Pengikut

Kamis, 04 Oktober 2012

R O M E O


buat ai
Halo!
Sudah lama lama lama sekali aku tidak membubuhkan tulisan di atas kanvas fan3less ini ya, buat temen-temen yang udah lama nunggu kelanjutan ffku yg Chasing after Blinded, maaf bgt, ditunggu yg sabar aja ya :D . ini ceritanya si author lagi mulai membenahi lagi kehidupan tulis-menulis dan ngedit-edit cover nya (maap cover yg ini g terlalu bagus -_-”), jadinya dirasa-rasa ff CABku itu amat berat untuk comeback,
nah buat pemanasan, ff ini dipost. FFnya sendiri dari segi cerita juga masih pemanasan (bisa diliat dari lengthnya). agak2 sengaja juga sih, pengen tau reaksi reader dulu ah.
Nah maaf juga buat Ai yang udah hampir setaun nunggu ff ini :D peace ya, tanggung jawab kamu tarik massa sebanyak-banyaknya buat baca ff aku ga mo tau. hahahha
Dan sesuai permintaan, tokoh utamanya jang jang jang….
Anyway, author mau no comment sama ceritanya, kan masih pemanasan, yang penting liat reaksi reader dulu ah…
Sebelumnya, makasih  yang udah mau baca ff ini ya,
Ja, happy reading!
—————————————————————————————————————-

R O M E O

by Myupang
—————————————————————————————————————-
Jika saja dapat kau lihat
Air mata
Di dunia yang telah kau tinggalkan
Jika saja dapat kau sembuhkan
Hatiku
Sekali lagi saja
*
“Bagaimana ya, kalau aku meninggal lebih dulu?”
“Kau ini bicara apa?”
“Apa oppa akan sedih?”
“Tidak.”
“…”
“Tidak usah ditanya lagi kan?”
*
“Aku sudah sering mengatakannya padamu. Kalau aku sudah menjadi orang yang berhasil, kita akan segera menikah.”
“Hm-m… kalau begitu aku akan ikut berdoa untuk oppa.”
*
“Kenapa? Ada masalah apa?”
“Tidak ada.”
“Lalu?”
“Belakangan ini aku merasa aneh.”
“Ya, ya, ada apa lagi?”
“Oppa!”
“Aku tahu, aku mendengarkan.”
“Aku merasa akan pergi.”
“… Maksudmu?”
“Aku merasa akan meninggalkan kota ini.”
*
“Kau… ingin mengakhiri hubungan ini?”
“Apa kelihatannya seperti itu?”
“Katakan dengan jelas, kau…”
“Anni… aku hanya bertanya, oppa…”
“Lalu kalau aku menjawab aku bisa menerimanya? Kita akan akhiri malam ini?”
“…Tidak…”
“Itu kedengaran tidak yakin.”
“…”
“Hah, kau memang ingin mengakhirinya.”
“Apa aku tidak cukup jelas? Aku hanya bertanya.”
“Kau serius?”
“Oppa!”
“Aku tidak akan tanya alasannya karena aku sudah tahu. Aku hanya ingin tahu apa kau benar-benar serius? Kau benar-benar berharap kita mengakhiri hubungan yang sudah berjalan setahun ini?”
“Tidak… tidak seperti itu.”
“Ya… kita memang baru satu tahun.”
“Satu tahun dan aku menjalani hampir seluruh hidupku bersama oppa!”
“…”
“Oppa… apa aku tidak cukup jelas kalau aku hanya bertanya?”
“Ini pertanyaan yang sama yang kau lontarkan seminggu yang lalu. Dan seminggu sebelumnya. Juga seminggu sebelumnya lagi. Kau tidak yakin padaku. Kau memang berharap kita berpisah bukan?”
“Hhh… ya, aku memang ingin kita berpisah? Apa itu cukup memuaskan oppa? Kau tidak cukup percaya bahwa aku sudah sangat mencintaimu.”
“Lalu kenapa kau harus bertanya?”
“Hh… apa segala sesuatu membutuhkan alasan?”
“Ya.”
“Aku benci oppa.”
*
Pemuda itu akhirnya terbangun. Jeritan nyaring dari ponselnyalah yang bertanggung jawab karena mengusik tidurnya. Ia bangkit terduduk. Dengan lemas dan tak ada semangat sama sekali, pemuda itu mencoba meraih ponsel yang diletakkan di meja samping tempat tidur. Tapi tiba-tiba matanya terpaku dan gerakannya terhenti.
Matanya menangkap figur seorang gadis yang tengah tersenyum dalam bingkai foto yang diletakkan di atas meja yang sama dengan ponselnya itu. Foto seorang gadis dengan dirinya. Keduanya tersenyum pada kamera dan kelihatannya amat bahagia.
Pemuda itu tidak meraih foto itu dan tidak juga mengambil ponselnya walaupun itu masih berbunyi nyaring. Hanya saja matanya masih terpaku ke sana.
Sebenarnya ia tidak pernah benar-benar tertidur. Alarm ponsel itu tidak pernah diaktifkan untuk membangunkannya. Itu hanya pertanda bahwa hidupnya telah berlanjut ke hari yang baru. Hari yang baru yang entah mengapa baginya sama saja. Datar, kelabu. Dan kalau tidak seperti itu, ia akan merasa seluruh hari sama saja, begitu panjang dan membosankan. Itu akan menggannggu satu-satunya yang tersisa dari dirinya: Pekerjaan.
Sejenak ia tersadar dan berusaha keras mengalihkan pandangannya dari foto itu ke ponselnya. Walaupun itu sebenarnya tidak banyak membantu. Wallpaper ponselnya sudah ia ganti. Yang lama telah membuat luka di dadanya makin melebar. Tapi tetap saja… itu tidak banyak membantu! Tidak sejak pesan dari gadis itu tidak pernah lagi memenuhi inboxnya setiap bangun tidur.
Akhirnya pemuda itu melemparkan ponselnya ke kasur dan kembali membaringkan tubuh, mencoba tengkurap. Ia benar-benar telah kehilangan gairah untuk bangun. Selimutnya ia naikkan sampai menutupi setengah wajah.
Hanya saja itu tidak menutupi sebulir air mata yang perlahan jatuh dari matanya. Menciptakan garis panjang sampai siapapun jika berada di dalam ruangan itu akan bisa mendengar dengan jelas suara isak tangis darinya.
*
Sampai kapan aku harus terus terbangun dengan kekosongan ini? Tidak adakah hukuman yang lebih mudah yang dapat kuterima selain kehilangan?
Apakah dia yang di sana mendengar suaraku?
Minhae-ya… apa kau bisa dengar suaraku terus memanggil namamu?
Di mana kau sebenarnya… sedang apa kau sebenarnya… apa yang sekarang sedang kau rasakan… tidakkah kau mau membaginya denganku?
Aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.
*
“Minhae! Tunggu! Jangan tutup telponnya. Oke, aku minta maaf, apapun yang terjadi dan yang telah kukatakan, aku minta maaf. Semua kesalahanku.
“Tapi kau tahu aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya sedikit…aku…
“Aku tidak bisa membayangkan kehidupan di mana aku tidak menerima pesanmu. Tidak melihat wajahmu. Tidak mendengar suaramu—aku tahu ini kedengaran gombal… tapi kau tahu…kau…
“Kalau kau merasa itu adalah yang terbaik, ….aku akan mencoba…aku betul-betul akan mencoba… menerimanya.
“Minhae-ya… aku tahu kau mendengarku… aku tahu kau mendengarku karena itu… aku mohon… jangan menangis…
“Bicaralah…”
Tuut….tuut….
*
“Belakangan ini oppa berubah pendiam.”
“Kita berdua tahu alasannya.”
“Ya. Kesalahanku karena terlalu banyak bertanya dan terlalu sulit mengalah. Kesalahanku membuat senyum di wajah oppa memudar. Kesalahanku membuat oppa menangis di telpon waktu itu. Ke…salahanku…”
“Jangan menangis… demi tuhan jangan menangis…”
“Aku tidak pernah ingin menangis… tapi setiap saat aku tahu hatimu terluka… air mata ini seperti keluar untuk menggantikannya.”
*
Bahkan saat kututup mataku
Ada wajahmu yang tergambar
Dan sekali lagi aku tersadar
Kau yang telah hilang
tidak dapat kugantikan
*
“Berjanjilah padaku tentang dua hal.”
“Dua hal?”
“Kenapa? Tidak boleh?”
“Anni… minta lebih banyak lagi juga tidak apa-apa.”
“Dengar baik-baik ya, oppa…
“Pertama, jangan lepaskan aku.”
“…ini aku sudah memelukmu…”
“Maksudku secara tersirat!”
“Hahaha, ya, ya… tidak akan kulepas.”
“Aku sudah terbiasa dengan oppa di sampingku!”
“Hm-m. Aku tahu. Aku pun begitu.”
“…”
“Lalu yang kedua?”
“Sudah.”
“Apa?”
“Sudah, oppa.”
“Tapi tadi kau bilang…”
“Tidak, kurasa sebenarnya inti dari seluruh permintaanku hanya itu…”
*
“Ayolah jangan lakukan itu. Kau tidak ke sini untuk membersihkan kamarku kan?”
“Hari ini jadwal oppa sangat padat. Aku yakin oppa tidak akan sempat membersihkannya.”
“Ya!”
“Lagipula apa salahnya membersihkan kamar calon suamimu”
“… hei, hei, hei…”
:)  Wajah oppa memerah.”
“Karena siapa?”
“Yah… aku tahu akan begini… oppa! Penampilanmu kelihatan aneh.”
“Ini semua karena siapa?”
“Hahaha… sini, aku bantu.”
*
Karena dirimu…
*
Aku terus merasa sepi
Sejak kau pergi
Kenapa kau tinggalkan aku?
“Kyuhyun.”
Suara dari kejauhan itu menghentikan langkahnya. Pemuda itu menoleh dengan perlahan. Donghae.
Donghae berjalan dengan cepat ke arahnya sementara Kyuhyun hanya menunggu sambil tidak berhenti melirik jam tangannya. Hyungnya itu menepuk bahunya.
“Manager ingin bertemu denganmu.”
*
Kyuhyun sudah memperkirakan hal ini. Cepat atau lambat Lee So Man pasti akan segera menyadarinya.
“Tidak fokus, gagal rekaman sepuluh kali, pergi di tengah-tengah latihan. Kau punya penjelasan untuk semua yang terjadi dua minggu belakangan ini?”, Lee So Man bertanya padanya dengan nada suara yang meninggi.
Kyuhyun hanya membalas dengan tatapannya yang sekarang-sekarang ini memang berubah jadi datar. Sedangkan Lee So Man juga membalasnya dengan tidak mengerti.
“Apa surat pengunduran diriku masih belum sampai juga?”, jawab pemuda itu datar, yang otomatis membuat So Man mendesah panjang.
“Jadi ini masih soal itu? Bukankah aku sudah jelas-jelas mengatakannya padamu, Kyuhyun, kalau ini hanya karena pacarmu yang sedang dirawat di rumah sakit itu, kau tidak perlu keluar, aku bisa memberimu cuti panjang.”, sanggahnya.
Kyuhyun mendengus. “Cuti panjang? Aku tidak percaya hyung bisa memberikannya. Bukankah aku sumber pendapatan tinggi untuk Super Junior? Sudah hampir dua bulan aku memberikan surat pengunduran diriku dan ijin cuti panjang itu tidak pernah sampai kepadaku.”
“Aku minta kau menunggu, Kyuhyun. Kau kan tahu kita akan meluncurkan album baru—“
“Hyung, aku tidak mau membuat ini jadi sulit. Aku tidak mau membuat pers terguncang dengan keputusan ini jadi sebaiknya dipermudah saja. Gadisku tidak bisa menunggu.”
*
Di hatiku hanya ada dirimu
Dan seluruh kenangan tentangmu masih terus hidup
Kenapa kau tinggalkan aku?
“Kau masih di sini?”
Sentuhan halus di pundaknya membuat Kyuhkyun menoleh perlahan. Pemilik suara itu menatapnya dengan senyum tulus. Yang juga dibalas Kyuhyun hanya dengan gelengan kecil.
Gadis itu adalah Yuri, kakak Minhae dan juga teman sekelasnya waktu SMP. Dialah orang pertama yang memperkenalkan Minhae padanya. Seorang teman yang sangat baik dan kakak yang teramat menyayangi adiknya.
“Kau tahu, kalau sikapmu seperti ini nanti orang-orang akan menyalahkan Minhae.”, Yuri mengambil tempat duduk di sampingnya. Sepertinya ada sedikit nada bercanda dari ucapannya barusan itu, hanya saja ia tahu itu sama sekali tak berguna. Gadis itu kini menundukkan kepala, menutupi wajah murungnya yang tidak bisa ia sembunyikan. “Jangan terlalu sering datang ke rumah sakit.”
Kyuhyun memperhatikan wajah itu sebentar dan masih terus diam. Ini bukan pertama kalinya Yuri melarangnya datang. Teman lamanya itu sudah ratusan kali melarangnya. Tapi ia pasti tahu bahwa hal itu tidak akan pernah berhasil menahan langkah Kyuhyun. Pemuda itu mencintai adiknya melebihi cintanya pada hidupnya.
“Setengah tahun…”, Gadis itu juga kelihatannya sudah cukup kelelahan dengan seluruh peristiwa yang menimpa adiknya. Matanya sudah terlalu sembab bahkan untuk digambarkan seperti itu. “Sudah setengah tahun dan kau masih menunggu di sini…? Pria macam apa kau…”, itu sungguh kalimat yang amat dipaksakan. Ia sebenarnya amat berterimakasih karena Kyuhyun termasuk di antara sedikitnya orang-orang yang tak menyerah untuk menunggu, tapi ia juga tak tega pada sahabatnya itu… hidupnya kelihatan tidak bergairah dan ia tahu… pemuda itu pun suatu saat akan merasa lelah…
Setengah tahun bukanlah waktu yang sebentar.
Tidak ada harapan.
Tidak ada seorang dokter pun di setiap tempat yang telah mereka datangi yang menyampaikan adanya harapan. Tidak ada… hidup Minhae hanya terbatas pada alat rumah sakit.  Saat alat-alat itu dilepaskan, maka Minhae akan mati…
Akan pergi…
Akan tiada…
Kalau teringat masa lalu, sampai tiga atau empat bulan yang lalu, mereka masih dengan semangat menunggu. Keluarga besar dan teman-teman pun masih ada yang rutin datang berkunjung. Mereka biasa memberikan sesuatu untuk dimakan atau beberapa bantuan kecil. Sekarang entah ke mana semangat itu pergi. Tidak pernah ada lagi dari mereka yang datang.
Kau pasti bertanya-tanya ada apa dengan Minhae. Dan mengapa ia membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk terus tertidur. Sayangnya pertanyaanmu itu sungguh tidak perlu. Karena tidak akan ada yang—bisa—menjelaskannya. Siapa yang bisa menjelaskan komanya seseorang yang menghabiskan waktu setengah tahun? Hal terakhir yang dilakukan Minhae sebelum ini semua terjadi pun adalah tidur. Tidur dan tidak bangun lagi sampai saat ini.
Tidur dan tidak bangun lagi sampai saat ini.
Akhirnya Kyuhyun bangkit dari duduknya. Pemuda itu perlahan berjalan menjauh meninggalkan Yuri yang juga masih memandangi punggungnya. Sosok itu terus berjalan… berjalan… berjalan…
*
Berjalan menyusuri jejak kita
Di mana awalnya cinta ini tumbuh dan bebas
Tahukah kau?
Kini ia tempat yang amat kosong
*
Aku tidak pernah menghitung berapa lamanya aku melewati jalan ini sendirian, Minhae.
Kedua kakiku yang ingin melakukannya.
Apartemenmu.
Kantormu dan kafe di dekatnya.
Bahkan seluruh jalan raya kota Seoul…
Tiba-tiba aku tersadar bahwa seluruh tempat itu telah menjadi kenangan kita.
Di mana kita bertemu…
Di mana aku bisa mencarimu…
Seluruh tempat itu… memiliki kenangan tentang…mu…
‘Kenangan’…
Tentangmu…
Kekasihku…
Hidupku…
Minhaeku…
Pengantinku…
Akhirnya aku pun mengakuinya…
Aku tidak bisa hidup tanpamu Minhae…
Aku terlalu terbiasa… jalan ini… melewatinya bersamamu…
Jangan paksa aku untuk melangkah sendirian…
Aku bahkan merindukan kemarahanmu…
Aku merindukan sakitnya ditinggalkan di depan pintu apartemenmu
Yang penting kau ada!
Apa aku pernah menyia-nyiakan keberadaanmu itu? Minhae-ya…
Aku tidak begini karena aku mau…
Tapi tidak bisa…
Tidak bisa tanpamu…
Rindu… betul-betul rindu padamu…!
Minhae-ya…
Minhae-ya…
*
Akan kuserahkan seluruh hidupku
Jika rasanya akan terus seperti ini
Karena aku tidak bisa menahan suara di dalam diriku
Yang terus memanggil namamu.
*
- Continued
Ada yang familiar sama kalimat-kalimat yang ditaro di tengah itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar