujuan dari direktur untuk meninggalkanku dan menikah dengan gadis yang sudah dipilihkan kakaknya. Kemudian aku terbangun dan segera kabur dari tempat aku berada dan aku terkapar disini..”
Seusai bercerita aku memandang Ki Bum. Dia sedang menaikkan kedua alisnya, sorot matanya masih memancarkan sorot iba. Bahunya yang semula tegak sempurna, kini lunglai karena lemas.
“dunia ini kejam sekali untukmu, Yoojin-a..” ucapnya lembut dengan suara dalamnya yang tidak mudah dilupakan. Aku tersenyum kecut padanya. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah dia membolehkanku bermalam di rumah sakit atau malah mengusirku karena menurutnya aku gadis hina yang membunuh anaknya sendiri?
Tapi Ki Bum tidak menjawab pertanyaan hatiku. Dia malah mengeluarkan handphone-nya dari saku celana trainingnya dan menekan nomor-nomor di touch screennya hingga akhirnya ia menempelkan layar ke telinganya.
“eo suster, aku minta tolong, bawakan makan siangku ke taman ya, aku menunggu. Terima kasih banyak.” Kemudian Ki Bum memasukkan kembali telpon genggamnya di sakunya. Dia kembali menatapku.
“Yoojin, kau tinggal saja di rumahku. Kau tidak usah peduli dengan biaya atau yang lain-lainnya, rumahku jauh lebih nyaman dibandingkan Rumah Sakit ini.”
“n-ne?” tinggal di rumahnya? Apa dia gila? Kita kan tidak mengenal satu sama lain dengan baik, etika yang benar dia tidak seharusnya membawa gadis asing ke rumahnya kan?
“hei. Kau takut padaku? Kau tidak lihat aku yang begini baik? Wajahku yang imut ini, kau tidak lihat? Bayangkan betapa kau melewatkan kesempatan berharga untuk tinggal bersama dokter tampan yang dipuja-puja banyak wanita. Kau tidak tahu betapa para wanita itu berebutan untuk bisa lebih dekat denganku??” Ki Bum berlagak sok ganteng yang dipaksakan, membuatnya terlihat sangat lucu karena matanya seakan melompat keluar untuk meyakinkanku.
“tinggallah di rumahku, aku jamin kau akan melupakan masa lalumu.” Dia menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman hingga matanya ikut tersenyum. Untuk melupakan.. sepertinya tidak akan bisa. Tapi untuk sekarang, tawarannya bisa kupercaya. Siapa yang menyangka aku bersembunyi di rumahnya?
“baiklah.. aku percaya kok.” Aku ikut tersenyum.
“dokter, ini makan siang anda.” Seorang suster menghampiri kami sambil membawa nampan di tangannya yang berisi mangkuk-mangkuk.

“ah, terima kasih suster. Hei, kau memakai jepit baru ya, suster Yong? Itu cocok sekali untukmu.” Sambil mengambil nampan itu Ki Bum memujinya. Seketika suster muda itu tersipu malu. Senyumnya sumringah sekali. Aku memonyongkan bibirku, sebegitu menakjubkankah pujian dari Ki Bum?
Suster itu membungkuk dengan gugup kemudian berlalu begitu saja.
“nah. Aku yakin selama beberapa hari kau pingsan, pasti kau belum makan. Nih, makanlah.” Ki Bum menyiapkan dengan baik mangkuk-mangkuk berisi nasi, sup iga, dan potongan daging sapi di hadapanku. Ahh.. melihatnya saja membuat nafsu makanku yang sempat tertunda naik lagi. Perutku bahkan sangat sakit karena menahan lapar berhari-hari. Ki Bum mematahkan sumpit kayu hingga terbelah sempurna, kemudian dia membuka plastik yang menutupi gelas kaca berisi air putih. Well, dia pantas mendapatkan nilai baik di bidang merawat orang lain. Dokter ini mempunyai sikap yang sangat sopan dan baik.
“sebaiknya kau minum dulu, ada kemungkinan kau dehidrasi.” Ki Bum menyodorkan gelas tadi. Memang sih, tenggorokanku terasa kering dan bahkan jadi sakit juga. Bagaimana dia tahu? Tapi dia kan memang dokter, jadi jangan bingung. Aku meneguk air di gelas tadi seperempatnya saja karena setiap saat aku menelan, rasanya seperti tenggorokanku di tarik keluar tapi Ki Bum memaksaku menghabiskannya. Dia bilang aku kekurangan cairan. Dan terpaksa kuhabiskan air yang membuatku hampir terlihat seperti kesetanan saking sulitnya menahan sakit.
Ki Bum mengambil sumpit tadi dan mencubit nasi, mencampurkannya dengan daging kemudian membasahkannya dengan air sup hingga sedemikian rupa dan ia membawanya ke depan mulutku.
“aa..” Ki Bum menyuruhku membuka mulut sepertinya. Aku pun membuka mulutku dan dengan lembut ia memasukkan makanan ke mulutku. Aku memandangnya bingung.
“hyaa Kim Baksa, aku bisa makan sendiri..” aku menarik tanganku untuk meraih sumpit di tangan Ki Bum tapi dia menjauhkannya dari jangkauanku.
“hyaa Im Yoo Jin, aku mau menunjukkan pada orang-orang yang lewat betapa baiknya aku sebagai dokter. Hehehe.” Seketika aku bungkam. Laki-laki ini.. bagaimana dia bisa mengingat namaku?
*
Ki Bum POV
Aku merapikan jas dokterku di lokerku dan dengan pakaian trainingku aku keluar dari ruanganku. Entah apa yang akan kulakukan untuk hari ini, sepertinya aku sendiri lagi. Aku berjalan melewati lorong-lorong yang membawaku keluar dari gedung rumah sakit, beberapa kali tersenyum pada suster-suster yang lewat sambil membungkuk padaku. Hingga aku sampai di Lobby, aku melihat seseorang. Orang yang tidak asing di mataku, tapi juga tidak memiliki hubungan apa-apa denganku. Gadis itu.. Im Yoojin.. gadis cantik yang pernah memeriksakan kehamilannya padaku, tepat 3 minggu yang lalu. Jujur saja, dia… adalah cinta pada pandangan pertamaku. Mungkin terdengar konyol, tapi segala pesona kecantikannya menarik hatiku. Dia hanya beberapa menit bertemu denganku, tapi wajahnya terus membekas hinga berhari-hari.
Aku tahu aku tidak seharusnya menginginkan isteri orang lain, aku putuskan untuk memendam perasaan ini dan menunggu hingga Im Yoojin bisa datang kembali ke ruanganku untuk memeriksakan kehamilannya. Aku bahkan menghafal saat-saat dia harusnya ke dokter, aku bertanya pada suster tentang datanya, dan hal-hal konyol lainnya yang bisa dilakukan seorang lelaki saat kasmaran. Well, banyak sih wanita yang menginginkanku, tapi seorang introvert sepertiku akan membuat para wanita cepat bosan. Aku juga lebih suka diam di rumah dan membaca buku setelah jem praktekku usai daripada harus repot-repot memikirkan kencan buta layaknya laki-laki lain di umurku.
Dan keberuntungan apa yang membuat Yoojin datang lagi ke depanku, bukan di waktu yang seharusnya dia datang, dan bahkan dia mencariku. Walaupun Yoojin yang kulihat sekarang tampak amat sangat kacau, berbeda dengannya waktu pertama bertemu dulu. Rambut hitam bergelombangnya terlihat acak-acakan, wajahnya yang biasanya kaku kini seperti wajah anak hilang. Bajunya juga berantakan. Apa.. sesuatu terjadi padanya?
Aku membawanya ke taman rumah sakit untuk bicara dengannya. Aku berusaha membuatnya tertawa sebisa mungkin, aku ingin menghilangkan raut menyedihkan di wajahnya itu. Aku ingin sekali menghapus kesulitannya. Tapi ketika bibir mungilnya yang tampak lebih pucat itu bicara, menceritakan masa lalunya yang mengerikan lewat kata-kata sederhana, hatiku tertohok. Ternyata kehamilannya, bukan kehamilan yang diinginkan oleh orang lain. Padahal aku begitu bersuka cita saat aku memberitahukan kehamilannya. Kakak iparnya menggugurkan kandungannya, membuatnya ditinggalkan oleh sang direktur. Aku terasa teriris mendengar itu semua. Gadis malang ini… aku ingin menangis setiap saat aku melihat dirinya yang berantakan. Tapi aku harus menghiburnya, membuatnya tertawa lagi.. Yoojin.. bisakah kau tidak jauh-jauh lagi dariku di kemudian hari? Tetap berada di sampingku dan menjadi nafasku?
**
Heechul POV
Aku turun dari kamarku, meninggalkan Yoojin yang terbaring di tempat tidur. Aku hendak makan sarapan yang tersedia di lantai satu hotel bintang lima itu. Kuambil banyak makanan yang enak dan membawanya di atas nampan, aku akan menaruhnya di kamar kalau-kalau Yoojin bangun karena kelaparan. Dengan secepat mungkin aku kembali lagi ke lantai tempat kamarku berada sambil membawa nampan tadi. Mungkin saja kan, Yoojin bangun saat aku pergi? Kubuka pintu kamar dengan kartu kunci otomatis kemudian melanggang masuk. Aku berjalan lagi mendekati tempat tidur tapi…. Tempat tidur itu kosong. Mataku tidak salah, matahari menyinari bagian tempat tidur yang kosong itu dan menunjukkan bahwa selimut itu sudah dibuka, tanda Yoojin berdiri.
Seketika nampan di tanganku terjatuh dan bunyi piring-piring pecah bergema. Dengan panik aku memeriksa ke seluruh bagian kamar, bahkan hingga ke bawah tempat tidur. Aku.. tidak menemukannya. Sial. kemana Yoojin? Tubuhku lemas menyadari dia pergi dariku. Yoojin bahkan tidak membawa uang. Kemana dia pergi…? Kakiku ambruk ke lantai. Aku bahkan tidak peduli ketika pecahan piring menusuk lututku. Aku berusaha menelpon Jung Soo hyung dan polisi, aku harus menemukannya. Aku tidaka akan memaafkan dirku sendiri kalau terjadi sesuatu padanya.
Kemudian aku berlari dengan membabi buta keluar dari hotel, melesat ke jalan-jalan, berusaha menemukan gadis itu. Sesak memenuhi seluruh tubuh sementara orang-orang menatapku aneh. Aku tidak peduli. Walaupun kakiku sakit karena tertusuk beling, walaupun aku bahkan terlalu lemas sampai berjalan pun sulit, aku menyeret kakiku untuk mencarinya. Tidak bisa, tidak bisa kalau tanpa Yoojin..
**
Yoojin POV
Sesudah aku selesai makan, Ki Bum membawaku ke rumahnya dengan Lamborghini hitamnya. Kami melewati kawasan Hongdae dengan sangat cepat, menuju ke kawasan lain. Tak lama terlihatlah perumahan-perumahan elit di sisi-sisi jalan. Maksudku, rumah-rumah yang terlihat benar-benar besar! Tapi anehnya, memasuki perumahan ini membuatku merasa seperti pernah memasukinya entah kapan. Ah, otakku buntu untuk sekarang.
Akhirnya Lamborghini itu berhenti di depan pagar tinggi yang sangat megah. Melihatnya membuat bibirku membentuk huruf ‘o’ tanpa kusadari. Tapi lagi-lagi aku seperti merasa pernah melihatnya dimana.. aku memiringkan kepalaku memandang rumah yang terletak di seberang rumah Ki Bum, dan akhirnya aku sadar kenapa aku terus merasa pernah masuk ke tempat elit ini. Rumah di seberang.. adalah rumah Heechul.
Jantungku berdegup lebih kencang ketika aku benar-benar yakin bahwa itu rumahnya. Pagar yang tak kalah tinggi, rumah yang cantik namun menggambarkan keangkuhan. Jalan setapak panjang yang menghubungkan pagar dengan rumah, para pengawal yang selalu berjaga di depan.. benar- itu rumah Heechul. Tempat seharusnya Heejin ada di dalamnya. Heechul dan Sica juga. Keringat dingin membasahi tengkuk-ku. Kupandang Ki Bum yang sudah keuar dari mobil dengan takut-takut. Ternyata dia memarkirkan mobilnya di jalan. Sial, kemungkinanku untuk terkspos keluarga Kim menjadi lebih besar.
“wae, Yoojin? Tidak keluar?” Ki Bum meneriakkan namaku dari luar. Aku menggigit bibirku, berharap tidak ada pengawal atau pelayan yang mendengar namaku dipanggil.
“n-ne, aku keluar!” aku pun membuka pintu mobil dan menghampiri Ki Bum dengan kecepatan penuh.
“kau kenapa, Yoojin? Wajahmu pucat lagi..”
“ah ani! Ani..” aku tersenyum, meyakinkan Ki Bum kalau aku tidak apa-apa.
“kalau begitu, ayo kita masuk.” Ki Bum menekan satu tombol yang tersembunyi di pagarnya dan membuat pintu itu terbuka sendiri. Kemudian dia menyuruhku mengikutinya untuk mengelilingi rumahnya agar aku mengenal tempat tinggalku sementara.
“ini kamarmu. Sebenarnya ini bekas kamar adik perempuanku, tapi karena dia sedang kuliah di luar, kau bisa memakainya. Beberapa pakaiannya juga masih ada, kau boleh kok memakainya.” Ki Bum memberikan senyuman khasnya ketika ia menunjukkan walk-in closet milik adiknya. Aku ikut tersenyum sambil berusaha menunjukkan rasa terima kasih melalui mataku.
“bagaimana dengan orang tuamu? Kau tinggal sendirian?”
“aku sudah tidak memiliki orang tua. Mereka meninggal  ketika aku berumur 15 tahun. Aku dirawat oleh kakekku yang dulunya juga seorang dokter, tapi kini ia telah meninggal. Jadi aku dan adikku tinggal sendirian di rumah ini hingga kami sebesar sekarang.”
“tapi rumahmu benar-benar hening.. kau tidak punya pelayan? Mereka bisa menjadi teman yang baik kan?” aku bertanya lagi tapi Ki Bum menggeleng.
“aku suka sendirian. Pelayan disini akan datang untuk membersihkan seminggu dua kali, itu juga saat aku bekerja.” Aku mengangguk mengerti. Dia orang yang jauh berbeda dengan keluarga Kim. Mereka memiliki pelayan yang berlimpah, rumahnya selalu ramai..
“hmm.. yang di sebelah adalah kamarku. Kalau ada apa-apa kau bisa datang padaku. Tidak usah mengetuk, langsung masuk saja.” Ki Bum menunjuk kamar yang berada tepat di sebelah kamarku.
“eeh? Tapi itu kan wilayah privasi, mana mungkin aku masuk sembarangan?”
“agar aku tidak merasa seperti kakak yang kesepian ditinggal oleh adiknya. Kau tahu, adikku selalu masuk sembarangan ke kamarku, bahkan hilir mudik disana untuk mengajakku main. Makanya, aku merindukan saat-saat itu..” Ki Bum kembali tersenyum, tapi kali ini berbeda. Sorot matanya memancarkan kesepian yang amat sangat. Sepertinya aku mengerti. Di rumah sebesar ini, dia hanya sendirian. Apa yang bisa dilakukan seseorang saat sendiri? Paling melamun, membaca buku, menonton tv, atau hal-hal membosankan lainnya kan?
“nah ruangan besar di seberang kamar kita adalah perpustakaanku.” Ki Bum membuka pintu kayu berat dari ruangan itu dan lautan buku tampak di depanku. Perpustakaan itu lumayan besar jika dikatakan sebagai perpustakaan pribadi, tapi desainnya sangat cantik. Terdapat satu meja panjang dengan tiga bangku yang mewah seperti kursi kerajaan di tengahnya, sepertinya tempat membaca Ki Bum. Mataku berbinarbinar melihat perpustakaan itu, keren sekali!
“kau suka buku?” Ki Bum bertanya dan aku mengangguk segera. Aku sangat menyukai buku sejak aku masih kecil.
“wah, kita bisa membaca bersama dong.” Ki Bum tertawa sumringah.
“Kim baksa… gomabseubnida..” aku membungkukkan kepalaku padanya dan Ki Bum kembali tertawa.
“haha tidak apa-apa, bukan masalah besar bagiku. Aku harap nyaman di rumahku ini.. dan satu lagi.”
“ne?”
“panggil aku Ki Bum saja, tidak usah terlalu formal. Atau oppa? Hhehe.” Kibum nyengir sementara aku membalasnya dengan senyumku yang paling manis.
*
Dari tempatku duduk, aku memandangi Ki Bum yang kini tengah berkutat dengan buku tebal kedokteran, dengan kaca mata tersampir di hidungnya yang mancung. Well, baru kusadari kalau dia imut juga. Tapi aku segera mengalihkan pandanganku dan kembali membaca bukuku. Ya, aku dan Ki Bum sekarang berada di perpustakaannya.
Ki Bum begitu serius menekuni buku-bukunya, sangat berbeda dengan laki-laki yang pernah kukenal. Aku menunduk sedih. Biar bagaimanapun, aku merindukan sosoknya. Heechul. Hanya mengucapkan namanya saja sudah ingin membuatku menangis. Wajahnya yang selalu ceria terus membayangiku. Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Mencariku? Atau bahkan.. berusaha melupakanku dan tengah mempersiapkan jas pengantinnya? Aku memejamkan mataku erat-erat, tak ingin membayangkan. Sudah sekuat mungkin aku berusaha membaca dengan fokus tapi tak lama pikiranku kembali melayang-layang. Kukepalkan tanganku menyadari air mataku akan keluar, aku tak ingin membuat Ki Bum khawatir. Maka aku hanya membaca dan membaca..
Ki Bum POV
Aku mengerang sambil menguap, kemudian melepaskan kacamataku dan memandang orang baru di rumahku. Yoojin sedang menunduk membaca buku, tapi bisa kulihat kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri. Sepertinya dia mengantuk. Aku terkekeh melihatnya tapi aku berdiri dan mendekatinya. Kusentuh bahunya dan menggoyangkannya pelan. Seperti tersengat listrik gadis itu menegakkan lagi tubuhnya dan mendapati aku yang berada di sampingnya.
“sudah mengantuk ya? Lebih baik kau tidur daripada memaksakan dirimu menemaniku..” ucapanku erhenti ketika melihat dia menyeka air matanya. Dia.. dia habis menangis?
“tidak apa, buku ini seru.” Yoojin menjawab lemah. Aku meringis melihatnya menyembunyikan tangisannya.
“aku akan membacakannya untukmu, tapi sekarang kau harus tidur, Yoojin. Ayo.” Tanpa memperdulikan sikapnya yang menolakku, aku meraih bahunya dengan sebelah tanganku dan kakinya dengan tanganku yang satu lagi. Kuangkat tubuhnya yang mungil dan ringan kemudian aku berjalan menuju kamarnya. Di pelukanku, aku bisa merasakan air matany membasahi kausku. Aku benar-benar sedih melihatnya seperti ini. Bagaimana laki-laki itu tega membuat gadis serapuh ini menangis? Kenapa tuhan tega membuat manusianya sangat kesulitan?
Kuletakkan tubuh Yoojin di tempat tidurnya dan mulai menyelimutinya dengan selimut yang tebal. Kutepuk-tepuk sisi selimut dengan hati-hati, memastikan tidak ada udara dingin yang bisa masuk. Yoojin di balik selimut berusaha menyamankan kepalanya di atas bantal. Dia membuka matanya yang masih mengeluarkan air mata, tapi dia tidak melihatku. Dia melamun.
Aku hanya bisa menghela nafas sambil duduk di kursi yang terletak di sebelah tempat tidurnya, kemudian aku mulai bicara, menceritakan kelanjutan dari buku yang dia baca tadi. Sekali-sekali aku meliriknya, melihatnya apakah sudah tertidur atau belum. Tapi tetap kulanjutkan cerita dari buku sebanyak 315 halaman itu.
“sang laki-laki tersenyum saat dia menemukan gadisnya. Rasanya hidup begitu lengkap dan beban di hatinya lepas sudah. Laki-laki itu memandang gadisnya dengan penuh cinta walaupun gadisnya tidak mengenal dirinya. Tamat..” aku menutup buku dan menggembungkan pipiku, berusaha merilekskan bibirku yang kelelahan bicara. Kulihat Yoojin sudah tidur, terdengar dengkuran kecilnya yang manis. Aku mengusap pipi lembutnya dengan jemariku, menyadari betapa berharganya dia bagiku sekarang. Aku tersenyum kemudian menyibakkan rambut dari wajahnya, kukecup keningnya.
“jaljayo.. Im Yoojin..” kuucapkan nama indah yang kuafalkan terus menerus itu.
**
Yoojin POV
“Hei, Heechul.” Aku memanggil Heechul yang berjalan di sampingku. Jalanan hanya disinari oleh lampu jalanan tapi aku berusaha keras melihat wajah tampannya.
“apa?” dia menoleh padaku dengan raut sok ganteng khasnya.
“terima kasih ya, untuk hari ini. Aku tidak percaya kau bisa membantuku dan eomma seperti tadi. Walaupun caranya agak tidak masuk akal.” aku menatap Heechul  sambil berusaha menunjukkan ketulusan di mataku. Entah kenapa setelah melihatku, Heechul jadi senyum-senyum bahagia. Dia bahkan mengatkan lengannya di lenganku dan menempel-nempel dengan manja.
“ow, tentu saja. Ibu mertua pasti akan bangga melihat menantunya yang pintar mencari uang ini. Hehe” aku meringis mendengarnya. Segera kutepis tangannya dariku.
“apanya yang menantu.” Desisku tapi Heechul malah cekikikan. Aku tertawa melihat tingkahnya dan akhirnya pasrah saja ketika Heechul kembali menempel di lenganku. Tapi gara-gara ini, ide gila terlintas di otakku. Segera kuhentikan langkahku, membuat kaitan tangan Heechul lepas. Heechul ikut berhenti dan menatapku bingung.
“kenapa berhenti? Kita kan harus pulang.” Dia bertanya dengan wajah polos. Aku tidak menjawab dan hanya memandangi dirinya lembut. Bersiap melancarkan aksiku, aku menarik tubuhnya dan mengecup pipinya.
Cup!
Sekilas bibirku menyentuh kulitnya yang halus. Hal itu membuatnya terpana dan seperti orang bodoh, dia kelimpungan. Aku nyengir setan kemudian langsung kabur dari hadapannya karena malu.
“omo. Yoojin-a..” aku mendengar dia memanggil namaku. Aku berhenti sebentar sambil menolehkan kepalaku padanya kemudian menjerit, “sebagai tanda terima kasih!”
Dan aku berlari lagi pulang ke rumah.
“Hya YOOJIN!! Im YOOJIN KAU MESUM!!” dia berteriak dari kejauhan…
Mataku seketika membelalak. Apa.. yang barusan kumimpikan? Apa..?
Aku duduk dari posisi tiduranku dan memandang sekeliling. Ini.. masih kamar di rumah Ki Bum.. aku menghembuskan nafaku yang terasa amat sangat berat. Kutekan pelipisku dengan telunjuk. Aku jadi merasa pening karena mimpi itu.. Lagi-lagi dadaku sesak. Rasanya nyeri sekali.. aku membutuhkan oksigen…, oksigenku…
“eo Yoojin, sudah bangun?”
Dari balik pintu kamar tampak Ki Bum dengan senyum khasnya yang mempesona.
“ah.., ne..” aku menjawabnya pelan.
“aku sedang membuat sarapan, mau ikut?” dia menawarkanku. Aku memandangnya lagi.
“ya, tentu saja.” Aku pun berjalan mengikutinya menuju dapur. Disana memang sudah tersedia bahan-bahan dan peralatan masak yang lengkap, tapi sepertinya Ki Bum belum mulai memasak.
“Ki Bum, aku akan membantumu membuat sarapan.” Ujarku pasti, membuat Ki Bum tertawa.
“benarkah? Tapi kau harus menajamin masakanmu enak.”
“tentu saja.” Ya, tentu saja. Kim Heechul menyukai sarapan buatanku.
“Ki Bum?”
“ne?”
“dimana kau letakkan sereal?”
“hmm.. di atas sana, di lemari kedua.” Ki Bum menunjuk kitchen set yang paling tinggi. Aku mendecak. Lagi-lagi tinggiku yang tidak seberapa menghalangiku untuk berbuat sesuatu. Aku memandangi dapur sekitarku, mencari kursi yang bisa dinaiki agar bisa meraihnya. Tapi dapur ini tidak memiliki kursi.
“hei, naiklah.” Aku tersentak ketika suara lantang Ki Bum tersengar dari bawah. Eh? Dari bawah? Aku menunduk dan mendapati Ki Bum sedang berlutut memunggungiku, menyuruhku naik ke pundaknya.
“ta-tapi..”
“ayo naik.” Dengan terpaksa aku pun naik ke punggungnya. Aku harap aku tidak bertamabah berat hari ini karena kebanyakan tidur.
“nah, serealnya ada di atas lemari. Kau bisa lihat kan?” susah payah Ki Bum memberitahuku karena nafasnya tersengal-sengal. Jadi aku benar-benar naik berat badan?? -_- dengan mudah kuraih kotak sereal itu karena sekarang tinggiku bertambah dua kali lipat.
“sudah, Ki Bum..” laporku dan dia pun menurunkan aku dari pundaknya.
“aku keren kan? Hehe..” Ki Bum terkekeh seakan bangga dengan dirinya sendiri. Aku hanya mendengus geli. Ki Bum benar-benar baik.. Bantuannya tadi seakan memberitahuku bahwa aku tidak pendek untuknya. Sambil merapikan sereal yang tadi hatiku merasakan bunga-bunga yang aneh. Membuatku bisa gembira seharian.
**
“aa..” Ki Bum lagi-lagi menawarkan sesendok dari omelettnya. Aku meringis padanya.
“aku kan bisa makan sendiri..”
“sekali saja..” akhirnya aku membuka mulutku dengan pasrah. Aigoo anak ini, apa dia punya father syndrome?
“nah selesai. Hehehehe.” Kibum menunjukkan piring kosongnya. Jangan-jangan tadi aku cuma dikasih makanan sisanya? Dasar.
“sini, biar kucuci.” Aku merebut piring itu dari tangan Kibum dan berlari ke tempat cuci piring sebelum dia melarangku melakukan pekerjaan rumah. Habis, setiap aku mau membersihkan rumahnya, Kibum melarangku. Padahal kan itu sebagai tanda terima kasih.
Aku mencuci piring dengan teliti, membersihkan senti demi senti piring yang sepertinya berharga jutaan itu. Selesai, aku mengeringkannya. Saat sedang mengelap piring dengan kain bersih, aku merasakan kehadiran Kibum di belakangku. Aku bingung, sedang apa dia di belakangku? Mau mengagetkanku?
“hya, kau sedang apa Ki Bum?” aku menaruh piring terakhir ke tempatnya dan membalikkan tubuhku, tapi belum sempat aku bernafas, Ki Bum memenjarakanku dengan tangannya. Seketika aku memandangnya aneh seiring jarak di antara kami terus berkurang.
“Ki-Kibumssi! Kau sedang apa?!” kedua tanganku terhimpit di dada Ki Bum, membuatku tidak bisa bergerak lebih.
“aku mencintaimu, Yoojin..” dia berbisik di dekat bibirku, menyebarkan nafasnya yang harum mint. Kurasakan jantungku melompat-lompat tidak menentu. Tangan Kibum yang kuat meraih pinggangku dan menaikanku di atas counter dapur. Dua sudut bibirnya naik, membentuk senyuman yang lembut. Ini.. ini salah..
“Kibum…”
“kau cinta pada pandangan pertamaku, kau tahu?” sesaat aku diam untuk mencerna perkataannya. Tapi tangannya mendorong punggungku agar menempel dengan tubuhnya. Aku memekik kecil. Tapi aku tak sempat bicara lebih karena bibir Kibum menempel sempurna di bibirku. Aku diam tidak berkutik sementara Kibum terus menarik-narik sudut bibirku, menghisap bibir bawahku sedemikian rupa. Semakin lama, tubuh Kibum semakin merangsek mendekatiku, bahkan sebelah kakinya naik ke atas counter yang kududuki. Kurasa nafsunya sudah berada di puncak. Aku bear-benar kaku, antara masih syok dengan perlakuannya dengan menyadari bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi..
Tapi tiba-tiba perutku sakit. Tanganku reflex menghentak Kibum, membuatnya melepaskan kaitan bibirnya dariku. Aku.. ingin muntah!
“Yoojin..? wae?” Kibum memandangku khawatir. Sepertinya setan sudah lepas darinya. Kupegang tangannya erat sementara tanganku yang satu lagi membungkam mulutku.
“aku mau muntah!” jeritku akhirnya dan dengan panik, Ki Bum membawaku ke toilet. Kumuntahkan segala isi perutku di WC hingga perutku terasa kosong. Ketika aku sudah mulai tenang seusai muntah, aku menyadari sesuatu. Ini.. rasa yang sama seperti aku muntah saat aku hamil. Tidak mungkin…
“Kibum?”
“hmm?” Kibum yang sedang merawatku menolehkan kepalanya.
“ada apa?”
“biakah kau periksakan kehamilanku lagi?”
“ne?? tapi kau kan..”
“aku mohon, Kibum.. Cepatlah!”
*
Flashback
Heechul POV
Jika aku membuatnya hamil lagi sekarang..
Aku menelan ludahku. Mungkin ini cara terbaik. Kupandang Yoojin yang masih tertidur di tempat tidur hotel. Wajahnya sangat damai, berbeda jauh denganku yang merasakan berbagai siksaan pikiran yang berkecamuk. Kalau aku berhasil membuatnya hamil lagi.. aku akan langsung mengabarkan ini pada orang tuaku, dan membuat mereka menikahkan aku dan Yoojin secepatnya. Tidak akan kubiarkan Heejin berani menyentuh Yoojin lagi. Aku akan hidup bahagia sebagai keluarga kecil bersama Yoojin. Aku mengangguk. Membuatnya hamil lagi adalah cara yang terbaik.
Aku melirik Yoojin. Kutelan ludahku sambil mulai membuka satu demi satu pakaian yang melekat di tubuhku. Selesai, aku kini membuka pakaian Yoojin hingga ia juga telanjang sepertiku. Aku merengkuh wajah mungilnya dan memandanginya sejenak tapi ketika nafsu sudah menguasaiku, aku menarik kepalanya mendekat denganku dan melumat bibirnya. Walaupun Yoojin tidak membalas ciumanku, aku tetap bernafsu menciuminya..
==SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP SKIP==
Aku melenguh ketika kurasa cairanku sudah diserap oleh miss v-nya. Tubuhku ambruk di atas tubuh Yoojin yang masih tergolek pingsan, kemudian menutup mataku, berusaha tidur karena kelelahan yang datang.
**
Flashback off
Yoojin POV
Aku terus mengamati gerak-gerik Kibum yang sedang memeriksa perutku dengan peralatan kedokterannya yang ternyata juga tersedia di rumahnya. Sekarang aku sangat gugup, tidak mungkin aku hamil lagi kan??
“Yoojin?”
“ne?”
“kau hamil..”
Seakan dunia baru saja runtuh. Kupandangi Kibum lekat-lekat.
“kau serius?!”
“ya.”
**
Ki Bum POV
Seharian aku mondar-mandir di lorong-lorong rumahku, merasakan kekhawatiran yang amat sangat. Yoojin hamil lagi.. dan tentu saja itu bukan anakku. Apa yang harus kulakukan? Apakah Yoojin akan pergi dariku lagi? Aku memandangnya yang sedang duduk di kursi meja makan. Dia tampak tidak bernafsu dengan makanannya sama sekali walaupun aku memasakan makanan yang dia sukai. Gadis itu tampak sedang berpikir keras, keningnya selalu berkerut setiap aku melihatnya. Aku ingin sekali merangkulnya dan memeluknya erat-erat.. tapi ciuman yang tadi aku memberikannya membuat dia jadi agak rishi denganku. Aish! Kibum bodoh! Padahal aku mungkin saja membuatnya jatuh cinta padaku.. aigooya..
“Kibum.. aku mau tidur..” Yoojin beringsut dari tempat duduknya dan berjalan melewatiku. Tidak. Aku harus bicara sesuatu padanya. Aku pun menarik pergelangan tangannya hingga Yoojin menghentikan langkahku.
“Yoojin..”
“mwo?”
“kumohon jangan pergi dariku..” kurasakan tubuhnya mengejang saat mendengar ucapanku. Yoojin menengok dan memandangku. Melihatnya begitu terkejut bahkan membuat bibirku kaku untuk memberikan senyum andalanku.
“aku.. begitu menyukaimu… maafkan aku, tapi aku mencintaimu, Im Yoojin.. jangan pergi dari sisiku.. Temani aku..” aku membiarkan bicaraku seperti seseorang yang memelas. Memang aku benci jika harus sendirian lagi, kesepian, terpuruk dalam cinta yang tertahan. Aku benci itu. Yoojin tidak berkutik. Dia hanya menghentakkan tangannya hingga aku melepaskan peganganku dan dia pergi begitu saja. Aku memandangi kepergiannya dengan sedih. Apakah ini.. rasanya jika dia meninggalkanku nanti? Bertemu sang direktur yang entah siapa itu dan hidup bahagia? Andaikan aku bertemunya beberapa tahun lebih cepat.. membahagiakannya, membuatnya terus tertawa. Tidak akan membuatnya menangis..
*
-beberapa hari kemudian-
Heechul POV
Aku kembali ke rumahku. Rumah yang tampak sangat menyebalkan bagiku. Aku harap aku tidak bertemu dengan Heejin atau Sica. Mereka benar-benar sakit jiwa, kau tau? Aku melenggang begitu saja melewati para pelayan dan masuk ke kamarku yang gelap gulita. Kududuki kursi kerjaku tanpa merasa perlu menyalakan cahaya apapun. Aku mengambil telpon genggamku dan menghubungi nomor Jung Soo.
“hyung, bagaimana? Kau sudah menemukannya?”
“belum, Heechul.” Suara di seberang bicara dengan nada putus asa. Aku berbasa-basi sedikit dan memutuskan hubungan. Kuletakkan badanku di kursi kerja empukku yang jadi terasa amat sangat keras untukku. Aku mengerutkan keningku sambil memijat pelipisku dengan kedua tangan. Aku terlalu lelah, terlalu putus asa. Berbagai pikiran negatif sudah menyakitiku. Apa lagi yang harus kulakukan untuk gadis itu? Kenapa dia meninggalkanku? Kenapa.. begitu sulit hanya untuk bersamanya?
Aku berdiri menuju jendelaku dan menyingkap sedikit gordennya. Kusandarkan keningku di kacanya yang dingin, menatap langit biru cerah yang seperti awan hitam di mataku. Kuletakkan telapak tangan di permukaan jendela dan memandangi sekitar rumahku tanpa ekspresi apapun. Semua yang indah terlihat jelek, semua yang manis terasa hambar. Tanpa jiwaku, aku tidak hidup.. Yak Im Yoojin.. dimana kau? Apa kau sedang mengusiliku? Kau sedang berusaha membuatku jadi bahan lelucon?! Apa aku yang begini menyedihkan itu lucu??
Nanar kupandangi semuanya. Sampai.. aku melihat sesuatu. Di seberang rumahku, di balkon rumah tetanggaku. Siluet tubuhnya, rambut hitam bergelombangnya yang cantik diterpa matahari. Jantungku seketika memompa lebih cepat saat menyadari bahwa itu gadis yang kukenal. Kusipitkan mataku, berusaha melihat lebih jelas. Itu.. Yoojin?!
Tanpa banyak berpikir lagi aku pergi dari kamarku, berlari dengan kacau karena terburu-buru. Aku tak mempedulikan tubuhku yang sakit saat menabrak meja-meja atau bahkan barang pecah belah. Aku tidak peduli. Jika gadis itu menghilang lagi, aku tidak akan mengampuni diriku sendiri. Karena memang gadis itu yang membawa seluruh hatiku..
Kakiku berhenti di depan pekarangan rumah yang cantik. Aku menggedor-gedor pintu rumahnya. Keringatku membasahi seluruh wajah hingga menyakiti mataku. Nafasku terengah-engah melebihi orang yang dicekik, dan aku terlihat seperti orang kesetanan, menggedor pintu besar di hadapanku. Tak lama, pintu itu terbuka, menunjukkan seorang laki-laki muda dengan kacamata. Seingatku, tetanggaku ini adalah seorang dokter.
“eo, tuan Kim. Ada apa?” rautnya menunjukkan dia terkejut denganku. Yah, siapa yang tidak terkejut dengan kehadiran orang yang tampak berantakan sepertiku sekarang?
“aku.. mana… hosh.. hosh.. mana.. Im Yoojin…” sekuat tenaga kuucapkan kata demi kata, berharap laki-laki itu mengerti. Kakiku yang lemas membuatku jatuh ke lantai. Tanganku mati-matian menahan tubuhku agar tidak benar-benar jatuh sepenuhnya.
“Yoo…jin?” Kibum mengulangi nama itu. Dia terlihat panik dan gelagapan melihatku yang seperti zombie.
“cepat kemarikan Yoojin!!!” akhirnya aku berteriak dengan sisa kekuatan yang kumiliki. Memandang putus asa ke dalam rumah Ki Bum.
“IM YOOJIN!!!!!” jeritku. Mungkin habis ini aku mati atau apa, tapi aku benar-benar menginginkan gadis itu sekarang.
“aku tidak bisa memberikannya padamu.” Dengan dingin laki-laki di hadapanku bicara, sekaligus menyulut emosiku.
“dia menolak untuk bertemu denganmu. Pergilah.” Aku yang masih berlutut di tanah tidak berdaya ketika Ki Bum menutup pintu rumahnya. Sial. apa yang laki-laki itu lakukan?!
“BUKA!!! BUKA KAU BRENGSEK!!!! BERIKAN YOOJINKU!!!!!” aku menyeret kakiku dan kembali menggedor-gedor pintu itu.
Dari sela-sela pintu bisa kudengar suara laki-laki sinting itu.
“Yoojin bilang, dia merelakanmu menikah dengan perempuan itu. Dia juga mengatakan dia tidak bahagia bersamamu. Aku memberitahukan yang sesungguhnya padamu. Jadi jangan mencarinya lagi dan berusalah bahagia dengan apa yang kau miliki.”
“SIAL!! BUKA PINTUNYA KUBILANG!!!!”
*
Aku berlindung di balik kakiku dan meringkuk mencari kehangatan dari dalam tubuh. Yang kupakai hanya kaus tipis dan aku tetap memaksa diriku untuk menunggu Yoojin hingga keluar dari rumah terkutuk ini. Aku bersandar di depan pintunya, berusaha mendengar setiap suara yang menandakan keberadaan gadis itu. Walaupun hasilnya hanya khayalanku semata. Aku menunduk di atas tanganku yang terlipat. Kubiarkan tanganku mati rasa. Bahkan hidungku sempat mengeluarkan darah. Entah kenapa seakan aku memang tidak dibolehkan hidup bersama Yoojin.. cuaca yang kini menghukumku. Aku tidak ingat lagi ini malam ke berapa aku duduk seperti pengemis di depan rumahnya. Yang aku ingin tahu adalah gadis itu menyampaikan sendiri padaku apa yang diucapkan Kibum padaku. Aku yakin Yoojin tidak akan mengatakan hal kejam padaku.. aku yakin..
“Heechul? Heechul!! Ya Tuhan!!!” bukan suara Yoojin..
Aku membuka mataku. Jung Soo hyung..
“kau sudah sinting rupanya!! Sudah berapalama kau disini?!! Hidungmu sudah berdarah!! Bodoh!! Cepat bangun, bodoh!!!”
Aku tertawa. “ngg. Aku memang bodoh hyung.” Desisku. Jung Soo menghela nafasnya frustasi. Dia membawaku di tangannya menjauhi rumah Kibum. Tidak kulepaskan mataku dari rumah itu sedetikpun, melihatnya dari balik bahu Jung Soo yang menggendongku. Aku tersenyum kecut.
Baik. Kalau itu maunya. Aku akan menikahi Sica. Kalau itu memang membuatnya bahagia.
“hyung..”
“mwo?”
“aku akan menikah dengan Sica.”
**
“oppa! Aku sudah tahu kau memang mencintaiku. Iya kan?” kupingku terasa sakit mendengar suara menyebalkan itu. Aku menghela nafasku kemudian mengganti rautku, berusaha tersenyum manis.
“tentu saja, my Sica!” aku memberikan senyum terbodohku sambil mengacak rambutnya. Sica tersenyum puas.
Kalau ini yang gadis itu inginkan.. melihatku bahagia?
“aku tidak sabar melihatmu memakai jas pengantin. Pasti keren sekali!” Sica mengacungkan dua jempolnya dan aku tertawa palsu.
“kau juga pasti cantik sekali.” Ucapku singkat, yang tak lebih hanya sekedar bualan.
“ehm, oppa, aku mau mengunjungi pesta bujanganku dulu ya. Bye!” Sica mengecup pipiku sekilas kemudian pergi. Aku, cuma bisa menatap lantai. Tak ada ekspresi apa-apa lagi setelah Sica pergi.
*
Jas putih sudah tersampir di tubuhku dan aku tetap memakainya tanpa raut bahagia layaknya laki-laki lain yang mau menikah. Choi Siwon di sebelahku, membantuku memakaikan dasi.
“kau yakin?” dia bertanya sambil memperhatikan mimic wajahku.
“kenapa tidak?” jawabku singkat.
“kau kan tidak mencintainya, Heechul. Kau hanya akan membuat dirimu sendiri dan Sica menderita.”
“siapa peduli?” aku masih dengan dingin menanggapi Siwon. Dia hanya bisa memandangku pasrah.
“that’s your decision okay? When the girl come again into your life, promise me you won’t be regret it. ::itu adalah pilihanmu, okay? Ketika gadis itu datang kembali dalam hidupmu, berjanjilah padaku kau tidak akan menyesalinya.”
“ngg.”
Siwon pun meninggalkanku untu berdiri di samping altar bersama bestman lainnya.
“Tuan Kim? Upacara pernikahan akan segera dimulai.” Dari balik pintu ruang ganti, Jung Soo mengabarkanku. Aku mengangguk dan berjalan keluar seperti mayat hidup.
“Heechul.. kau bisa kabur bersamaku sekarang.” Jung Soo di belakangku menahan bahuku. Aku mendengus kemudian menepis tangannya begitu saja. Aku kembali berjalan menuju tempat upacara pernikahan akan digelar. Saat aku masuk, semua tamu melihatku takjub. Yah, memang walaupun aku seperti mayat hidup begini, yang namanya ketampanan tidak pernah bisa bohong. Aku melangkah menuju tempatku seharusnya dan mulai menunggu mempelai wanita.
Ketika bunyi piano terdengar, pintu kapel itu terbuka dan datanglah mimpi burukku. Sepertinya aku harus berakting lagi sekarang. Kuberikan senyum sumringahku pada Jessica yang memang tampak cantik dalam balutan gaun pengantin rancangan desainer ternama. Gadis itu berbinar-binar melihatku, seakan aku ini sepatu Louboutine yang lama dia incar. Aku berusaha sekuat mungkin tidak menunjukkan kekesalanku dengan terus tersenyum palsu.
Seharusnya di dalam gaun itu adalah Yoojin… Aku memejamkan mataku sejenak, berusaha mempersiapkan hatiku kemudian aku menatap Sica lagi. Dia kini sudah sampai di sampingku, mengalungkan tangannya di lenganku.
“Baik silahkan duduk saudaraku..” Pendeta mempersilahkan para tamu duduk dan dimulailah upacara sacral ini.
“Tuan Heechul, Kim. Ulangi apa yang kuucapkan berikut ini.” Aku mengangguk.
“saya berjanji.”
“saya berjanji.”
“akan mencintai Jessica Jung.” Mendengar kata-kata itu membuat hatiku terasa sakit lagi. Mengucapkan sesuatu yang tidak benar sama sekali.
“akan mencintai Jessica Jung…”
BRAAAAAK!!!!!
Bunyi kencang dari arah pintu mengagetkan semua orang. Aku bahkan melompat dari tempatku. Kuarahkan pandangan ke asal suara.
“Sica sajangnim!! AKU MENCINTAIMU!!”
Ketika melihat dengan jelas siapa yang berani-beraninya merusak acara ini, aku membelalakan mataku. Itu.. Eunhyuk?!
“ayo sajagnim! Kita pergi!!” Eunhyuk menghindari semua security yang mulai mengerubunginya kemudian dengan kecepatan kilat meraih tangan Jessica, membawanya kabur entah kemana. Aku diam tidak bergerak melihat semua kegilaan yang baru saja terjadi. Aku berkedip-berkedip karena syok. Sementara semua tamu heboh, mereka berdiri dan ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Tak lama senyumku terkembang begitu saja. “Thanks God.” Bisikku. Sekali ini aku hanya ingin berterima kasih pada siapapun yang ada di atas sana. Ya, semoga Dia mendengarnya.
*
Yoojin POV
Aku memotong kimbab buatanku dengan malas. Beberapa kali pikiranku melayang. Apakah upacara pernikahannya sudah selesai? Aku meringis. Menahan air mata rasanya sulit sekali.. Sebaiknya aku cepat bertemu dengan Kibum, aku membutuhkannya untuk membuatku tersenyum.
“Kibum-a? kau dimana?” aku mencari di sudut rumah yang mulai gelap karena matahari akan terbenam, tapi aku tidak menemukannya. Kemana anak itu?
Aku melanjutkan mencarinya sampai di ruang tamu, tapi langkahku berhenti ketika kulihat dirinya. Aku pun dengan riang menghampirinya walaupun haru menyipitkan mata untuk membuatku bisa melihatnya lebih jelas karena minimnya cahaya.
“Kibum-a, kenapa kau diam saja disitu?” aku menarik tangannya mendekat padaku tapi alangkah terkejutnya ketika wajah Kibum.. wajah itu membentuk siluet wajah yang aku kenal. Sangat aku rindukan, wajah itu..
“Heechul?!” aku memekik riang.
“Hai Yoojin..” Heechul mengedipkan sebelah matanya dan tanpa perlu banyak basa-basi lagi aku memeluknya erat-erat. Di pelukanku, Heechul membeku, sepertinya dia syok dengan perlakuan yang jarang sekali aku berikan padanya.
“jangan pernah.. menghilang lagi, kau dada rata.” Sekejap aku melepaskan pelukanku dan menatapnya garang.
“mwo.. mmh!”
Sebelum aku sempat berkeluh kesah, Heechul meraih daguku dengan jempolnya dan mendekatkan wajahnya padaku. Tanganku berpegangan erat pada kemejanya hingga akhirnya bibir kami bersatu. Rasanya begitu pas.. seperti menemukan potongan puzzle yang hilang dan menyatukannya kembali.. Begitu membuat tenang dan bahagia.
“Love you!” Heechul berbisik.
*
Kibum POV
Dari luar rumahku, kulihat Heechul dan Yoojin bertemu kembali. Wajah Yoojin… sangat bahagia…. Jauh berbeda dengan saat aku yang bersamanya. Aku tersenyum puas kemudian melangkah menjauh dari rumahku. Aku berharap saja mereka mau mebersihkan rumahku kalau-kalau mereka ‘bertempur’ nanti malam. :-p
-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar